08. Merasa terjebak

8.2K 433 11
                                    

Naradha tidak bisa mengelak lagi, di tangan sang Mama sudah terlihat jelas tiga testpack yang beberapa hari lalu dirinya gunakan. Lidahnya terasa kelu, gadis itu tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa pada orang tuanya.

Sintya menggeram tertahan saat anaknya hanya diam, dan menunduk. Wanita paruh baya itu mencengkram erat kedua bahu Naradha membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan. "Jawab Mama Radha! Apa ini?! Hah?!"

Naradha masih menunduk, perlahan butiran air mata mulai turun membasahi pipinya. Hatinya terasa di tusuk oleh belati putih saat melihat sorot kecewa dari kedua manik mata Mamanya, Naradha tahu Mamanya pasti sangat kecewa saat ini.

"Bilang kalau ini bukan hasil kamu Naradha!!" Sintya membentak dengan kasar di depan wajah Naradha, hal itu membuat Naradha semakin terisak dalam diam. Hatinya hancur, Naradha membuat kedua orang tuanya begitu marah dan kecewa.

Arsen yang melihat itu langsung bangkit dari sofa dan menghampiri anak dan istrinya, Arsen memegang kedua bahu Sintya mencoba menenangkan istri tercintanya itu. "Sayang sabar, bukan kaya gini caranya. Kita omongin baik - baik."

Sintya menepis tangan suaminya, "Apa yang bisa di bicarain baik - baik Mas? Apa?" Sintya menunjuk wajah Naradha.

"Anak ini sudah keterlaluan Mas, dia hamil! Kamu lihat sendiri kan? Hah?! Kamu masih mau bela dia mas?" Sintya sangat kecewa, bukan hanya kecewa pada Naradha tapi juga kecewa pada dirinya sediri. Sebagai seorang ibu Sintya merasa gagal dalam menjaga anak gadisnya.

"Sintya, sabar sayang." Arsen hanya memeluk istrinya, tidak bohong bahwa lelaki paruh baya itu juga syok dengan apa yang terjadi saat ini.

Naradha terduduk lemas di lantai, memegangi perutnya sendiri. Hari ini Naradha melihat sendiri kedua orang tuanya menangis di depannya, sorot mata keduanya yang jelas terlihat mengisyaratkan kekecewaan membuat Naradha semakin terisak.

"Maafin Radha Ma, maafin Radha." Lirih gadis itu pelan.

Saat sudah merasa sedikit tenang. Sintya maju menghampiri Naradha yang terduduk di lantai, dan memeluk anaknya itu. se marah apapun dirinya pada Naradha, Sintya tidak akan membiarkan anaknya terpuruk dan merasa tertekan. Ia mencoba mengontrol emosinya dan mencoba menyalurkan kekuatan untuk Naradha lewat pelukan hangatnya ini.

"Ayah dari anak ini harus tanggung jawab!" putus Arsen tegas, dalam benaknya hanya ada satu orang yang harus bertanggung jawab soal ini.

Gema, ya pasti pemuda itu yang telah menghamili anaknya. Pikir Arsen, lelaki paruh baya itu kemudian mengambil jas hitamnya yang tersampir di sandaran sofa dan berjalan keluar dari rumah dengan langkah tegas meninggalkan Anak dan Istrinya.

"Ternyata ini yang kamu sembunyiin dari Mama, Papa Dha?" Sintya melepas pelukannya, menatap wajah Naradha yang sedikit pucat dan berantakan. Pantas saja beberapa hari ini Sintya merasa keceriaan dari wajah putrinya berkurang.

Naradha juga lebih sering mengurung dirinya di kamar dan sedikit berinteraksi dengan keluarganya, ternyata gadis ini tengah menyembunyikan sebuah rahasia besar? Sintya tidak habis pikir bagaimana terktekannya Naradha yang mencoba menutupi semua ini.

Nardha hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Mamanya.

"Kenapa kamu gak cerita sama Mama, Dha?" nada suara Sintya melemah, hal itu membuat Naradha semakin tidak tega.

"Maafin Radha Ma, Radha cuma gak mau Mama sama Papa kecewa. Radha pernah berfikir buat bunuh diri, Radha gak mau menjadi aib yang buat Mama sama Papa malu nantinya." Sintya memeluk hangat putrinya.

"Mama sayang kamu Dha, kamu harusnya ceritakan semua masalah kamu sama Mama!"

"Naradha pikir semua bisa di atasi sendiri Ma, tapi ternyata Radha salah. Radha gatau harus gimana lagi, Radha bingung! Makanya Radha sembunyiin semuanya, biar Papa Mama gak kecewa."

NARADHA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang