Laila PoV
Hari sudah cukup sore saat aku terbangun dari tidurku. Teteh dan mamang sibuk dengan pekerjaannya. Sementara Dinda dia pergi karena ada janji dengan kekasihnya. Terimakasih untuk Omar, ucapan laki-laki itu terkabul, pagi tadi aku menemukan diriku dalam keadaan demam. Meski sudah dua minggu sejak laki-laki itu menyumpahiku.
Kepalaku berat dan aku nyaris tak memiliki tenaga untuk bangun.
"Maaf, Bu. Saya tidak menganggu, 'kan?" Tanya Dinda merapat ke ranjang.
Aku menggeleng, sambil memejamkan mata, apa aku salah makan ya? "Kamu kapan datang?" Tanyaku lemah.
"Barusan, Bu," jawab Dinda. Dia meletakkan nampan berisi segelas minuman bening berisi sisiran lemon.
Aku mendesah. Pasti Omar.
"Bapak telepon berkali-kali," lanjutnya setelah meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang. Bapak yang dimaksud Dinda adalah Omar. Ya Allah, Dinda pasti berpikir aneh-aneh soal hubunganku dan Omar.
"Ponselku sengaja aku matikan," jawabku. Jujur, aku sudah cukup bosan berbicara dengannya, Omar maksudku.
"Memangnya ada apa?" Tanyaku mengambil gelas hangat itu. Aku menyesap sari lemon dan madu itu dengan pelan tiga kali tegukan dan meletakkan kembali. Rasa manis asam itu seolah menyalakan listrik yang sempat padam di dalam tubuhku. Aku merasa sedikit lebih baik setelah meneguknya habis.
"Saya kurang tahu, Bu. Tapi sepertinya bapak cemas karena teleponnya tidak ibu angkat."
Aku memutar bola mataku. Hah, bisa-bisa Omar menganggu hari liburku. Apa lagi yang dia inginkan? Apa dia tidak bisa membiarkan aku tidur dengan nyenyak dan tenang di hari liburku?
"Mana teleponnya?" Tanyaku.
Dinda mengeluarkan ponsel miliknya dari saku bajunya. "Ini, Bu."
Aku mengambilnya dan menekan tombol panggil pada kontak Omar.
"Assalamualaikum," sapaku begitu tersambung.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya spontan. "Laila apa kamu sakit?" Aku tidak terkejut dia mengenaliku. Aku yakin laki-laki itu lebih tahu mengenai diriku daripada aku sendiri.
"Tidak. Aku hanya baru bangun tidur," jawabku datar. "Kenapa? Ada apa lagi?" Tanyaku bosan. Dua hari lalu dia sudah berbicara panjang lebar denganku melalui video call. Aku rasa kami sudah bicara cukup banyak. Apalagi maunya?
"Kamu yakin tidak sakit?"
"Memangnya kalau aku sakit kamu akan datang ke sini untuk merawatku," balasku datar. Aku bersyukur karena kami dipisahkan jarak, jika tidak dia pasti akan benar-benar mengangguku.
Di seberang Omar tertawa. "Baiklah. Maaf. Omong-omong, jangan kemana-mana,"
"Hm."
"Aku serius Laila. Jangan kemana-mana. Diam di rumah."
"Iya," jawabku malas. Tapi aku tak berniat untuk menepatinya. Aku berencana untuk pergi makan malam di luar dengan Dinda, teteh dan mamang. Sesekali mentraktir mereka makan di luar. "Memangnya kenapa sih?"
"Tidak ada, hanya saja, sebaiknya kamu istirahat di rumah, kamu terdengar lelah," sahutnya.
Dinda yang berdiri di sampingku senyum-senyum sendiri. Astaga! Aku baru menyadari keberadaannya.
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, "Din, nanti ponselmu aku kembalikan," kataku padanya. Mengusirnya secara halus.
"Laila?"
"Hm."
"Ya sudah. Fi amanillah, assalamualaikum," pamit Omar.
Aku mengangkat alisku. Setelah aku mengusir Dinda? Dia mau menutup teleponnya? Dalam mimpi! "Jadi sebenarnya kamu menelepon untuk apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
Любовные романыOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...