16- Afraid

154 15 5
                                    

Satria menepikan mobilnya di bahu jalan. Sementara tangan gue masih gemetar menunjukkan lipstik seorang perempuan di hadapannya. Gue nggak bisa nggak menahan tangis, dada gue sesak, mata gue panas. Gue udah membiarkan Satria sibuk dengan kehidupan pribadinya, bahkan tidak merecokinya sekalipun. Namun hingga mendekati hari H, dia nggak kunjung memberi tahu gue apa-apa. Bayangin kalau lo ada di posisi gue?

"Aku bisa jelaskan," kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Entah mengapa, kata-kata itu justru membuat gue semakin muak dengan Satria. Sama persis ketika Ayah gue mengaku bahwa dia selingkuh di belakang Ibu gue. Sebuah alasan yang dibuat-buat, lebih banyak kebohongan daripada kejujuran terselip di dalamnya.

"Kenapa kamu baru mau jelaskan ketika kondisinya begini? Kenapa kamu nggak bilang kemarin-kemarin?"

"Kamu mau denger dulu apa nggak? Kalau kamu mau marah, ya udah silakan. Aku dengerin kamu marah dulu, baru aku mau cerita," ujar Satria kalem. Tidak ada sedikitpun nada gusar di suaranya yang dalam itu.

"Kamu mau menyimpan hal ini sampai berapa lama, Sat?"

"Aku nggak nyimpen apa-apa. I swear."

"Lalu apa? Perempuan yang suka gangguin kamu tiap malam itu siapa? Perempuan yang kamu cium kemarin di Kemang itu siapa?"

Gue bisa lihat muka Satria berubah menjadi sedikit lebih tegang sekarang. Dia memandangi gue tajam, seolah mengintimidasi gue. Tapi gue nggak boleh kalah, nggak boleh melunak. Satria yang harus menjelaskan ini ke gue sebelum gue mengambil keputusan.

"Kamu di Kemang?"

"Jawab pertanyaanku dulu, Sat."

Satria menghela napas, mengalihkan mukanya yang semula menghadap gue. Dia membanting punggungnya ke kursi supir lalu memejamkan mata. Sementara otak gue masih memikirkan risiko-risiko terburuk. Di satu sisi gue nggak mau kehilangan Satria, di sisi lain gue sudah sangat muak dengan alasan-alasan yang akan dia berikan nantinya. Ibaratnya, kepercayaan gue sudah dinodai dan gue nggak mau membangun rumah tangga kalau dasarnya saja adalah pasir yang rapuh.

"Selama ini tuh nggak ada orang lain, nggak pernah ada. Cuma kamu," akhirnya Satria membuka suara.

"Tapi sama seperti kamu, aku juga punya teman yang dekat. Nggak pernah aku ceritain ke kamu dia siapa. Itu yang jadi kesalahanku, mungkin. Tanpa aku tahu, dia punya rasa ke aku. Aku sudah nolak dia, aku bilang aku punya kamu."

"Kenapa kamu nggak pernah ngenalin dia ke aku dan sebaliknya? Aku ngenalin Jason ke kamu lho, Sat. Dari situ aja udah aneh."

"Iya, maaf. Aku nggak tahu kalau akhirnya jadi runyam begini. Aku tahu aku salah. Harusnya sejak awal aku bikin batas yang nggak boleh dilewati dia, harusnya aku bahkan nggak perlu ketemu dia sejak awal."

"Sat.."

"Maaf, maaf. Aku yang salah."

"Kamu memang salah tapi ini bukan salah kamu sepenuhnya. Sekarang jawab aku dengan jujur, kamu ada perasaan juga nggak sama perempuan itu?"

"Nggak ada, cuma kamu."

Gue nggak tahu harus merespon seperti apa. Di satu sisi Satria sepertinya berusaha jujur ke gue, di sisi lain gue masih nggak percaya sama omongan dia. Gue bener-bener butuh waktu buat berpikir.

"Kamu boleh nggak percaya dengan kata-kata aku sekarang, kamu boleh minta pernikahan kita diundur, kamu boleh melakukan apapun. Karena ini salahku."

"..."

Gue terdiam.

"Mungkin yang terbaik buat kita sekarang, kita harus istirahat dulu. Aku akan bilang Mama sama Papa buat menunda pernikahan kita, aku nggak mau kita menikah dengan hati yang berat kayak gini. Kamu percaya aku kan?"

Gue nggak menjawab pertanyaan Satria. Dia memandang gue dengan mata yang letih, seolah tahu bahwa gue nggak akan mempercayai dia sepenuhnya seperti yang gue lakukan sebelumnya.

"Kamu nggak harus percaya aku, tapi aku bisa percaya kamu kan?" ujar Satria. Matanya beradu dengan mata gue. Di saat itulah gue merasa ditelanjangi. Apa artinya sebuah hubungan jika tidak ada kepercayaan satu sama lain?

***

Gue bener-bener butuh waktu untuk memproses yang barusan terjadi. Satria akhirnya mengantarkan gue pulang. Dia berpamitan sebelum balik ke rumahnya. Dia memeluk gue di depan rumah dan seperti biasa, dia minta gue untuk jaga diri. Dia juga memberi gue waktu untuk memikirkan ulang pernikahan ini. Sebanyak yang gue mau. Malam itu terasa makin dingin, pelukan Satria dan kecupannya di dahi gue tidak membuat hati gue menghangat.

Usai berpisah dengan Satria, gue langsung menuju kamar gue dan tidak menghiraukan Dimas dan Windra yang sedang main game di ruang keluarga. Gue mengunci kamar gue, merebahkan tubuh gue di atas kasur, lalu memandangi langit-langit kamar.

Sekarang, apa yang harus gue lakukan?

Apa yang ada di hati dan pikiran gue sama sekali nggak sinkron. Gue kembali bertanya ke diri gue sendiri, "Apakah gue masih mencintai Satria? Apakah gue bisa menerima permintaan maaf Satria tadi? Apakah gue bisa mempercayai kata-kata Satria?"

Gue nggak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Dada gue makin terasa sesak, air mata mulai mengalir dari sudut mata gue. Mau tidak mau, gue akhirnya menangis sesenggukan karena gue nggak tahu harus berbuat apa lagi.

***

Satria POV

Gue nggak bisa berhenti menangis setelah mengantarkan calon gue pulang tadi. Gue nggak ngerti gimana caranya gue bisa meyakinkan dia bahwa Rasti bukan siapa-siapa. Ini memang salah gue yang nggak terbuka soal lingkaran pertemanan gue, dulu gue berpikir "Buat apa? Toh nanti tahu sendiri." Ternyata gue salah, perhitungan gue meleset dan endingnya jadi runyam begini.

Gue tahu dia punya trauma yang mendalam soal hal ini, dia benar-benar takut akan 'perselingkuhan'. Mungkin gue bisa membela diri, tapi dia nggak. Karena traumanya itu dia bakal menganggap gue hanya memberi beribu-ribu alasan. Gue bahkan nggak punya kuasa untuk mengembalikan kepercayaannya lagi ke gue. Penat.

Apakah lebih baik hubungan ini diakhiri?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala gue. Gue takut nggak bisa bikin dia bahagia lagi. Secara tidak langsung, gue sudah mencederai kepercayaannya. Gue takut kalau bersama dengan gue, dia semakin kehilangan cahayanya. Gue takut kalau pada akhirnya dia nggak bisa tersenyum lagi meskipun sama gue.

Apakah lebih baik gue menyerah dengan hubungan ini?

Itu juga bukan jawaban. Sudah sejauh ini gue dan dia berjalan bersama. Sudah selama ini gue dan dia saling bersisian. Apakah memang takdirnya gue nggak sama dia?

Kalau memang itu bisa bikin dia lebih bahagia, rasanya gue harus mulai mempersiapkan hati gue buat melepaskan dia.

***

You look like the moon that lights up the black sky

Your light is slowly being obscured by my darkness

Even at this moment when you're smiling at me

I don't think I can make you happier

Than you were before you knew me

I'm so afraid that you'd become like me

I can't let you go, but I can't hold on

What should I do?

You're hurting when you're with me

I'm hurting without you

-Afraid

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang