Bab 13: Panggil aku, Abang!

446 23 4
                                    

'Kalau kau mencintai seseorang, melihatnya saja sudah cukup untuk mengundang kupu-kupu berdansa di dalam perutmu.'
-maialainn-

Laila POV

Sepanjang hari itu aku menjadi semakin tidak bersemangat. Aku kesal karena Omar bertindak seenaknya. Aku sangat tergiur untuk naik ke lantainya dan meminta penegasan atas apa yang sedang terjadi, maksud dari meminta Lina untuk mengantikan posisiku sementara, tetapi rasanya, energiku sudah habis untuk berdebat. Terlebih lagi, sudah dua kali aku menangis dalam sehari. Akan sangat memalukan jika nanti aku kembali menangis di depannya. Apa yang akan dia pikirkan tentangku?

Reputasiku sudah cukup buruk di manatanya. Aku tak ingin menambahkannya.

Sore itu, ketika aku pulang dari kantor, hujan kembali turun. Cuaca beberapa tahun terakhir memang kacau balau, tidak sesuai jadwal. Bulan-bulan yang seharusnya musim panas mendadak menjadi musim penghujan, begitu pula sebaliknya.

Aku menunggu di pelataran lobby kantor hingga hujannya mereda atau setidaknya hingga tak begitu menakutkan, hujan kali ini sama saja dengan hujan kemarin dan beberapa waktu lalu, disertai angin. Membuatku tak berani pulang karena takut basah kuyup karena aku harus berjalan kaki karena payung mungilku tak mungkin melindungiku dari ganasnya terpaan kombinasi dua elemen itu.

Beberapa orang memaksa pulang, terutama yang membawa mobil ke kantor, sementara yang membawa motor, mereka juga sama sepertiku, menanti hujan yang tak pasti kapan redanya. Seperti aku yang menanti kapan jodohku datang. Sama tak pastinya. Tetapi pasti akan datang. La Ilaha Illa Allah. Kenapa aku jadi baper begini? Ini pasti karena ucapan Nana. Juga kenyataan bahwa Saif akan resmi menjadi suami perempuan lain.

Oh, Saif.

Meski aku juga tak mengerti seperti apa jelasnya perasaanku kepada laki-laki itu, namun ada kecemburuan yang aku rasakan saat menerima undangan pernikahannya tadi pagi. Entah cemburu kepada Saif, yang akan menjadi suami orang, atau cemburu karena akhirnya dia telah menemukan belahan jiwanya, sementara aku, aku masih sendiri, menanti jodoh yang tak pasti, dimana dan kapan datang mengetuk pintu hatiku.

"Bu, mau bareng?" Lina tiba-tiba berdiri di sampingku.

"Astaghfirullah!" Jeritku terkejut. "Lina, kamu mengagetkanku saja!" Seruku masih menahan nafas. Dia adalah orang yang kesekian dari deretan orang yang mengejutkanku hari ini. Untung saja jantungku sudah terlatih untuk hal-hal demikian, jika tidak pasti akan kabur.

"Maaf, Bu." Gumannya tampak menyesal. "Ibu pulang naik, apa? Mau bareng saya saja?" Tawarnya dengan senyuman kecil.

Aku menimbang-nimbang, rasanya tidak sopan kalau langsung kutolak begitu saja. "Oh, itu. Ini saya sudah pesen taksi online. Sopirnya sudah di jalan menuju kesini." Jawabku berbohong. Terpaksa. Aku masih frustrasi dengan kejadian seharian ini. Aku tak ingin semakin cemburu kepada Lina, apalagi menerima kebaikannya sementara tadi aku mengosipkannya bersama Nana. Meski tak menjelekkannya, tetap saja aku tidak nyaman. Lebih baik jika hubungan kami hanya sebatas rekan sekantor saja. Setidaknya untuk saat ini, karena perasaanku masih kacau.

"Oh, begitu. Sayang sekali, Bu. Kalau baru mau pesan, masih bisa dibatalkan." Ungkapnya.

"Iya. Ya sudah kamu hati-hati di jalan." Usirku secara halus.

"Ya, sudah, Bu. Saya duluan ya!" Pamitnya lalu berlari kecil menuju pelataran tempat mobil karyawan terparkir.

Aku menghela nafas. Sekarang bagaimana? Pikirku. Aku sudah terlanjur mengatakan memesan taksi. Aku harus memesannya sungguhan, atau aku akan berdosa karena telah berbohong.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku memesan taksi online sungguhan. Meski jarak tempuhnya sangat dekat, tetapi dengan hujan seperti ini? Mungkin sesekali aku harus memanjakan diri, terutama kakiku.

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang