12- A Shoulder to Lean On

93 12 7
                                    

Jason POV

Gue sudah berada di mobil sekarang, gue menyetir tanpa tujuan. Deru mesin mobil seolah membelah malam yang gelap dan dingin ini. Gue mendengar percakapan dia dan Satria. Dan masalah mereka berdua berpusat pada gue. Mungkin ini salah gue sendiri juga, gue bermain api. Gue masuk ke dalam kehidupan orang yang sudah jelas akan menikah dalam waktu dekat. Gue mendekati sosok yang akan jadi milik orang lain. Salah gue.

Haruskah gue menyerah dengan perasaan gue sekarang? Atau haruskah gue jujur kalau gue menaruh rasa ke dia? Meskipun gue tahu bahwa gue akan patah hati juga nantinya. Bahwa pria yang dia pilih tetaplah Satria.

Kepala gue pening, gue memilih untuk mengendarai mobil gue ke bar yang ada di tengah kota. Tengah malam begini, yang masih buka tentu saja bar. Dan untuk pertama kali di hidup gue, gue lari ke alkohol. Minuman itu nggak akan menyelesaikan masalah gue, setidaknya dia bisa ngebantu gue merasa rileks barang sebentar.

Gue memarkir mobil gue di depan bar lalu turun dengan langkah lunglai. Gue nggak pengen pulang. Bahkan besok kayaknya gue mau izin cuti sehari aja. Gue pengen kabur sejenak dari pikiran-pikiran kacau yang semrawut di otak.

"Whisky atau vodka, apapun itu ya. Sama bir satu," ujar gue ke barista. Gue mengambil kursi tinggi barista, cenderung sepi dibandingkan dengan kursi yang lain. Selain itu, kalau duduk di kursi sofa, gue harus open table dan gue nggak sebodoh untuk untuk open table sendirian. Setelah gue memesan minuman, barista mengangguk dan sibuk dengan pesanan gue.

Gue menunduk lemas, menenggelamkan kepala gue di lengan, mengacak-acak rambut gue sendiri. Gue pengen nangis, tapi nggak bisa.

"Gue benci sama Satria," ujar seseorang. Suaranya familiar.

"Kenapa Satria selalu memilih wanita itu? Nggak adil! Gue yang selalu ada buat dia. Gue yang duluan ketemu dia," mau tidak mau, gue mengangkat kepala gue dan mencari sumber suara. Rasti?

"Kenapa wanita itu nggak enyah aja dari dunia ini?" ujar wanita itu sembari menenggak segelas whisky. Raut mukanya sudah tak karuan, rambutnya acak-acakan, make upnya luntur karena air mata. Gue mendekat ke arahnya.

"Rasti?"

"Siapa?"

"Jason, Jason Wismoko yang waktu itu."

"Nggak kenal. Aku mau ketemu Satria. Aku benci Satria."

Nampaknya wanita ini sudah mabuk parah. Gue berusaha menenangkan dia tapi lengannya menghindari tangan gue. Lalu dia merogoh-rogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Dia menelepon seseorang.

"Sial! Nggak diangkat!"

"Ras? Itu Satria?"

"Satria brengsek!"

Barista meletakkan segelas whisky dan bir gue di tempat gue berdiri menunggui Rasti. Rasti nangis sesenggukan lagi. Lalu dia melihat gelas whisky gue dan menenggaknya habis dalam satu kali minum.

"Tunggu tunggu," gue berusaha mencegah cewek ini melukai livernya lebih parah namun terlambat. Whisky gue sudah habis diteguknya. Lalu tubuhnya limbung ke arah gue. Dia melanjutkan tangisannya di dada gue. 

Canggung. 

"Ras, it's okay. It's okay. Everything's gonna be alright. Gue antar pulang yuk," ujar gue sembari menepuk-nepuk punggungnya. Rasti makin sesenggukan.

"Why does it feel so hurt? Being rejected?" Gue diam. Gue bahkan tahu kalau gue ditolak tanpa gue mengutarakan perasaan gue.

"Why did he left me for that woman? I did the best for his career and he just ruined it." Satria? Menghancurkan karirnya sendiri?

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang