1- Additional Player

272 25 1
                                    

"I'm stuck at this moment, cause it shines beautiful. So do these streetlights and so do you..." Je bergumam di sebelahku, buku-buku jarinya mengetuk-ngetuk briefcase yang dia bawa. Sementara telapak kakinya mengetuk tanah dengan pelan sesuai ritme melodi yang dia nyanyikan.

"Wish we could stay here, as much as time as blinking. Keep you in my eyeline..." Je melanjutkan liriknya dengan bergumam. "Hmmmm hmm hmmm..."

"Lagu siapa tuh?" tanyaku pada Je yang berdiri menjulang di sampingku. Kami berdua sedang menunggu Windra datang menjemput, kami berdiri di lobby kantor kami. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan kami masih terjebak di lobby gedung kantor BUMN yang terletak di Jakarta Selatan ini. Aku memandangi Je yang matanya menatap air mancur di depan lobby.

"Gue mencoba nyiptain lagu sendiri," jawabnya. Suara Je terdengar bergetar, dia terdengar sok tegar.

"Bagus kok melodinya, aku suka." terdengar Jae tertawa lega di sampingku.

"Oke kalau lu bilang bagus, gue rekaman beneran nih," godanya. Aku melengos dan memutar bola mata.

"Kagak usah izin kali, rekam ya tinggal rekam aja. Adik gue punya band tuh, kalau mau gabung dia aja. Dia ngeband bareng sama Satria dan Bian juga, elu udah gue kenalin ke mereka kan?"

Je mengangguk, rambutnya yang tebal dan berwarna cokelat itu mengikuti gerakan kepalanya. Gosh! Anak ini kenapa rambutnya tebel banget dah.

"Mereka butuh pemain gitar nggak?" tanya Je mulai tertarik.

"Calon suami gue udah jadi gitarisnya sih, sama vokalnya. Tapi yah coba aja, siapa tahu mereka butuh? Coba tanya Windra deh nanti, Windra juga gabung kok di band itu bareng Dimas."

Nampaknya tak butuh waktu lama bagi Je untuk menantikan jawaban atas pertanyaannya karena mobil Windra tiba di saat yang tepat. Mobil Toyota hitam itu berhenti di hadapanku dan Je yang menunggu mereka cukup lama di lobby kantor ini. Begitu berhenti dengan mulus, Windra menurunkan kaca pintu penumpang lalu melambaikan tangan pada Je.

"Je, mau bareng nggak?" tawarku, "Sekalian nanya yang barusan." Je menggeleng, tangannya yang kurus itu membukakan pintu penumpang untukku dan mempersilakan aku masuk.

"Kak Je bisa main gitar nggak? Kami lagi butuh orang nih," cetus Dimas dari kursi penumpang belakang.

"Eh Dimas ikutan juga?" sahutku, Dimas tersenyum gemas. Lalu aku melirik Je dan memberi kode untuk masuk ke dalam mobil juga.

"Kak Je, ikut kami aja. Nanti kita ngobrol soal rekrutmen pemain baru band juga, Kak Je bisa main gitar kan?" lanjut Windra. Je mengangguk lemah. Dengan pasrah dia akhirnya naik juga ke dalam mobil dan duduk di sebelah Dimas di kursi penumpang belakang.

"Akhirnya pertanyaan lu terjawab kan? Tuh Windra sama Dimas butuh gitaris, seinget gue elu pernah ngaku kalau lu demen banget main gitar kan? Makanya jarinya panjang-panjang gitu," aku membuka pembicaraan.

"Iya gue demen main gitar sih.."

"Demen nyiptain lagu juga, kayak yang barusan," lanjutku.

"Ini harus banget dibongkar semuanya nih?" Je mulai sewot. Aku suka sekali menggodanya seperti ini.

"Iyeeee biar elu beneran gabung sama band adek-adek gue!"

"Oke. Win, Dim, jadi apakah gue udah bisa resmi diterima sebagai additional player di band elu nih?"

"Kak Je beneran tertarik nggak?" tanya Windra di balik kemudi, matanya melirik ke kaca supir menilai ekspresi Je. Dimas juga memandangi Je lamat-lamat, menilai keseriusan Je.

"Iye beneran gue tertarik... Kok gue merasa gak nyaman ya kalian liatin."

"Yass! Sip, nanti kami bakal bilang ke Mas Satria dulu. Mas Satria pasti setuju sih, nanti tunggu kabar ya Kak Je."

"Oke, oke!"

***

Jason POV

Shit! Kenapa gue mengiyakan ajakan Windra sama Dimas buat gabung ke band yang ada Satria-nya juga? Apakah gue ini masokis? Nyari penyakit? Ini berarti gue bakal lebih sering berinteraksi sama dia, keluarga dia, dan calon suami dia.

Gue nggak bisa menolak kenyataan kalau gue tuh sayang dia lebih dari temen tapi gue nggak mau ngerusak hubungan pertemanan ini. Tapi semakin deket gue sama dia, semakin gue menyayangi dan nggak mau dia sama Satria. Gue harus semakin menjaga rahasia ini rapat-rapat.

Di sisi lain, gue pengen nyiptain lagu buat dia kayak gue nyanyiin barusan ini. Gue pengen menghentikan waktu gue pas sama dia. Waktu bareng dia tuh terlalu indah, sayangnya dia pasti nggak ngerasain hal yang sama kayak gue. Dia udah punya Satria yang menurutnya paling sempurna. Andai waktu itu gue ketemu dia dulu, apakah dia juga berpikir gue yang paling sempurna buat dia?

Ah Je, lu ngapain dah ngambil keputusan di tengah kebucinan ini? Nothing makes sense right now, anything!

Gue boleh jadi additional player di band Satria tapi gue nggak mau cuma jadi additional player di kehidupan cewek yang gue sayang. Haruskah gue buktikan kalau gue lebih baik dari Satria?

"Jangan berhalusinasi deh Kak Je, nanti kesambet lho!" ujar Dimas datar sembari memandang Windra yang tengah fokus mengemudikan mobil. Ngeri deh, nih anak bisa baca pikiran gue apa?

"Ngalahin Mas Satria itu susah banget sih," lanjut si bocah tengil yang kemudian pura-pura tidur setelah mengucapkan kata-kata aneh itu.

Hmm, Satria.

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang