21 - The Day

66 5 9
                                    

"Je, gue suka sama elo."

Jason termangu. Dia cuma bisa menatap gue dengan pandangan kosong. Mungkin dia nggak tahu harus merespon seperti apa. Sama kayak gue, nggak tau kudu merasakan apa.

"Suka sebagai teman?" Jason mengkonfirmasi beberapa detik berikutnya. Gue menggeleng.

"I love you not as a friend, but from woman to a man."

"Don't!" jawab Jason. "Jangan giniin gue, please."

"Lo udah nggak cinta sama gue Je?"

"Hey, what's wrong with your head? What about Satria?"

"Gue juga cinta sama dia."

"Damn, girl! You're a sly."

"Indeed I am Je, then what should I do?"

Jason berdiri dari kursinya, meletakkan tangannya di pinggang, kakinya mengetuk-ngetuk lantai kafe. Tak lama kemudian dia mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Nggak, nggak bisa begini. Make up your mind. It's either you're choosing me or him. Not both of us. That way you're just hurting us."

"Karena gue cinta sama lo Je. Gue harus ngomong ini."

"What?"

"Mungkin gue nggak akan milih salah satu dari kalian."

Jason terduduk di kursi sebelah gue. "This is unfair."

"Yep, life is unfair."

***

Sejak gue mengutarakan perasaan gue ke Jason, gue menutup segala bentuk komunikasi baik ke Jason maupun Satria. Dan ya, pernikahan antara gue dan Satria dibatalkan. Gue memilih untuk mundur dari kehidupan semua orang. Kebetulan, gue sudah merencanakan untuk resign dari perusahaan BUMN tempat gue bekerja. Setelah resign, nggak lama kemudian gue dipanggil untuk bekerja dan kembali ke London. Yah, di tengah segala kekacauan ini, London adalah jawaban yang terbaik. Meskipun kenangan-kenangan gue soal Satria akan terus memenuhi isi otak gue di sana.

Ya setidaknya itu yang terbaik, untuk saat ini.

Gue pergi ke London tanpa memberi kabar pada siapapun. Lagipula anak-anak Sabtu juga masih akan terus berjalan tanpa atau dengan gue. Jason dan Satria akan terus temenan, tanpa atau dengan gue di antara mereka.

Dan gue merasa, keputusan gue adil untuk semua orang. Keputusan untuk tidak memilih satu di antara mereka, untuk saat ini.

Jadi begitulah kisah gue hari ini. Nggak tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun nanti.

***

5 tahun kemudian

"Udah lama nggak ketemu, keliatannya kamu lebih bahagia di London ya daripada di Jakarta?"

"Jelas dong, London itu rumahku. Aku nggak cocok tinggal di Indonesia," jawab gue pada sosok yang dulunya pernah jadi bagian hidup gue itu. "Lo gimana? Baik-baik aja? Gimana kerjaan?"

"Gue baik-baik aja, meskipun butuh waktu lama juga move on dari kamu. Kerjaan sih so far so good, baru promosi kemarin."

"Wah, selamat ya! Kesepian nggak tanpa gue di kantor?"

"Sejujurnya nggak sih," ujarnya. Lalu gue mencubit tulang rusuknya lagi.

"Aw sakit tau!"

"Biarin."

"Jadi, lo gimana? Satria baik-baik aja nggak di sana?"

"Baik-baik dong, tuh dia baru balik dari toilet. Kangen sama Satria juga ya? Kangen ditinggal vokalis?"

"Iya nih, gue juga terkejut kok Sabtu tiba-tiba terkenal banget. Eh, pas udah tahun ketiga si Satria malah mutusin nyusul kamu ke London. Untung Sabtu gak bubar."

Gue cuma tertawa, Satria bergabung bersama kami di meja makan. Lalu dia merangkul pundakku.

"Sorry lama, perut gue mules," ujar Satria. Gue memandangnya lalu tersenyum bahagia. Dia juga memandang gue penuh cinta. 

Tangan Satria menggenggam tangan gue, di masing-masing jari manis kami tersemat cincin kami yang berkilauan.

-END-

SabtuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang