6 - Poet

138 14 5
                                    

Bian POV

"Lo bisa nemenin gue makan siang nggak hari ini? Ke Blok S," ujar gue di telepon. Siapa lagi yang bakal gue telepon kecuali sahabat gue satu itu, iya si calon istri Satria.

"Sorry, gue ada meeting nih sama Direktur. Gue nggak bisa nemenin elo. Minta tolong Jason aja, dia lagi nggak ikutan meeting," jawabnya. Gue agak kecewa sebetulnya tapi ya gimana lagi, namanya juga kerjaan kan? 

Sebenarnya gue ngantor di sebelah kantor dia. Gue bisa-bisa aja nebengin dia ke Blok S buat makan siang, soalnya klien gue memang kebetulan anak perusahaan tempat dia kerja. Kalian bisa tebak nggak kira-kira gue lagi jadi konsultan perusahaan apa? Cluenya, perusahaan plat merah yang punya komplek perkantoran di kawasan Gatot Subroto. Google aja coba *smirk.

"Yah elu, ya udah deh. Gue terpaksa makan sendiri dong nih?"

"Makanya cari pacar, biar gak jomblo kelamaan. Dibilang jangan ngajakin gue makan mulu ih, cari cewek sana."

"Ye sombong lu mentang-mentang mo nikah. Kan gue udah bilang kalau cuma lu cewek yang bisa ngimbangin porsi makan gue,"

"Duh sorry banget yan, gak bisa."

"Iye Iye, ya udah kalau gitu. Sampai nanti ya!"

"Yok! Dah!"

Gue mengakhiri telepon gue. "Mbak, saya mau makan siang dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa chat saya aja di WA," kata gue ke klien yang sedang kerja bareng gue. Gue siap-siap turun ke parkiran mobil setelah mendapatkan lampu hijau dari mbak-mbak berjilbab itu.

Gue berjalan menuju lift hingga sesaat gue jadi berubah pikiran, "Kayaknya mending makan di kantin kantor ini deh timbang ke Blok S." Dan ya gue mengurungkan niat untuk makan di Blok S, for the sake of gut feeling. Buat gue, nggak masalah makan dimana aja yang penting gue kenyang.

'And when the time comes, your lingering feels disappear. Doesn't matter how many times, I broke up with fears'

"Lagi bikin puisi ya?" cetus seorang cewek. Gue bahkan baru sadar kalau gue se-lift cuma berdua dengan cewek itu. Gue kebingungan.

"Mas tadi bergumam pakai bahasa Inggris gitu, eh kenalin, April." Gue masih cengo saat cewek yang bertubuh petite itu mengulurkan tangan ke gue. Sepersekian detik gue berusaha mencerna skenario di dalam lift ini. Cewek bernama April itu menarik kembali tangannya dengan canggung lalu menyibakkan rambut panjangnya di balik telinga.

"Oh, maaf. Bian, Biantara Ramadan." ujar gue gantian mengulurkan tangan ke arahnya setelah bisa mencerna situasi.

"Maaf ya kalau saya lancang," ujarnya. Gue menggenggam tangannya sembari menggelengkan kepala.

"Ah nggak, maaf ya kalau saya bergumam terlalu keras. Mengganggu ya?" April menggelengkan kepalanya. Rona merah tersemburat di pipinya. Anjir, gue nggak ngapa-ngapain dia.

"Eh, Mbak April mau makan sama saya?" ujar gue begitu dia melepas genggaman tangannya dan hendak keluar dari lift. Tangan gue menahan pintu lift sepersekian detik, menunggu jawabannya.

"Mbak sendirian atau sudah bareng teman-teman?" lanjut gue, takut-takut kalau cewek ini udah janjian bareng sama temennya.

"Saya sendirian sih."

"Mau nemenin saya makan?"

"Boleh."

***

Pertemuan gue dengan orang ini mungkin terbilang sangat aneh dan ganjil, gue mengakui hal itu. Tapi gue gak nyangka kalau cewek ini adalah tipe orang yang apresiatif. Sesuatu yang menarik buat gue, jarang banget nemuin orang positif di sini khususnya di Jakarta.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang