"Lo nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Bahkan rumah, tempat satu-satunya buat lo berteduh aja udah diambil alih sama pihak bank buat melunasi hutang perusahaan bokap lo."
Raga Lian Adinata, membuka suaranya sebagi prolog topik pembicaraannya malam ini. Sebari duduk disamping Navya, cowok itu menumpu telapak tangannya di atas punggung tangan gadis itu lantas mengusapnya lembut penuh kehangatan. Apa yang Navya lakukan sekarang, masih sama. Ia masih menangis. Bedanya, untuk malam ini, tidak ada suara isakkan yang menggila yang keluar dari pita suaranya.
"Nav, tinggal sama gue ya?" Raga berucap, terdengar seperti penawaran namun sedikit melenceng dan mengacu pada permintaan.
Perkataan Raga tak pelak membuat Navya menolehkan kepala, menatapnya penuh tanda tanya. Bagaimana pun juga, bagaimana bisa sepasang kekasih tinggal di satu atap yang sama?
"Nav, gue janji nggak akan melakukan hal diluar batas. Gue cuma pengen jagain lo." Perkataan Raga membuat perasaan Navya yang sempat terombang-ambing kian berangsur tenang. "Sekarang lo nggak punya siapa-siapa lagi, bahkan saudara lo semuanya di luar kota. Yang sekarang lo punya, cuma gue."
Sebagai seorang gadis, munafik jika Navya tidak berbujuk rayu oleh setiap perkataan yang terlontar dari mulut Raga. Bagaimanapun juga, semua yang dikatakan Raga benar. Navya tidak punya siapa-siapa lagi, itu sudah menjadi hal mutlak sekarang. Tidak ada yang mengelakkan apalagi mengenyahkan kenyataan.
Navya sebatang kara tanpa kedua orangtuanya, itu nyatanya.
"Lo mau, 'kan, Nav?"
Bahkan pertanyaan pertama saja belum sempat Navya jawab, namun Raga sudah menggantinya dengan pertanyaan baru. Pertanyaan sedikit serupa, namun terkesan berbeda. Jika tadi, Raga terkesan meminta dan menawarkan. Kini cowok itu seolah memaksa. Ada penekanan di ujung perkataannya.
"Nav...."
"Ga, apa kata orang nanti kalau misalkan aku tinggal di rumah kamu?" Navya buka suara. Suaranya serak dan terdengar pelan.
"Kenapa harus mikirin apa kata orang, Nav?" Alih-alih menjawab, Raga malah berbalik tanya. "Ini hidup kita, kita yang jalani, bukan orang. Lagipula, orang tahu apa tentang kita? Kalaupun mereka tahu, memangnya bakal sepeduli apa mereka sama kita?"
Otak dan hati Navya bergelut. Pemikiran Raha dewasa, itu nyata. Apa yang dikatakan Raga itu benar. Navya terdiam, berusaha menimang-nimang keputusan. Bagaimanapun juga, Navya tidak ingin gegabah. Saking fokusnya menimang keputusan, Navya sampai tidak sadar bahwa kini tangan kekar Raga sudah membingkai wajahnya. Tangan yang terasa hangat menyelimuti dinginnya wajah Navya. Tangan yang memaksakan Navya untuk menatapnya dalam jangka waktu lama.
Detik merambat cepat membiarkan keduanya masih pada posisinya. Saling bertatapan. Seolah tengah bicara lewat tatapan mata. Raga terdiam, begitu juga dengan Navya. Seolah keduanya membiarkan, keheningan membekukan untuk beberapa saat.
"Gue cinta lo, Nav. Maka dari itu, gue peduli sama lo." Raga memecahkan kebekuan yang mengukung keduanya. Cowok itu menatap Navya dalam, seolah menunjukkan keseriusannya. "Gue gak mau lo hidup susah," imbuhnya.
Navya mengembangkan senyuman, namun bersamaan dengan itu air mata tiba-tiba saja jatuh bahkan tanpa bisa cegah.
"Makasih, Ga..." Navya berucap, sebari memeluk Raga dengan erat.
Gadis itu kembali menangis sesenggukan, meratapi nasibnya yang ... menyedihkan. Namun Navya bersyukur, karena Tuhan mengirimkan Raga untuknya. Disaat Navya semakin jatuh ke palung tak berdasar, Raga benar-benar mengulurkan tangan. Menarik Navya dari dalam sana, dan memberikan secercah kebahagiaan.
Setidaknya, kini Navya mau menjalani hidup. Walaupun pada nyatanya, alasan untuk hidupnya sudah kembali ke sisi Tuhan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝Navya itu seperti lilin. Dia rela membakar dirinya sendiri, demi menerangi hidup Raga.❞ Dijadikan pacar dengan lebel 'pembantu' oleh Raga? Navya tidak masalah. Dijadikan bahan pelampiasan amarah oleh Raga? Navya...