9- Doubt

92 13 6
                                    

Jason POV

"Thanks ya, udah mau nemenin gue keliling-keliling vendor hari ini. Much appreciated!" katanya pada gue yang sedang fokus nyetir mobil. Kami berdua baru saja selesai berurusan dengan vendor katering untuk hari pernikahannya dengan Satria, bukan gue. Urusan kami nggak terlalu panjang karena ya dia selalu bisa nge-handle masalah. Dia nggak indecisive, dia tahu apa yang dia mau.

"Sebenernya gue nggak terlalu suka pesta gede-gedean kayak gini sih Je. Pernikahan impian gue itu sederhana, cukup gue, Satria, keluarga kami, dan teman-teman dekat doang. Tapi nggak bisa gitu," dia menghela napas panjang. Kepalanya bersandar ke jendela, matanya menatap jalanan di depan kami yang kosong.

"Bokap Satria itu orang penting, nggak bisa kalau nggak ngundang orang penting juga. Dulu gue kira gue bisa menghindari hal ini karena gue pikir Satria anak terakhir. Abang-abangnya udah pernah nikah dengan cara pesta gede-gedean, turned out it's inevitable," lanjutnya. Lagi-lagi dia menghela napas.

"Satria sendiri gimana?" aku mencoba bertanya padanya. Dia sempat menoleh ke arahku sebentar.

"Um, dia sebenarnya sama kayak gue. Dia pengennya sederhana aja, nggak rame-rame. Balik lagi, nggak bisa. Keluarga gue mungkin bisa, keluarga dia nggak bisa. Jadi ya gue harus pasrah dengan segala keribetan ini." Kini dia memalingkan mukanya ke arah jendela. Tangan gue mencoba meraih kepalanya, berniat mendaratkan telapak tangan di sana. Namun gue urungkan, gue memilih untuk menepuk pundaknya saja. Everyone perhaps just need a pat in the back.

"Thanks Je," ujarnya sambil tetap memandangi jendela.

Gue membatin, kalau lu sama gue mungkin impian lu bakal jadi nyata. Kita nggak perlu bikin pesta gede-gedean. Cukup pesta kebun saja atau malah cuma di KUA aja seperti yang lu mau. Lalu kita makan malam sama orang-orang tersayang kita. Itu kalau lu sama gue.

"Untungnya Satria punya solusi, pernikahan kami nanti temanya pesta kebun bukan di hotel. Dan Satria udah bilang bokapnya untuk nggak terlalu banyak ngundang orang penting. Meskipun tetep aja skalanya masih gede buat gue."

"It's alright, everything's gonna be alright. Hang in there, you."gue menghiburnya. Lagi-lagi gue mendengar dia menghela napas. Gue nggak mau ngejar apa yang dia pikirin, biarin dia ngomongin hal itu tanpa gue tanya.

"Je.."

"Hmm?"

"Sebenernya gue takut. Beberapa waktu lalu temen gue cerita soal kehidupan rumah tangganya, ternyata suaminya selingkuh sama temen kerjanya sendiri. Bukannya gue nggak percaya Satria, kemungkinan itu pasti ada kan?"

Deg! Gue jadi teringat Rasti. Mungkin memang bukan Satria yang memantik tapi ada seseorang di sana yang bisa memicu kekhawatiran anak ini. Sialnya, gue tahu itu.

"Gue tau elo orangnya overthinker abis. Tapi coba deh percaya sama Satria dulu. Bayangin kalau elo ada di posisi Satria juga, dia pasti percaya sama elo."

"Justru karena itu Je, gue memposisikan diri sebagai Satria. Dan dia tahu kita jalan bareng begini. Maksud gue, di antara kita emang nggak ada apa-apa. Di antara gue sama Bian juga. Tapi apa Satria percaya penuh sama gue?"

"Kenapa lo bilang begitu?"

"Karena kemaren waktu gue izin Satria gue pergi bareng lo, dia terdengar marah."

Deg!

"Gue," tenggorokan gue tercekat. Kering rasanya. "Gue temenan sama elo tulus kok."

"Gue tahu Je. Apparently Satria doesn't."

"Apakah gue harus menghindar dari kehidupan elo?"

"Je, don't do that! I will not forgive you if you do that."

"Kayaknya Satria punya insting melindungi yang kuat ke elo ya. Guess he will be a great husband for you."

"I don't know Je. I'm afraid the he will hurt me someday. Gue belom cerita ke elo soal ini tapi gue punya trauma sama bokap gue."

Ah, persis dengan apa yang diceritakan Windra ke gue sebelum ini. See? Tanpa gue tanya akhirnya dia terbuka juga sama gue.

"I'm all ears!" sahut gue. Dia mengubah posisi duduknya sedikit, badannya agak condong ke arah gue sekarang. Sementara gue berpindah-pindah, antara fokus menyetir dan sesekali memandang dia saat bercerita.

"Satria itu punya kecenderungan control-freak. Sampai saat ini gue masih bisa toleransi, tapi sejak dia ketemu elo. Sejak tahu kita deket, Satria jadi agak lebih posesif ke gue. Dia nggak pernah kayak gini ke Bian. Padahal lo juga tahu gue sama Bian sama kayak gue ke elo."

Gue mengangguk-angguk.

"Gue nggak mau Satria ikut campur terlalu dalam di urusan pribadi gue, meskipun kami udah jadi suami istri. Lo tahu kan maksud gue? Kita kan tetep manusia yang merdeka ya. Kita punya kuasa atas diri kita sendiri. Gue nggak mau aja karena dia jadi suami gue, dia ngelarang gue temenan sama elo atau ngelarang gue bekerja. Ya, sampai saat ini belum. Tapi gue melihat kemungkinan itu."

"Jadi, apa yang elo mau coba katakan? Elo mau batalin pernikahan elo sama Satria?"

"Je! Not to that extent though. Gue cuma ragu aja. Gue takut kalau gue jatuh ke tangan pria control-freak lagi. Gue udah lepas dari bokap gue. Gue nggak mau hidup dengan pria yang kayak bokap gue."

"Kenapa dengan bokap elo?"

"Dia.." gue mulai mendengar suaranya agak parau. Lalu dia menghela napas lebih dalam lagi. Spontan, tangan gue mengelus kepalanya.

"Je, jangan pegang kepala gue. Please."

"Eh? Maaf. Gue gak bermaksud." Dia menggeleng, gue menurunkan tangan gue dari kepalanya. "Elo kalau nggak mau lanjut cerita nggak papa kok, gue nggak menuntut penjelasan."

"Pokoknya gue takut Satria kayak bokap gue, Je." Dia menutup ceritanya menggantung. Oke, gue mengerti kok. Gue berusaha mengerti kepedihan elo.

"Satria udah tahu nggak soal ini?"

"Nggak, gue belum cerita ke Satria." Kali ini giliran gue yang menghela napas.

"Elo mau dengerin gue nggak? Elo tahu kan kalau di sebuah hubungan itu komunikasi dan kepercayaan adalah butir utama?"

"Gue sangat memahami hal itu Je."

"Berdasarkan obrolan kita di mobil hari ini, dua komponen itu masih belum 100% elo punyai. Elo yakin elo udah siap nikah?"

"That's what I'm trying to say, I have a doubt about this."

"Well, cobaan orang nikah emang ada di saat-saat seperti ini sih. Saran gue, elo harus omongin semua hal yang lo sembunyiin dari Satria. Itu kalau lo masih mau lanjut sama dia ya?"

"Sebenernya kalau nggak lanjut gue juga udah siap terima konsekuensinya kok. Gue bukan tipe orang yang malu kalau pernikahan kami dibatalin. Gue juga udah ikhlas kalau gue rugi materiil."

"Hey! Lo kok ngomong gitu sih?"

"I'm just being realistic Je! I'd rather have it canceled rather than living unhappy ever after. Nggak kayak temen gue. Dia udah tahu suaminya selingkuh H-sebulan sebelum nikah tapi masih nikah juga. Mending dibatalin nggak sih?"

"Hey, be careful of what you say. Lo jangan bandingin case orang dengan case elo, bisa jadi solusinya beda. Where's the girl who has broad perspective? Lo kan rasional. Gue yakin kok lo bisa ngomongin hal ini baik-baik tanpa harus mikirin kemungkinan terburuk."

"Je..."

"Lo dengerin gue kan?"

"What if it's not Satria who cheated on me but it is me who cheated on him?"

***

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang