Setelah Je memutuskan untuk ikutan gabung ke band Satria, yang isinya sebenarnya adalah orang-orang di circleku juga yaitu dua adik kecilku Windra dan Dimas, ditambah si tukang makan Bian, maka Satria memutuskan untuk ngajak ketemuan kecil-kecilan. Kami memilih sebuah kafe yang enak untuk ngopi sekaligus makan di kawasan Senopati. Ada aku, Satria yang duduk di samping kananku, lalu Bian di samping kiriku, setelah itu Windra dan Dimas yang duduk di hadapanku dan Satria, di samping kiri Dimas ada Je yang berhadapan dengan Bian. Kami memesan sejumlah kudapan ringan dan minuman saja sebelum masuk ke main course, pembicaraan soal terbentuknya band hepi-hepian dan juga makanan utama secara harfiah.
"Nggak perlu formal dan kaku-kaku amat lah, kita semua kan udah saling kenal," ujar Satria membuka pembicaraan. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang sengaja kusandarkan lemas di gagang kursi. Menyadari Satria melakukan itu, aku melempar senyum ke arahnya dan menggenggam tangannya balik.
"Anyway thanks juga buat Jason yang mau gabung ke band hepi-hepian ini. Ini bukan proyek serius kok, hanya pelarian aja. Kita semua pasti punya masalah atau stres masing-masing kan di hari biasa? Nah, tujuan gue ngajak kalian gabung ke band ini cuma buat ngejam aja, biar kita semua hepi aja," lanjut Satria. Je mengangguk dan tersenyum kecil, dia masih terlihat canggung.
"Iya Mas, Dimas kadang suka bete skripsi nggak kelar-kelar tapi nggak ada pelarian. Apalagi kalau udah kena semprot Dosbing buat revisi. Beeeeuuuh~" tambah Dimas sok manja.
"Yeee, kalau elu mah nyari alasan aja biar skripsi nggak kelar-kelar," timpal Bian yang melempar buntelan tisu ke arah Dimas. Dimas terkekeh, Windra juga ikut tertawa kecil.
"Ini dua orang, mentang-mentang dah mau jadi suami istri aja gandengan di depan umum. Simpen dulu kek sampai semua bubaran," celoteh Bian sembari melirik aku dan Satria yang masih berpegangan tangan di bawah meja.
"Sirik aje lu," sahutku sambil menyenggol rusuknya. Bian mengaduh pelan.
"Udah, udah," Satria melepas genggamannya, kini kedua tangannya terkatup di atas meja, "Jadi gini, gue pengennya kita have fun aja. Nggak masalah kita nggak nyiptain lagu, ngecover lagu aja boleh. Seperti yang gue bilang tadi, no pressure, nggak ada goal jangka panjang buat band ini. Pure buat hepi-hepian aja. Tapi band ini juga harus punya nama dong, kira-kira apa ya?"
"Sabtu aja, kan hari ini Sabtu," jawab Windra asal-asalan. Semua memandangi Windra dengan aneh.
"Ha ha lucu Win," untuk kali pertama Je menimpali percakapan kami petang itu.
"Eh tapi boleh juga sih," aku menambahkan, empat pria yang ada di tempat itu gantian memandangiku.
"Seriously?!" teriak Bian dan Je bebarengan.
"Iya serius! Memang alesannya nggak se-sederhana hari ini Sabtu kayak apa yang dibilang adek gue. Guys, tujuan band ini kan melepas penat saat weekend. Nah, jadiin aja kalian nge-jam tiap Sabtu gitu. Dan nih, sekarang kan kita ada enam orang. Hari keenam dalam seminggu apa? Sabtu? Ya udah, Sabtu aja," jelasku.
Sebenarnya ada alasan lain yang tidak kusebutkan, yaitu Hari Sabtu adalah hari dimana Satria bisa mendedikasikan waktunya untukku. Selain Sabtu? Ada sih, tapi Sabtu sudah jadi hari dimana aku dan dia harus bertemu untuk menghabiskan waktu bareng. Dan kini, Sabtu ke depannya dia akan menghabiskan waktu bareng orang-orang terdekatku. Hari Sabtu memang berharga buat kami berdua.
Aku melirik Satria, meminta dia menyetujui ideku tanpa aku harus bicara lagi. Satria menghela napas seolah dia menangkap ide yang bercokol di otakku.
"Gimana geng? Setuju nggak kalau band kita dinamain Sabtu?" Satria melemparkan pertanyaan kembali ke audiens.
"Well.. Karena penjelasan elu udah cukup masuk akal, gue oke deh," ujar Bian yang mengalah pada penjelasan anehku. Mata Windra berbinar-binar, dia mengangguk penuh persetujuan. Dimas juga demikian, mungkin mereka berdua setuju karena aku adalah kakak mereka, dan kedua orang itu tidak mau bermasalah di rumah nantinya. Padahal aku sih santai aja, kan aku demokratis.
