Pasca kejadian waktu itu, gue dan Satria memutuskan untuk rehat sejenak. Gue tidak menghubungi dia dan begitu pula sebaliknya. Terakhir gue bilang, "Just take this as a chance to reflect whether we can go through it together or we finished here."
Dan pernikahan gue yang kurang dua minggu lagi harus mundur. Satria mengiyakan permintaan gue. Keluarganya sempat gusar, tapi pada akhirnya mereka bisa menerima alasan kami. Karena toh apa gunanya semakin cepat menikah ketika ada satu masalah belum kelar? Bila itu Satria atau gue belum selesai dengan diri sendiri?
"Lo lagi ada masalah ya?" ujar seseorang dari belakang gue. Gue yang tadinya merenungi langkah apa yang akan gue ambil setelah ini, tersentak dan menoleh ke sumber suara. Ada sosok yang familiar, Jason dengan kacamata Cartiernya yang melorot di hidung dan tangannya dipenuhi oleh dua gelas plastik kopi susu.
"Je? Tumben?" gue menjawab. Jason memilih duduk di kursi kerja yang kosong di samping gue, lalu meletakkan gelas kopi susu itu di sebelah kanan laptop gue. Beruntung nggak banyak orang datang ke kantor akhir-akhir ini karena kami lebih banyak diminta untuk Working From Home. Hanya ada segelintir orang, termasuk gue dan Jason.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Jangan mengalihkan topik pembicaraan."
"Lo berharap gue bakal cerita sama elo?"
"If it helps?" Gue mengangkat kedua bahu gue. Nggak mungkin gue cerita soal gue dan Satria ke dia kan?
"Beberapa waktu yang lalu gue ngomong ke Satria soal perasaan gue ke elo." Dalam sepersekian detik, gue hampir merasa bahwa jantung gue berhenti berdetak.
"Serius?"
"Serius."
"Terus?"
"Tenang, gue gak gontok-gontokan sama Satria kok. Lo tetep aman sama dia." Andai gue bisa cerita ke elo Je kalau perasaan gue sama Satria udah mulai berubah.
"Lo gontok-gontokan pun, yang sakit juga lo berdua sih. Bukan gue."
"Sinis amat Bu? PMS?"
"Kepo deh. Gue lagi nggak sama Satria sekarang. Jadi sebenarnya lo bilang atau nggak pun, nggak berpengaruh. Dan jarak yang tercipta antara gue dan Satria sekarang bukan karena elo juga."
"Terus? Ini yang bikin lo jadi merenung gitu, nggak fokus kerja gitu? Minum dulu gih kopinya. Gue udah ngegojekin jauh-jauh lho. Kopi kesukaan elo tuh, creamy blonde latte."
"Makasih ya Bapak sudah pengertian, sayang banget sama Bapak Jason."
"Words.." sindir Jason, tubuhnya juga agak berjingkat ke belakang ketika gue hendak mencubit pipinya. Well, gue udah tahu perasaan dia dan Satria juga. Tapi Jason belum tahu kan perasaan gue yang sebenarnya kayak gimana?
"Terus akhirnya gimana? Lo sama Satria? Putus?" Gue menggeleng. Lalu memasukkan sedotan ke kopi yang dibelikan oleh Je.
"Cuma ambil rehat aja sejenak."
"Ati-ati lu, rehat-rehat nanti kesambet yang lain deh."
"Ke lo maksudnya? Emang lo mau sama gue yang gagal nikah ini? Katanya dah mundur?"
"Ya kan nggak gue juga, tapi kalau gue ya gue gak masalah sih."
"Anjir, mulut lo sampah banget ya Je?"
"Bercanda, ya elah beneran ni orang kalau lagi ada masalah temperamennya jelek banget deh."
Gue melirik Je sinis lalu kembali menghadap laptop gue, Je yang mengerti gue sedang tidak ingin diganggu perlahan undur diri kembali ke meja kerja dia. Sebelumnya dia menepuk pundak gue, "Nanti makan siang sama gue ya, sama Bian juga. Gue yang traktir."
Gue mengangguk dan tanpa sadar gue tersenyum. Ada kebahagiaan di dalam diri gue yang membuncah, ada rasa geli yang menjalar di perut gue.
"Oke."
***
Satria POV
Gue melihat Rasti beberes meja kerjanya, kalau dengar kabar selentingan dari para staf di kantor ini si Rasti meminta mutasi ke Divisi lain yang lokasinya berada di Jawa Barat. Dalam hati gue merasa bersyukur tapi di sisi lain gue merasa ini nggak adil karena dia harusnya bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama gue. Nggak main kabur-kaburan seperti ini. Di tengah posisinya yang sedang berkemas, gue mendekatinya.
"Sebelum lo cabut, bisa nggak ngopi bareng gue siang ini?" ujar gue pada Rasti. Dia bahkan sekarang nggak berani menatap mata gue.
"Ras?" gue tanya dia sekali lagi. Rasti masih tidak mau menjawab. Sehingga gue memilih untuk mengambil cara lain.
"Sebelum lo cabut, lo hutang penjelasan ke calon istri gue." Gue merogoh kantong gue dan meletakkan lipstik dia di mejanya. Lalu gue membalikkan badan dan pergi darinya.
Gue meninggalkan Rasti tanpa kata-kata apapun lagi dan dia juga tidak mengiyakan bakal menemui gue bahkan untuk minta maaf. Kalau sudah begitu, gue nggak bisa mengharapkan dia. Masalah gue dan calon istri gue ya gue yang harusnya menyelesaikan. Masalah kepercayaan dia ke gue nggak bisa balik lagi, ya itu sudah jadi konsekuensi yang harus gue tanggung.
Rasti pada akhirnya benar-benar tidak mengindahkan gue dan main pergi begitu saja setelah berpamitan dengan bos. Mungkin begini lebih baik? Mungkin memang gue yang harus menanggung kesalahan gue, mempercayai orang yang salah.
Gue menatap nanar layar ponsel gue. Keinginan antara menelepon calon istri gue atau tidak, atau sekedar menyapa dia via pesan singkat. Tapi dia sudah bilang untuk rehat, sampai tidak tahu kapan. Bokap dan Nyokap gue marah besar waktu gue minta tanggal pernikahan diundur. Mereka berdua juga sempat nggak mau ngomong sama gue beberapa hari karena gue cerita masalah yang gue alami. Sudah beberapa hari sejak terakhir gue ketemu calon gue, gue sama sekali nggak bertukar kabar. Gue penasaran gimana keadaan dia sekarang.
"Halo Bi? Lo sibuk siang ini? Ada janji sama pacar lo nggak? Si April itu." Alih-alih menelepon ke nomor calon istri gue yang sudah gue hapal di luar kepala, gue malah nelepon Bian.
"Nggak bang, kenapa? Lo mau ngajak gue makan siang? Nggak bisa gue."
"Lah tadi katanya gak ada janji?"
"Lu kan tanyanya gue ada janji sama pacar gue. Ya nggak, gue janji sama orang lain."
"Oh gitu? Ya deh salah gue, salah pilih kata gue."
"Bercanda Bang, dih serius amat. Gue mau makan siang sama bini lu."
"Oh? Bagus lah, gue titip jagain dia ya."
"Pasti bang, ada Jason juga. Malah dia yang ngajakin gue makan siang, ditraktir katanya. Gue sih mau-mau aja."
Deg!
"Oh? Oke. Have fun ya Bi!"
"Abang join aja kalau mau, nanti gue chat deh tempatnya."
"Nggak usah, kalian makan aja bertiga. Gue masih ada kerjaan."
"Yah, Kagak asyik Bang Sat. Ya udah deh kalau gitu, nanti gue salamin ke calon bini lu ya."
"Thanks ya Bi."
"Oke Bang!"
Di level ini, gue jadi kepikiran kayaknya gue sama dia nggak jodoh deh. Selalu ada aja orang lain di antara kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu
Fanfiction"Sebelum kamu mengambil keputusan yang salah, aku ngasih kamu kesempatan buat milih kok. Yang penting kamu bahagia." - Satria "Gue tuh sayang sama elu, bukan cuma sebagai sahabat. Tapi gue tahu, posisi gue gak pas aja sama kondisi elu saat ini," - J...