11- Hold On

100 14 3
                                    

Satria POV

"Satria? Dia di sini? Udah pulang dari dinas?" gue mendengar suaranya. Dia udah datang, bareng Jason. Nadanya seolah berharap gue nggak tiba-tiba dateng ke rumahnya dalam kondisi begini.

"Iya tuh lagi gitaran sama Bang Bian dan Windra di teras." jawab Dimas. Gue masih menyibukkan diri, pura-pura nggenjreng gitar seperti biasa. Dalam hati, gue deg-degan parah. Antara kesal dan kangen. Bian menyenggol rusuk gue. Gue bertukar pandang dengannya.

"Udah dateng tuh," hanya itu kalimat yang terucap dari mulut Bian. Tanpa dijelaskan pun dia tahu gimana kalang kabutnya perasaan gue. Gue cepat-cepat cabut setelah rapat dan balik ke Jakarta. Gue cepat-cepat datang ke sini tanpa pulang ke rumah gue duluan.

"Satria! Kamu pulang dinas kok nggak ngabarin sih?" tanyanya, dia melingkarkan tangan ke badan gue dari belakang. Gue melihat arah pandangan Bian, sepertinya dia bertukar pandangan canggung dengan orang lain di belakang gue, entah itu Jason atau calon istri gue. Dugaan gue sih Jason.

Gue menyerahkan gitar ke Bian, lalu memutar badan gue. Spontan gue balas pelukan istri gue dan menciumnya di pipi dan bibir.

"Niatnya sih mau surprise tadi, tapi kayaknya kamu deh yang surprise-in aku." jawabku.

"Sat, Bi, kalau gitu gue balik dulu ya," ujar Jason pamitan. Calon istri gue melepaskan pelukannya dari gue dan dengan cepat meraih lengan Jason.

"Jangan pulang dulu, makan dulu lah bareng sama anak-anak. Kalian Sabtu juga udah jarang latihan nggak sih? Jason boleh ikutan nongkrong dulu kan?"

Gue mengangkat bahu gue, tanpa gue yang izinin toh ini rumah dia. Itu kan hak dia.

"Iya Bang Je, yok makan dulu!" ajak Dimas dan Windra bebarengan. Mungkin karena merasa gak enak sama gue atau calon istri gue, Jason jadi bingung. Namun akhirnya dia jadi terpaksa ikutan kami nongkrong. Gue nggak bohong sih, hawanya jadi canggung banget.

***

"Bisa ngomong dulu nggak bentar?" gue membisiki telinga calon istri gue setelah kami berenam selesai makan malam dan duduk-duduk santai di ruang tamu. Windra, Dimas, dan Bian memilih untuk main UNO, sementara Jason memetik senar-senar gitar sambil menutup mata.

"Hmm? Apa?"

"Kita keluar bentar yuk," ajak gue ke calon istri gue untuk ngomong di teras. Kami berdua berjalan bersisian ke teras rumahnya. Begitu sampai di luar, nggak ada lagi yang pengen gue lakuin selain memeluk dia erat-erat. Sungguh, gue kangen berat sama dia. Dan gue takut ditinggal.

"Kamu kangen sama aku?" tanyanya, suaranya teredam pelukan gue.

"Masa kamu masih nanya sih?"

"Aku juga kangen kok sama kamu," ujarnya. Dia lalu melingkarkan lengannya ke pinggang gue.

"Sat, kamu nggak marah kan tahu aku jalan sama Jason? Kan aku udah izin," ujarnya. Gue akhirnya mengendorkan pelukan gue ke dia.

"Sempat marah sih tapi ya sudah daripada kamu jalan sendirian. Aku juga merasa bersalah kok malah dinas ketika kita punya janji akhir pekan ini."

"Baguslah. Maaf ya kalau kamu jadi merasa gak nyaman."

"Sama-sama, maaf ya kalau aku kedengarannya jadi terlalu protektif ke kamu."

"Sat.."

"Iya? Ada apa?"

"Aku tahu kamu peduli, kamu sayang sama aku. Dan sebentar lagi kita jadi suami istri. Namun sebelum itu, aku boleh minta sesuatu nggak ke kamu?"

"Minta apa?" gue jadi makin deg-degan. Anak ini kenapa lagi coba?

"Kasih aku kebebasan, Sat."

"Maksudnya? Kamu mau kita udahan?" Dunia gue rasanya runtuh mendengarkan permintaannya itu.

"Nggak, tolong dengerin dulu. Aku nggak minta kita udahan atau apapun. Aku mau sebelum kita beneran menikah, tinggal satu atap, menghabiskan waktu bersama satu sama lain, kita harus lebih terbuka. Dan aku nggak mau, nanti kalau kamu jadi suami aku kamunya ngatur-ngatur aku."

