15- Strangers

105 15 3
                                    

Satria POV

Makin dekat dengan hari pernikahan, jadwal gue semakin padat. Memang sih semua sudah ditangani Event Organizer juga, cuma Mama tetep aja masih mau begini dan begitu. Kayak masih ada aja yang kurang. Sampe gue dan calon gue berpikir, "Coba kalau kami nikah nggak pake acara gede-gedean mungkin nggak akan ribet ke depannya."

Untung dia sabar, dia masih mau-mau saja mengiyakan permintaan aneh-aneh Mama dan keep up dengan segala persiapan pernikahan yang melelahkan ini. Walaupun gue merasa ada yang aneh sama dia akhir-akhir ini.

"Kalau ada yang bikin kamu stress, bilang aja. Nanti kita selesaikan bareng masalahnya," ujar gue ke dia yang memasang muka ekstra lelah. Kami berdua baru selesai ke tukang dekorasi dan mengurus segala perintilan dokumen untuk diserahkan ke KUA. Masih ada jadwal lanjutan lagi untuk ke tukang katering dan menemui fotografer untuk menentukan jadwal pre-wedding.

Dia bersandar ke jendela mobil, tangannya memegang kepalanya dan mengurutnya. Sementara gue memegang tangannya yang bebas di pangkuannya. 

"Nggak kerasa udah deket sama hari H ya, Sat. Apakah setelah ini kehidupan kita akan makin baik-baik aja atau jadi lebih ribet? Aku denger pernikahan itu adalah gerbang menuju keribetan-keribetan yang lain," jawabnya tak bersemangat. Gue merapatkan genggaman tangan gue di tangannya.

"Kita bisa kok jalanin berdua," gue berusaha memberikan semangat.

"Nggak tahu, Sat."

Setelah dia mengucapkan hal tersebut, kami berdua terpaku dalam diam. Sepanjang perjalanan  menuju ke tukang katering kami tidak berbincang. Gue membiarkan dia terlelap, sementara gue nggak ingin menambah beban pikirannya. Bagi gue, hal ini juga berat.

***

Rasti udah jarang ngeganggu gue lagi di kerjaan, dia bahkan cenderung menghindari gue dan jadi lebih sibuk. Itu berarti, intensitas gue ketemu dia dan diajakin rapat-rapat yang tidak signifikan semakin berkurang. Beruntung dengan hal itu, gue bisa lebih bisa mengalokasikan banyak waktu buat calon istri gue dan persiapan pernikahan. Namun saat gue merasa gue bisa bernapas sedikit lega, Rasti kembali ngeganggu gue. Rupanya dia nggak bisa nyuekin gue terlalu lama sejak kejadian di dinas kemarin.

"Sat, gue perlu ngomong sama elo nanti pulang kerja," ujarnya ke arah gue selepas gue keluar dari ruang rapat.

"Oke," gue menjawabnya dengan tegas. Lebih baik masalah seperti ini cepat-cepat diselesaikan. Agar kedua belah pihak sama-sama nyaman.

"Gue udah pesan meja di restoran Jepang daerah Kemang, nanti lo langsung ke sana aja. Gue sebentar lagi ada rapat di luar dan nanti langsung pergi ke sana."

"Oke," jawab gue lagi.

"Lo beneran udah muak sama gue Sat? Apa lo berharap gue balik jadi orang asing bagi lo?"

"Nggak, tapi emang sejak awal nggak ada apa-apa di antara kita Ras."

Setelah gue mengatakan itu, Rasti melengos dan pergi dari hadapan gue. Sore nanti, gue harap dia semakin sadar bahwa nggak ada lagi tempat di hati gue buat dia. Kalaupun gue bilang dia tetap bisa jadi temen gue, itu sama saja dengan gue ngasih harapan ke dia.

Sepulang kerja, gue menepati janji gue untuk menemui Rasti di restoran Jepang daerah Kemang. Untuk ukuran peak hour, restoran ini cukup sepi. Baguslah, jadi gue lebih leluasa ngobrol dan meluruskan masalah dengan Rasti. Gue masuk ke restoran tersebut dan bilang ke pelayan mengenai reservasi yang sudah dilakukan Rasti. Gue digiring ke arah meja yang disediakan hanya untuk dua orang di bagian dalam Restoran.

Gue duduk di meja dan melepas jas gue. Sementara pelayan menuangkan air putih ke dalam gelas gue. Gue nggak perlu nunggu lama karena sepuluh menit kemudian Rasti datang.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang