"Wah bagus juga nih, kita udah lama nggak latihan tapi sekalinya ngejam niat banget gitu," ujar Satria bangga di hadapan anak-anak Sabtu. Mereka berlima lalu bersorak sorai meski keringat membanjiri dahi lima orang ini di dalam studio band di kawasan Kemang.
Aku duduk di pojokan studio saja sedari tadi memperhatikan anak-anak ini mengisi akhir pekan mereka untuk melakukan hal yang mereka sukai. Yang membuatku semakin bahagia adalah melihat ekspresi tulus Satria saat menyanyi. Ketika dia sadar kalau sedang kuperhatikan, kami bertukar pandang, lalu dia jadi canggung dan pura-pura mengalihkan pandangannya sambil tersenyum tipis. Gemes banget nggak sih?
"Suara lo bagus juga Je, lo boleh deh ambil bagian vokal selain gue, Bian, sama Windra. Jadi kita bentuk band bervokalis empat orang, oke nggak tuh?" saran Satria diikuti anggukan Bian.
"Setuju banget Bang Sat! Si Je ini suaranya lembut bisa ngimbangin vibe rock Abang," tambah Bian, tangannya meraih botol air mineral di kakinya. Kemudian dia menenggak setengah isi dari botol tersebut.
"Nggak ah, gue bantuin bikin lagu aja," jawab Je rendah hati.
"Gak usah malu-malu, lo udah diterima di circle ini kok. Santai aja, fix ya ada beberapa part yang lo kudu nyanyi." Begitu Satria memerintah rasanya tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menolak.
"Iya Bang Je, santai aja. Coba tanya sama Kakak tuh, dia suka suara Bang Je juga nggak?" Dimas melempar pertanyaan padaku tiba-tiba. Lima pasang bola mata kemudian mengarah kepadaku, terutama pandangan Je yang memelas.
"Kok gue?"
"Jawab Kak!" sahut Windra. Satria memandangku tajam. Ini harus jujur apa gimana nih?
"Ya, gue setuju sih sama Satria. Nggak ada salahnya kalau Je ikutan nyanyi," jawabku.
"Nah, dia aja setuju. Udah, gue nggak terima penolakan lagi. Lo kudu ikut nyanyi," tegas Satria.
Setelah nge-jam hampir dua setengah jam, rupanya anak-anak Sabtu mulai kelelahan. Lagipula hari juga semakin malam, kalau mereka nge-jam sampai besok pagi bisa sih. Hanya saja, aku jadi nggak bisa pacaran sama Satria dong?
Bian, Windra, Satria, dan Dimas pergi ke luar studio sebentar untuk membeli minum dan snack. Sementara tinggal aku dan Je di dalamnya. Je sedang sibuk menggulung sejumlah kabel yang berserakan.
"Yaelah, tinggalin aja. Ntar juga diberesin sama petugasnya, Je," ujarku.
"Ngebantuin orang tuh nggak ada salahnya, sini bantuin gue." Dengan muka cemberut, aku membantu Je menggulung kabel gitar yang berserakan.
"Lo nggak pengen ngusulin lagu lo yang waktu itu buat dibawain anak-anak Sabtu?" tanyaku.
"Ah itu proyek gue pribadi, gue nggak mau mencampur adukkan genre gue ke genre band calon suami elu," jawab Je tegas.
"Tapi gue suka lagunya,"
"Makasih."
"Mau nyanyiin buat gue nggak? Pake gitar akustik itu?" pintaku sembari melirik gitar akustik berwarna krem yang bersandar manis di dekat perangkat drum. Je memandangiku dan gitar manis itu bergantian.
"Sekarang?"
"Sekarang." Je lalu berdiri, melangkah dengan tegas dan mengambil gitar itu. Kemudian dia duduk bersila di dekatku. Sementara aku berjongkok dan melingkarkan tanganku ke kakiku sendiri.
'I am stuck at this moment, cause it shines beautiful. So do these streetlights and so do you.'
Shit! Kenapa Je harus memandangku dengan tatapan penuh makna gitu sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu
Fanfiction"Sebelum kamu mengambil keputusan yang salah, aku ngasih kamu kesempatan buat milih kok. Yang penting kamu bahagia." - Satria "Gue tuh sayang sama elu, bukan cuma sebagai sahabat. Tapi gue tahu, posisi gue gak pas aja sama kondisi elu saat ini," - J...