Suara merpati yang menggerung menjadi suara pengganti jam beker bagi Navya. Perlahan tapi pasti, matanya yang terkatup berat mulai mengerjap. Melenguh, sambil menyampingkan posisi tubuhnya, Navya melihat ada dua ekor merpati putih yang tengah bertengger di teralis besi balkon kamar. Kamar Raga.
Selepas ditampar, Navya merasa ia butuh tidur. Dan, ya akhirnya ia tidur. Dilihatnya, kearah jam dinding, jarum pendek sudah singgah di angka empat. Sementara jarum jam panjang masih berarak memutar. Navya tidak menyangka, bahwa ia akan tidur selama ini.
"Raga mana, ya?" Dengan suara serak, khas bangun tidur, Navya bergerak bangkit, selimut sedikit tebal masih membalut tubuhnya sekarang.
Kepalanya terasa berat, sangat. Bayang-bayang Raga menamparnya tadi pagi terpintas jelas. Bahkan, rasa panas dan perih yang tadi menderanya, kini seperti terasa kembali. Padahal, tadi rasanya sudah hilang.
Navya memegangi pipinya. Dimana, titik Raga berhasil mengangkat tangan padanya. "Kenapa, Ga? Kenapa kamu lakuin ini lagi ke aku?" lirihnya sendu.
Mata Navya memanas, hingga tidak lama suara derap langkah kaki dan suara kenop pintu terbuka menyandarkannya. Memaksakan dirinya untuk menoleh ke sumber suara. Dilihatnya, Raga. Cowok itu masuk, dengan sebuah nampan berisi sepiring makan dan segelas air putih.
Kedua alis Navya sedikit menukik, sesaat Raga melayangkan senyum. Pelan, namun pasti Raga naik ke atas kasur. Duduk di samping Navya dengan memangku nampan yang dibawa.
"Kenyang tidurnya, hm?" tanya Raga, menatap Navya tenang.
Tidak ada amarah lagi di mata Raga sekarang. Kini cowok itu seperti sudah seperti semula, tatapan matanya tenang. Suaranya lembut, penuh kedamaian. Raga yang dulu, yang Navya kenal lebih dari Navya mengenal dirinya sendiri.
"Kenapa?" Satu pertanyaan di atas saja belum terjawab, namun Raga sudah menggantinya dengan pertanyaan baru. Tangannya terulur, menyentuh pipi Navya. "Maaf ya, tadi gue bener-bener emosi. Harusnya, gue enggak tampar lo, Nav," Raga berucap sambil mengelus pipi Navya lembut. Memberikan efek-efek gelenyar aneh dalam diri Navya. "Gue sayang lo, makanya gue enggak terima, lo deket sama cowok lain selain gue."
"Kamu aja enggak terima aku deket sama cowok lain, Ga. Apalagi aku, gak terima kamu selingkuh sama Michi," Navya akhirnya bersuara. Membalikkan keadaan, menjadikan Raga terpojok sekarang.
"Nav, udah lah enggak usah bahas Michi," tegur Raga. Menurunkan tangannya dari pipi Navya.
"Justru, Michi yang harus terus dibahas Ga. Karena dia sumber masalah hubungan kita," timpal Navya. Suaranya masih tenang, namun tak bisa dipungkiri wajahnya sudah menekuk, menahan amarah.
"Nav, Michi bukan sumber masalah!" Raga menentang, nada suaranya sudah naik beberapa oktaf lebih tinggi.
"Iya, Michi bukan sumber masalah, Ga. Tapi kamu, kamu yang sumber, 'kan?"
Raga berdecak jengah. "Nav, bisa enggak sih, jangan bahas ini terus? Gue capek. Kenapa, sih? Kenapa lo enggak bisa, biarin gue bahagia?"
Navya tersenyum pedih. "Kamu bahagia, aku yang menderita, Ga. Jadi kamu bahagia, di atas penderitaan aku, iya?"
Raga mendengkus. Navya selalu saja memancing emosinya. "Jangan bikin gue marah," katanya, cuek.
"Marah aja, Ga. Kamu kan udah biasa marah sama aku." Seolah memang menantang, Navya membuat amarah Raga bergejolak. "Kamu marah, terus minta maaf, terus mengulanginya, terus minta maaf lagi. Siklus hidup kamu gitu ya?"
"NAVYA ANJING!" Raga terpekik, melemparkan nampan di pangkuannya ke lantai dan langsung menjambak rambut Navya yang tergerai indah. "JANGAN BIKIN GUE MARAH!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝Navya itu seperti lilin. Dia rela membakar dirinya sendiri, demi menerangi hidup Raga.❞ Dijadikan pacar dengan lebel 'pembantu' oleh Raga? Navya tidak masalah. Dijadikan bahan pelampiasan amarah oleh Raga? Navya...