13- Well, Hidden

96 13 3
                                    

Banyak orang bilang bahwa hari-hari menuju pernikahan itu diisi dengan bermacam cobaan. Bisa jadi dari sisi pria, wanita, atau bahkan keduanya. Kalau di kasus gue, sepertinya keduanya. Satria menginap di rumah gue sejak semalam. Setelah ngobrol semalaman, gue nggak ingin dia pergi. Gue memintanya untuk tidur sama gue. Memang kami belum resmi menikah tapi tidur bareng nggak masalah kan? Kami sudah sama-sama dewasa dan bertanggung jawab.

Gue pikir, tidur bareng Satria semalam cukup membuat gue merasa tenang. Rupanya kekalutan gue nggak pergi. Justru, momen semalam membuat gue tahu bahwa Satria punya rahasia yang disimpannya erat-erat. Sama seperti gue, dia nggak sepenuhnya terbuka. Lantas, apa guna kami menikah sebentar lagi kalau masing-masing masih menyimpan rahasia? Atau memang apakah ada rahasia-rahasia yang harusnya nggak akan pernah kami buka ke depannya?

Satria tidur terlebih dahulu, tubuhnya memeluk tubuh gue. Sementara gue masih belum bisa tidur. Gue mendengar ponsel Satria bergetar berkali-kali. Siapa yang menelepon Satria malam-malam begini? Mama? Satria sudah dewasa, masa masih dicari Mamanya?

Gue sempat mengabaikan panggilan-panggilan itu tapi gue nggak bisa menahannya terlalu lama. Gue makin kepikiran. Ketika Satria melonggarkan pelukannya, gue bangun dan mengecek ponsel Satria. Tertera nama seorang perempuan di sana. Nama yang asing, dia siapa?

Gue masih diam dan menyimpan kekalutan gue hingga pagi. Satria bangun, seolah tak terjadi apa-apa. Dia mengucapkan selamat pagi dan mengecup dahi serta pipi gue, "Bangun, kamu kerja lho."

"Kamu juga, kamu mau balik apa langsung ke kantor?" Satria bilang dia mau langsung ke kantor karena sudah membawa baju ganti. Gue ingin menanyakan siapa yang nelepon dia malam-malam tapi gue malah terdiam.

"Kamu aku anterin aja ya? Kan searah kita," ujar Satria sambil mengusap kepala gue. Gue mengangguk. Satria pamit untuk mandi duluan.

Gue mengecek ponsel Satria sekali lagi. Panggilan itu sudah tidak masuk lagi, tapi terdapat ratusan chat yang belum terbaca dari perempuan yang sama. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Satria?

Gue tahu mengecek ponsel pasangan melanggar privasi. Rasa ingin tahu gue yang membuncah, rasa curiga gue yang seketika melonjak naik ke ubun-ubun berhasil gue tahan. Gue ingin tahu sampai sejauh mana Satria akan merahasiakan hal ini ke gue. Gue akan biarkan waktu yang berbicara, menilai apakah keputusan gue untuk memilih Satria sudah tepat.

***

Sepanjang perjalanan menuju kantor, gue nggak ngomong terlalu banyak ke Satria. Gue masih kalut dengan pikiran gue sendiri hingga tanpa sadar, ponsel yang gue genggam merosot dan jatuh ke bawah.

"Eh," gue tersentak.

"Kamu kayaknya nggak fokus deh hari ini. Ada apa?"

"Nggak apa-apa, cuma nggak bisa tidur aja semalam," jawab gue sembari merogoh-rogoh ke arah bawah dashboard mobil Satria, mencari ponsel gue.

"Udah ketemu belum? Mau aku berhenti dulu?"

"Bentar, nggak usah. Lanjut jalan aja."

"Kamu jangan-jangan nervous karena kemarin tidur sama aku?"

"Sedikit. Bentar lagi juga tiap hari tidur sama kamu kan?"

Gue menemukan ponsel gue. Tapi ternyata bukan, setelah gue teliti lagi, itu adalah sebatang lipstik. Bukan punya gue. Berhubung gue juga sudah melihat ponsel di samping lipstik itu, gue mengambilnya. Dengan cepat gue menyimpan lipstik itu tanpa disadari Satria.