"Ya oke, gue setuju aja deh," sahut Je yang akhirnya juga mengalah. Satria mengangguk dan tersenyum.
"Oke, abis ini kita langsung ke studio dan ngejam ya? Abisin dulu makanannya, nanti on me aja."
"Eh beneran nih elu yang bayar? Aseeeeek! Boleh nambah gak Bang Sat?" sahut Bian yang moodnya naik tiba-tiba karena makanan gratis.
"Ah elah, ya udah sana-sana nambah yang banyak," jawab Satria.
***
"Babe, sebenarnya selain alasan yang tadi itu aku punya alasan lain lho," ujarku saat menemani Satria membayar pesanan kami. Empat orang lainnya sudah berjalan menuju tempat mobil Satria diparkir, tinggal aku dan Satria saja di depan kasir.
"Karena kita berdua seringnya cuma ketemu di hari Sabtu kan? Dan kamu jadi makin punya alasan buat bareng aku tiap Sabtu kan?" jawab Satria sembari mengurus pembayaran.
"Kamu tuh cenayang ya? Kok tau aja sih?"
"Hmm apa ya, kamu terlalu mudah untuk ditebak kali?"
"Masa sih? Ya udah aku mau pura-pura misterius deh."
"Coba aja kalau bisa," ujar Satria yang sudah beres dengan pembayarannya. Dia menatap wajahku dan tersenyum manis. Lalu dia mengusap-usap kepalaku.
"Kamu tuh sederhana ya, pengen nyium deh sekarang," ujarnya menggodaku. Satria pura-pura mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Heh gila, ini di tempat umum. Nanti aja," tanpa kusadari pipiku jadi terasa panas dan aku menjauhkan wajahku dari Satria. Tapi aku tak bisa melepaskan diriku dari tatapan mata Satria yang bersinar itu.
"Janji ya?" godanya.
"Tanpa kamu minta juga aku kasih kan?" aku menggodanya balik. Satria mengusap kepalaku sekali lagi dan mencubit hidungku, "Aw."
"Gemesin banget, calon istri siapa sih?"
"Dih apaan sih, cheesy banget kamu," balasku sambil menendang betisnya. Kami pergi dari konter kasir dan menyusul yang lain. Satria mendekatkan tubuhku ke arahnya dengan memeluk bahuku.
"Kalau tiap Sabtu aku nggak ngeband, kita bisa begini terus seharian kayaknya," ujar pria berbahu lebar ini.
"Nggak papa, yang penting aku bisa bareng kamu. Aku udah seneng kok. Ingat, love language-ku kan quality time," jawabku. Satria mengangguk-angguk.
"Yes, Ma'am. Setelah jadi suami-istri nanti I'm all yours," janjinya. Dan aku tersenyum bahagia sekali lagi.
***
Jason POV
Gue ngeliat dia bahagia banget bareng calon suaminya dari jauh. Ya gue cuma bisa ngeliatin dia begini doang. Di satu sisi gue seneng bisa ketemu dengan orang-orang di circle dia, apalagi ngelakonin apa yang udah jadi passion gue yaitu bermusik. Tapi gue juga mempertanyakan keputusan gue, apa gue sanggup ngeliat dia bareng Satria terus begini?
Tadi saat mereka malu-malu gandengan tangan aja gue merasa perih. Sekarang gue harus ngeliat tingkah lovebirds mereka itu hampir tiap Sabtu? Jason Wismoko, you are mental!
"Ngeliatin apa bro?" senggol Bian.
"Nggak ngeliatin apa-apa kok bro," gue jawab.
"Halah palingan kak Je ngeliatin Kakak yang lagi mesra-mesraan sama Mas Satria, cemburu ya Kak Je?" goda Windra sambil ketawa-ketiwi.
"Alah paan sih? Ada-ada aja lu," sahut gue sewot.
"Jujur aja lah kalau cemburu Kak Je, keliatan tuh kuping Kak Je merah," tambah Windra.
"Ni anak beneran minta ditendang keknya," ujar gue.
"Bro, kalau saingannya Satria mah berat. Percaya gue," sahut Bian sembari mengalungkan lengannya ke bahu gue. Sepersekian detik berikutnya, dia ngasih gue pat in the back.
"Ya, gue ngerti kok kalau Satria itu udah ultimate buat dia. Gue tahu diri juga,"
"Good for you," jawab Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu
Fanfiction"Sebelum kamu mengambil keputusan yang salah, aku ngasih kamu kesempatan buat milih kok. Yang penting kamu bahagia." - Satria "Gue tuh sayang sama elu, bukan cuma sebagai sahabat. Tapi gue tahu, posisi gue gak pas aja sama kondisi elu saat ini," - J...