20 - Dawn

40 4 13
                                    

"Bisa ketemu nggak besok? Ada yang mau aku jelaskan."

Gue mendapatkan SMS itu tengah malam ini, pengirimnya tidak diketahui. How am I supposed to know what to do? Apakah itu cuma prank atau gimana. Gue memutuskan untuk membacanya saja dan tidak membalas, mungkin memang kerjaan orang iseng.

Malam ini, untuk ke sekian kalinya gue nggak bisa tidur. Sudah beberapa bulan belakangan gue sulit tidur. Sejak gue bermasalah sama Satria? Nggak tau. Gue juga udah nggak punya semangat untuk kerja. Gue nggak mau ketemu siapa-siapa. Bahkan ngobrol sama adek-adek gue aja sekarang udah jarang. Oh ya, gue nggak pernah lagi ngobrol sama Windra atau Dimas.

Gue memutuskan untuk turun ke bawah daripada berguling-guling di kamar. Lagipula gue haus.  Kemudian gue beranjak dari kasur gue lalu membuka pintu kamar dan turun ke bawah, ke dapur untuk mengambil air. Ternyata masih ada Windra di dapur, menulis sesuatu. Mungkin menulis lirik lagu lagi?

"Win, belom tidur?"

"Belum Kak, kakak juga?" Windra tidak pernah tahu kalau selama ini gue mengalami kesulitan untuk tidur. Gue mengangguk.

"Mau ambil minum gue, haus."

"Mau dibikinin susu aja nggak kak? Biar bisa tidur lagi?" tawar dia. Gue mengangkat bahu, "Boleh deh."

Windra beranjak dari kursi meja makan lalu membuat susu hangat untuk kami berdua. Sementara gue mendekati meja tempat ia duduk tadi dan membaca guratan-guratan lirik lagu yang ditulisnya.

"Album yang kemarin apa kabar?"

"Masih proses kak, ada beberapa lagu yang perlu di-aransemen ulang."

"Pasti capek ya? Capek mengerjakan sesuatu untuk diterima orang."

"Yah, namanya juga hidup kak. Pilihan antara kita mau berhenti mengerjakan sesuatu atau melanjutkannya itu ada di kita. Kalau nggak capek lagi, berarti kita udah nggak suka dengan hal tersebut."

"Gitu ya Win? Tumben bijak?"

"Kalau kakak sendiri gimana?" sahut Windra, selesai membuat susu hangat untuk kami berdua. Dan dia menyodorkan salah satu gelasnya ke arah gue.

"Gimana apanya?" gue nggak mengerti pertanyaan Windra.

"Tuh kan kakak tuh selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Maksud Windra, kakak sendiri sudah menyerah dengan rasa lelah nggak?"

"Soal?"

"Tuh kan, lagi."

"Iya deh maaf-maaf. Lagian kamu sih ngomong nggak dilanjutin."

"Kakak sih gak peka."

"Ya gue emang gak peka, makanya kalau ngomong yang jelas. Jadi, apa? Apanya yang lelah? Sama hidup? Ya lelah Win."

"Nah gitu dong. Apa sih yang bikin kakak lelah? Kakak tuh nggak pernah cerita sama aku atau Dimas. Kita saudara kan?"

Gue menghela napas. Iya juga, selama ini gue memendam sendiri kekalutan pikiran gue. Atau mentok cerita ke Jason. Lupa kalau punya dua saudara yang juga pasti kehilangan gue.

"First of all, maafin gue ya Win nggak pernah cerita apa-apa. Gue cuma nggak pengen kalian khawatir."

"Aku tahu kenapa kakak nyimpen semuanya sendiri. Bukan karena pengen bikin aku dan Dimas nggak khawatir, tapi karena kakak terbiasa berdiri dengan kaki kakak sendiri. Padahal kak, mungkin aku atau Dimas bisa bantuin untuk meringankan beban kakak."

Gue tersenyum ke Windra dan mengelus kepalanya. "Makasih ya,"

"Maafin Kakak bikin kalian nggak nyaman ngebandnya atau ngomongin bebas soal band di rumah."

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang