"Kartu undangan pertunangan gue dan Raga. Jangan lupa datang ya, Nav. Lo akan jadi tamu spesial besok."
Baru saja sampai di kelas, Navya sudah dihadang Michelle di depan pintu kelas. Hari ini, Michelle menyebarkan undangan pertunangannya dengan Raga. Navya mengambilnya, melihat dengan nanar nama Raga dan Michelle bersanding disana.
Seharusnya, nama aku kan, Ga? Seharusnya kita yang bersama. Tapi, gapapa Ga. Aku ikhlas. Aku ikhlas, kamu sama Michi.
"Mau nangis ya?" suara Michelle yang kembali muncul, membuat Navya yang tanpa sadar bengong sebentar pun, terperanjat.
"Gak." Singkat, Navya langsung menerobos masuk.
Cih, cemburu kan lo pasti. Maaf ya, Nav. Gue udah mengkhianati persahabatan kita. Apalah daya, Nav. Kalau cinta berkuasa, gak sahabat atau apapun.
***
Brak!
Navya serta merta setumpuk buku di tangannya jatuh, sesaat dirinya tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang di depan. Sambil meringis kecil, Navya merapihkan semua bukunya yang berceceran. Hingga tanpa sadar, orang yang menabraknya tadi berjongkok, dan membantunya.
Gerak tangan Navya terhenti, saat ia melihat sepatu orang di depannya. Sepatu itu, sepatunya Raga.
Deg! Benar. Semesta memang keren, mempertemukan dua insan yang sebenarnya tidak ingin lagi bertemu.
"Gue bantuin ya." Raga bersikap biasa saja, sambil merapihkan buku-buku Navya yang jatuh, ia sesekali menatap gadis di hadapannya.
"Makasih," ucap Navya. Setelah semuanya selesai, gadis itu langsung kembali berdiri. Kembali membawa setumpuk buku di tangannya yang kini berhasil, menutupi sebagian wajahnya.
Pantas saja Navya menabrak. Toh, bukunya terlalu banyak. Jalan saja sampai tidak terlihat.
"Udah dapat kartu undangan?" tanya Raga sesaat tubuhnya berhasil berdiri tegap di hadapan Navya.
Navya hanya balas mengangguk.
"Jangan lupa dateng ya," pesan Raga.
Hati Navya mencelos mendengar itu. Kenapa? Kenapa Raga tega mengatakan itu.
"Ini kan Nav, yang lo mau?"
Tanpa mengatakan apapun sebagai balasan, Navya langsung menerobos pergi. Membiarkan air matanya meleleh membasahi pipi. Navya sakit, sangat.
***
"Kalau ada masalah tuh, bilang," kata Abhisar. Mengulurkan tissue pada Navya yang kini tengah menangis di taman belakang sekolah.
Entahlah, semesta punya caranya sendiri untuk menemukan setiap orang, 'kan? Navya juga tidak berpikir sebelumnya, kenapa Abhisar bisa ada di tempat yang sama dengannya.
"Raga besok tunangan. Lo baik-baik aja, 'kan?"
Sebisa mungkin, Navya mengangguk.
"Aku akan baik-baik aja, kalau aku enggak dateng besok. Aku mau pergi, jauh." Suara Navya bergetar. Meremas tissue di tangannya dengan amarah di dalam diri yang sayangnya tidak bisa ia luapkan secara nyata.
"Pergi jauh? Kemana, Nav? Bukannya Raga itu rumah? Bukannya Raga itu tempat pulang?" Abhisar tertawa hambar. Menatap Navya dengan nanar. "Navya ingin pergi kemana? Jika Raganya saja masih disini."
Navya menunduk. Membiarkan air matanya tumpah ke paha yang yang kini terbalut rok abu.
"Aku mau pergi..." Navya menangis tergugu. Abhisar mendekat, merangkul gadis itu sambil mengusap lengan atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝Navya itu seperti lilin. Dia rela membakar dirinya sendiri, demi menerangi hidup Raga.❞ Dijadikan pacar dengan lebel 'pembantu' oleh Raga? Navya tidak masalah. Dijadikan bahan pelampiasan amarah oleh Raga? Navya...