"Sebenernya aku yang nervous, aku takut lepas kontrol. Untungnya kemarin kecapekan jadi nggak mikir yang aneh-aneh."

"Bisa aja kamu. Ya udah lain kali kamu tidur di kamar Windra atau Dimas aja, jangan tidur sama aku," ujar gue menyimpan kegetiran. Kalau perasaan ini benar, bisa jadi obrolan-obrolan kami di mobil pagi ini tidak akan terjadi.

"Sat, aku udah cerita belum sih kalau Ayahku selingkuh?"

Satria terdiam. Dia menggeleng, "Tiba-tiba banget mau cerita begitu?" lanjutnya.

"Kurasa ini momen yang pas aja. Setelah obrolan kita semalam juga. Mau dengerin nggak?"

"If you say so? I'm all ears," ujarnya, Satria menoleh ke arah gue dan tersenyum.

"Salah satu alasan kenapa aku nggak suka sama Ayahku, selain karena beliau control-freak dan misoginis, beliau selingkuh diam-diam di belakang Ibu. Nggak ada respect buat pria yang selingkuh di kamusku."

"Kamu percaya sama aku kan? Aku nggak akan ngecewain kamu," sambung Satria. Oh benarkah? Bisakah kamu kupercaya Sat?

"Aku nggak tahu dengan kamu nantinya. Misalkan kamu melakukan hal yang sama, maaf Sat aku nggak bisa. I had enough and I hope you won't do the same."

"I promise."

Promise? Terus siapa perempuan itu?

"Alasan Ayah selingkuh waktu itu, katanya karena Ibuku kurang pengertian sama beliau. Alih-alih dibicarakan, kenapa malah memilih wanita lain? Kenapa memilih Ibuku dari awal? Cuma pria egois yang menjadikan alasan itu buat nyakitin istrinya."

"Aku harap apapun itu, kamu akan selalu bilang ke aku. Rahasia yang kamu simpan, rahasia yang aku simpan. Jujur aja meski itu menyakitkan. Aku juga akan mengusahakan yang terbaik buat kita kok," lanjut gue.

"Iya, iya. Aku janji. Kamu ngerti aku kan? Waktu kamu jujur sama aku semalam, aku sangat menghargai itu kok. Aku senang kamu jujur soal Jason ke aku," sahut Satria. Tangannya yang semula berada di persneling berpindah ke tangan gue. Dia menggenggamnya erat-erat lalu melemparkan pandangan teduh. Matanya seolah-olah meyakinkan gue bahwa semua prasangka buruk di otak gue itu tidak benar.

"Aku harap kamu juga jujur ke aku Sat," jawabku. Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Sekali lagi, meyakinkan bahwa gue salah.

***

Gue ingin menanyakan hal ini ke Bian pas gue makan siang bareng dia. Apalagi seharian ini Jason menghindari gue. Dia selalu beralasan sibuk rapat, bahkan di meja pun dia sudah nggak mau bertatapan mata dengan gue lagi.

Banyak hal yang ingin gue ceritakan ke Bian, perubahan sikap Jason, perempuan di ponsel di Satria, dan lipstik itu. Namun gue juga nggak yakin Bian akan tahu jawabannya. Sementara gue nggak punya kuasa untuk mencari tahu itu sendiri. Gue juga nggak tega menghancurkan kebahagiaan Bian, dia lagi happy karena menemukan gebetan baru. Gue nggak mau nambah-nambahin pikiran dia.

"Dah ah yan, btw Jason udah berubah juga. Dia menghindari gue seharian. Gue nggak mau aja hubungan persahabatan gue sama Jason, Band Sabtu jadi bubar karena gue. Dan yan..."

Gue menghela napas. Gue mengurungkan niat gue untuk menceritakan soal lipstik dan panggilan tengah malam itu. 

"Nggak jadi deh," justru itu yang terucap dari mulut gue. Meninggalkan Bian dengan muka penuh tanda tanya.

Well, ini urusan gue. Harusnya gue bisa menyelesaikannya sendiri.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang