Gue menenggak air putih dari tumbler seliter yang selalu gue bawa kemana-mana. Pandangan gue udah mulai agak kabur, sudah hampir 1 jam gue memandangi laptop dengan nanar. Otak gue rasanya sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya lagi. Gue memandangi lantai 29 tempat gue bekerja ini dengan tatapan kosong, orang-orang udah pada balik. Termasuk Je. Jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat dan bos gue masih tak bergeming memandangi laptopnya juga.
Yah begini nih kalau udah ada order dari Direktur, kudu kelar malam ini juga kayaknya. Sementara gue udah sumpek, berapapun angka yang gue masukin ke model keuangan ini, rasanya nggak makes sense.
"Pak, ini saya nggak bisa ngurangin cash minimum balance lagi deh. Soalnya nanti kalau saya kurangin, memang sih bakal ngurangin hutang dan interest expense, tapi jadinya nanti cash flownya terganggu Pak," jelas gue.
Bos gue manggut-manggut, "Coba yang di cash flow di-adjust aja. Pakai minimum cash balance yang sekarang lalu nanti disesuaikan arus kas untuk investasinya. Jadi nanti bisa ketemu Dividend Payout Ratio yang pas."
Gue udah utak atik semua komponen P/L, Neraca, sampai Arus Kas daritadi dan tetap aja angka yang diminta oleh bos gue itu nggak masuk akal. Biar cepat, gue manut-manut aja dan sudah kuduga, cara ini tetap tidak berhasil.
"Sudah saya ubah Pak, masih berbeda tapi tidak terlalu signifikan."
"Jadi berapa bedanya?"
"0.8 Milyar, Pak."
"Ya sudah, nanti tolong kirimkan ke saya. Saya cek ulang," perintah beliau. Mata beliau sebenarnya juga sudah merah. Beliau tahu bahwa kami berdua sudah sama-sama lelah.
"Baik, Pak."
Selesai wrapping up kerjaan, waktu sudah menunjuk pukul setengah sebelas malam. Gue berniat untuk nelpon Windra atau Dimas buat ngejemput gue tapi gue batalkan. Kayaknya gue bakal naik taksi aja deh.
'Udah pulang?' sebuah pesan masuk ke handphoneku, dari Satria.
'Baru mau pulang nih,' jawabku.
'Aku jemput ya. Tunggu di kantor.'
'Aku bisa pulang naik taksi, Babe.'
'Udah tunggu aja, 15 menit lagi nyampe.'
Usai berpamitan dengan si bos, gue langsung menuju lift untuk turun ke lobi. Sebenarnya gue seneng punya Satria, dia selalu tahu kebutuhan gue tanpa gue bilang. Tapi kadang dia protektifnya berlebihan banget, dia nggak sadar apa kalau gue juga udah dewasa, bisa jaga diri sendiri. Kalau gue nolak dia jemput, dia pasti bilang "Kamu nggak tahu ada banyak kasus kriminal kalau kamu pakai taksi online? Ini Jakarta, bukan London. London aja masih nggak aman, apalagi Jakarta?"
Gue tahu dia sayang gue tapi gue nggak mau terus-terusan bergantung sama dia untuk hal-hal trivial semacam ini. Apalagi risiko pekerjaan gue ini mengharuskan gue lebih sering pulang malam daripada pulang di jam normal.
Ketika gue sampai di lobi, suasana sudah sepi. Tinggal seorang satpam yang berjaga di meja resepsionis. Gue berdiri di depan air mancur, menunggu mobil Satria menjemput gue di lobi kantor gue ini. Gue terlalu cepat 10 menit.
"Kamu jadi jemput aku? Aku kecepetan nih turunnya," ujar gue saat memutuskan untuk mengabari Satria via telepon.
"Jadi kok, sabar ya Nyonya,"
"I am not complaining babe, jangan ngebut. Santai aja."
"Iya, Sayang. Kamu masuk dulu gih, jangan nunggu di luar. Nanti masuk angin,"
"Roger, Sir!"
Gue selalu menuruti apapun yang dikatakan Satria. Entah, kalau sama dia jiwa submissive gue otomatis muncul. Mungkin karena dia bisa nge-handle gue? Atau mungkin karena gue terlalu bucin sama dia? Yah, selama apapun yang dikatakan Satria itu baik buat gue, gue pasti nurut sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu
Fanfiction"Sebelum kamu mengambil keputusan yang salah, aku ngasih kamu kesempatan buat milih kok. Yang penting kamu bahagia." - Satria "Gue tuh sayang sama elu, bukan cuma sebagai sahabat. Tapi gue tahu, posisi gue gak pas aja sama kondisi elu saat ini," - J...