Gue menelepon Satria selepas mendengarkan demo Sabtu. Tapi nggak ada jawaban di seberang sana. Gue mencoba berkali-kali, tetap nggak ada sahutan. Akhirnya gue memilih untuk mengirim pesan kepadanya:
"Hai, Satria. Aku tahu kita lagi nggak bicara saat ini. Kalau ada waktu, tolong telepon aku balik ya. Ada yang mau aku omongin. Masalah di antara kita ini harus cepat diselesaikan daripada berlarut-larut. Aku tunggu ya."
Setelah mengirim pesan, gue melihat jam yang terletak di atas meja kerja di kamar gue. Sudah larut mungkin Satria nggak akan balas pesan gue atau menelepon gue dekat-dekat ini juga. Jadi gue memutuskan untuk tidur.
***
Satria POV
"Sekarang gue mau minta bantuan elo buat meluruskan kesalahpahaman antara gue sama calon istri gue, Ras," pinta gue pada Rasti. Kami berdua ketemu di sebuah cafe, ini pun setelah gue berkali-kali nelpon Rasti dan meminta dia ikut bertanggung jawab atas perbuatan dia. Gue memang salah, tapi tanpa Rasti buka mulut, gue juga nggak bisa meyakinkan calon istri gue untuk percaya.
"Kenapa nggak lo sendiri aja yang meluruskan kesalahpahaman itu Sat? Kenapa lo harus melibatkan gue saat lo ingin meyakinkan calon elo?"
"Ya karena elo memang terlibat, Ras."
"Gue melakukan hal itu karena gue gemes sama elo, Sat. Lo tuh udah punya calon istri tapi lo masih memperlakukan gue kayak lo nggak punya calon istri."
"Maksud lo?"
"Sat, sebelum lo nuntut gue untuk bantuin elo. Mending lo introspeksi dulu deh. Emang lo pikir lo nggak salah?"
"Gue lo jebak, Ras. Gue udah bilang kita cuma temenan dan gue nggak ada perasaan apa-apa sama elo."
"Memang gue menjebak lo, itu karena lo nggak tegas sama perasaan lo sendiri. Kenapa lo bikin gue bingung dan ngasih harapan ke gue?"
"Ya karena gue pikir elo temen gue."
"Temen tuh nggak kayak gitu Sat perhatiannya. Coba kalau istri lo diperhatikan temen cowoknya kayak lo perhatian ke gue, apa lo bakal tinggal diam? Lo masih sering makan siang sama gue, lo mau-mau aja gue ajak dinas di luar kota dan ninggalin istri lo yang ribet sama persiapan nikahan, lo juga masih balesin chat-chat gue tiap malam."
Gue terdiam. Sekelebatan memori tentang apa yang udah gue lakuin dengan Rasti jadi terlihat salah. Lalu gue ingat bahwa ketika gue nggak ada, Jason yang ada buat calon istri gue. Seketika tenggorokan gue terasa panas.
"Lo masih mikir kalau apa yang lo lakuin itu cuma karena lo temen gue?"
Gue nggak bisa menjawab cecaran Rasti seperti ini. Gue cuma bisa diam karena mungkin Rasti ada benarnya. Mungkin keadaannya nggak akan seperti saat ini kalau gue membatasi sejauh apa perlakuan gue ke Rasti. Atau gue ngaku ke calon gue kalau gue lebih banyak ngabisin waktu dengan Rasti di kerjaan.
"Gue bukannya nggak mau bantu elo Sat, gue udah minta maaf karena ngejebak elo. Sekarang ini urusan elo, gue nggak mau terlibat. Selesaikan masalah lo sendiri. Gue pergi dulu Sat, semoga lo nggak minta gue ketemu untuk ngomongin hal ini lagi," tutup Rasti. Dia beranjak dari tempatnya duduk. Meninggalkan gue.
Di saat yang sama, gue merasa sangat bersalah. Dada gue terasa begitu sesak. Gue benar-benar nggak punya muka buat ketemu sama calon istri gue.
Malamnya setelah gue membereskan masalah dengan Rasti, calon istri gue menelepon ponsel gue berkali-kali. Untuk kali ini gue nggak siap. Nggak siap mau ngomong apa, mau meyakinkan dia seperti apa. Gue nggak mengangkat teleponnya sekalipun. Mungkin gue harus cari saat yang tepat buat ngomong. Mengakui kesalahan gue.
Di poin ini, rasanya gue pengen ngelepas dia aja. Karena gue tahu, kepercayaan itu nggak bisa kembali seutuhnya. Gue juga akhirnya meragukan diri gue sendiri. Apakah ini yang gue mau sama dia? Apa gue bisa ngebahagiain dia di masa depan?
***
Jason POV
Apa gue salah ya ngasih demo tadi ke dia? Gue cuma pengen dia ngedengerin apa yang berasal dari Satria dengan harapan mereka bakal baikan? Kenapa gue malah kepengen mereka baikan?
Tiba-tiba ada telepon masuk ke ponsel gue, gue bergegas mengangkat teleponnya.
"Halo?"
"Halo Je?
"Satria? Kenapa lu?"
"Je, gue boleh minta tolong nggak?"
"Apaan?"
"Kalau ada skenario terburuk, lo bisa bantu bikin dia bahagia nggak?"
Deg! Sialan.
"Maksud lo apa? Lo mau ngapain? Jangan aneh-aneh deh lo."
"Nggak, gue nggak akan melakukan hal yang lo pikirin. Gue udah berpikir soal ini. Gue takut aja Je. Gue takut nggak bisa bahagiain dia."
Gue menarik napas dalam-dalam. Ini juga menyakitkan buat gue. Tapi kata-kata ini meluncur lancar dari mulut gue.
"Sat, lo yakinkan dulu diri lo. Lo nggak bakal bisa meyakinkan orang lain, kalau lo sendiri ragu sama diri lo. Gue nggak bisa ngebantu atau ngejanjiin apa-apa, ini masalah lo. Gue tahu lo udah tahu apa yang harusnya lo lakuin."
"Dan gue tau konsekuensinya Je."
"Ya lo harus hadepin."
"Makanya gue minta bantuan lo, kalau skenario terburuk terjadi. Gue cuma percaya lo orang yang bisa bikin dia senyum dan bahagia."
"Kok gue, Sat?"
"Iya, karena gue tahu perasaan lo ke dia tulus."
"Sat?"
"..."
Telepon itu putus. Gue makin bingung dengan apa yang terjadi. Nggak, this is not what I'm expecting to happen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu
Fanfiction"Sebelum kamu mengambil keputusan yang salah, aku ngasih kamu kesempatan buat milih kok. Yang penting kamu bahagia." - Satria "Gue tuh sayang sama elu, bukan cuma sebagai sahabat. Tapi gue tahu, posisi gue gak pas aja sama kondisi elu saat ini," - J...