"Apa selama ini aku begitu?" Jujur, dada gue sesak mendengar dia ngomong begini. Seolah-olah gue terlalu posesif sama dia. Seolah-olah gue nggak ngasih kebebasan yang dia inginkan. Seolah-olah nanti gue bakal jadi pria misoginis dan patriarkis yang ngebebanin semua urusan rumah tangga ke dia. Ini nggak adil.

"Nggak. Take this as a precaution. Ada hal yang belum aku ceritain ke kamu, kayaknya ini saat yang tepat buat ngomongin hal itu."

"Bentar, sebelum kamu menceritakan hal itu. Apakah selama ini aku terlalu membatasi gerakan kamu? Kalau kamu nggak mau, oke. Ke depannya aku nggak akan begitu lagi."

"Satria, dengerin dulu."

"Mau kamu apa?"

"Sat, kenapa sih kamu jadi emosian begini? Kamu insecure? Ke siapa? Kenapa? Dengerin dulu."

"Kamu tuh bilang gitu seolah-olah aku terlalu posesif ke kamu. Padahal aku juga nggak keberatan kamu berkarir. Kamu pergi sama Jason aja aku nggak keberatan juga."

"Jadi Jason?" dia mengakhiri keluhan gue hanya dengan satu pertanyaan yang bikin gue kicep. Gue nggak mau jawab apapun lagi. Dada gue udah sesak banget.

Dia mengelus punggung gue. "Kita duduk aja yuk ngomongnya," ajaknya. Gue akhirnya mengikuti dia duduk di kursi teras.

"Lanjutin, kamu mau protes soal apa ke aku? Lanjutin dulu. Nanti aku baru cerita," dia mengucapkan kalimat itu dengan nada yang amat tenang namun menusuk.

Sebelum gue menjawab pertanyaan dia, Jason keluar dari dalam rumah. Gue dan calon istri gue menatapnya. 

"Gue balik dulu ya, makasih banyak." Calon istri gue cuma mengangguk lalu melambai ke arah Jason. Sementara itu Jason menepuk-nepuk pundak gue dan gue cuma bisa berteriak, "Yok, tiati! Makasih dah nemenin dia ya!"

Jason mengangguk lalu melambai balik. Kemudian punggungnya hilang di balik pagar.

"Jason udah pulang, kamu bisa cerita apapun dengan lega sekarang," lanjutnya.

Gue menghela napas lalu menghembuskannya. Haruskah gue cerita kalau gue tahu Jason itu suka dia? Haruskah gue cerita kalau gue takut dia pada akhirnya memilih Jason?

"Sebelum kamu mengambil keputusan yang salah, aku ngasih kesempatan kamu buat milih kok. Yang penting kamu bahagia," justru kalimat itu yang meluncur dari mulut gue. Gue perhatikan raut wajahnya, dia tetap tenang.

"Milih di antara kamu dan Jason?"

Gue mengangguk. Gue nggak bisa bilang kalau gue takut kehilangan dia. Toh apapun pilihannya nanti, kalau memang dia setia sama gue ya dia bakal milih gue.

"Aku sendiri nggak tahu, Sat. Kamu sering nggak ada akhir-akhir ini. Jason yang ada. Jason itu ngasih apa yang nggak bisa kamu kasih, waktu."

Ulu hati gue terasa nyeri.

"Tapi kamu calon suami aku. Kita kenal udah lebih lama, kamu tahu kita sama-sama berjuang waktu sekolah di London. Aku suka kamu apa adanya. Kamu tuh sempurna buat aku, Sat."

Dia menghela napas. Gue nggak bisa gak tegang kalau sudah seperti ini.

"Cuma ternyata kamu nggak sesempurna yang aku pikirkan sejak kita balik ke sini. Maka dari itu, aku pengen minta kebebasan ke kamu."

"Aku udah kasih kan kebebasan itu? Aku ngebebasin kamu milih lho."

Dia menggenggam tangan gue.

"Sat, tolong janji sama aku. Kalau nanti kita beneran jadi suami istri, kamu nggak akan terlalu mencampuri urusan pribadiku yang nggak ada hubungannya sama keluarga kita. Aku cuma nggak mau dikekang lagi. Aku udah dikekang Ayahku sejak aku lahir. Aku cuma butuh diayomi, Sat."

"Aku nggak bisa janji, tapi aku cuma bisa berusaha. Jadi, kamu nggak mau dijemput lagi?"

"Kalau aku bilang aku bisa pulang sendiri, jangan maksain buat jemput ya. Aku tangguh kok, kamu percaya kan?"

"Oke. Tapi ingat, kamu jangan sok kuat juga. Kalau butuh apa-apa bilang aja."

"Iya, aku pasti minta kok."

"Berarti?"

"Berarti apa?"

"Kamu milih aku?"

"Kalau nggak milih kamu, mana mungkin aku jadi calon istrimu sekarang?"

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang