Bab 32: Selamat Mencoba

240 20 1
                                    

Omar POV

Entah apa yang merasukiku. Aku tidak mengerti diriku sendiri.

Setelah memutuskan untuk tetap tinggal di villa hingga Senin pagi. Sekarang aku malah menemukan diriku sedang menunggu Laila dan teman-temannya.

Bagaimanapun kami harus bicara. Benar-benar bicara dengan serius.

Saat mbok Jun memberitahuku bahwa Laila sudah turun dan kurang dari dua jam akan tiba di taman nasional Cibodas aku memutuskan untuk menjemputnya. Keputusan yang konyol jika boleh jujur.

Setelah menunggu dengan sia-sia, disertai kecemasan yang tidak masuk akal, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke masjid terdekat karena sudah hampir masuk waktu salat.

Setelah berdiam diri di masjid sekaligus menenangkan diri, akhirnya aku merasa lebih tenang. Meski sempat ingin menghubungi Laila karena takut terjadi apa-apa, akhirnya aku hanya bisa duduk manis di warung kopi sambil menunggu kedatangan Laila ditemani oleh secangkir kopi dan pisang goreng.

Tak lama setelah itu, aku baru menyadari keberadaannya yang tampak bingung mencari seseorang.

Aku tersenyum simpul, mengawasinya lebih lama sebelum mengangkat bokongku dan mendekatinya. Dia terlalu fokus dengan ponselnya untuk menyadari keberadaanku. Aku harus mengingatnya nanti.

"Laila!" Aku harus memanggilnya beberapa kali hingga akhirnya dia memberikan perhatiannya kepadaku.

Aku mengabaikan semua tatapan yang aku terima dari orang asing di sekitar Laila dan mencurahkan seluruh perhatianku padanya.

Dia tampak lelah, matanya berkantung. Kulitnya pucat dan kering. Perjalanan itu pasti menyiksa fisiknya. Aku harus benar-benar mengingatnya untuk menjaga kesehatan. Bahkan napasnya pun pendek-pendek.

Aku tahu kedatanganku adalah kejutan yang luar biasa baginya. Dan kehadiran laki-laki yang belakangan bergabung, membuatku harus menata air mukaku sekali lagi. Kecemburuan itu nyaris menyelinap keluar.

Tentu menunjukkan kecemburuanku pada laki-laki itu tidak akan bagus bagi kami sekarang apalagi dengan adanya teman-temannya.

"Masuklah," perintahku ringan. Tapi aku yakin dia menyadari nada perintah itu karena Laila menurut dan duduk di depan, di sampingku. Sementara kedua teman laki-lakinya yang bernama Akbar dan Rayyan duduk di kursi paling belakang. Sementara kursi tengah diisi oleh dua gadis yang menetapkan rakus dan sainganku, Arial.

Tentu aku tak mau Laila duduk berdesakan dengan laki-laki itu. Bukan hanya akan menimbulkan kecemburuan tetapi itu tidak baik untuknya karena bisa menimbulkan fitnah.

Laila duduk dengan kaku di sampingku, wajahnya datar, bibirnya terkatup rapat. Aku tidak tahu apakah dia bahagia dengan kehadiranku atau justru kebalikannya.

"Sudah siap, 'kan? Kita langsung ke villa atau mampir ke tempat lain dulu?" Tanyaku sambil menoleh sebelum menarik gas.

"Langsung ke villa saja, gerah dan lapar!" Seru perempuan bernama Anya bersemangat.

"Oke. Perjalanan ke villa kurang lebih dua puluh menit."

"Kamu tidak keberatan, kan, Bang, kalau kami mampir ke villa?" Tanya Dania lembut.

"Iya, terima kasih, Bang. Maaf kalau kami tidak merepotkan," Timpal laki-laki yang bernama Akbar.

"Tentu saja tidak. Kalian sahabat dekat Laila, kalian bisa main ke villa kapan saja. Laila pasti senang dengan kehadiran kalian," sahutku.

"Siap, Bang!"

"Kami senang bisa main ke villa Bang Omar," perempuan di samping Anya itu menyahut.

"Kalian bisa menginap dan kembali ke Jakarta besok pagi, para ladies bisa tidur di kamar Laila. Kalian tidak keberatan, 'kan?"

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang