Matahari kini sudah berganti tugas dengan bulan dan bintang. Ini sudah malam, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, namun Navya masih keluyuran diluar rumah. Langkahnya terseret, arah matanya kosong. Wajahnya memucat, tubuhnya bergerak tak tentu arah. Ditemani dengan dersikan angin dan cahaya lampu jalan, Navya menangis.
"Kenapa, Ga? Kenapa?" Tangisan Navya menjadi. Rasa sakitnya kembali menghunus. Sebari memeluk tubuhnya sendiri, Navya menghentikan langkahnya.
Lututnya lemas, ia tidak bisa lagi menahan massa badannya. Navya rubuh ditempatnya. Di atas jalanan aspal yang mulai dingin, Navya meringkuk. Memegangi dadanya yang sesak.
Semua perkataan Raga terngiang. Mengisi setiap sudut indera pendengarannya.
"IYA NAV! GUE BOSEN SAMA LO! LO JELEK, NAV, SADAR! WAJAR GUE SELINGKUH! LO HARUSNYA NGERTIIN ITU DAN LIAT KEADAAN LO!"
Fisik? Kini benar-benar jadi penentu sebuah hubungan. Navya tidak menyangka Raga akan mengolok dirinya sendiri di hadapan banyak orang.
"SELAMA INI GUE BERTAHAN SAMA LO! ITU SEMUA BUKAN KARENA CINTA, TAPI KARENA KASIHAN NAV!"
Lagi, perkataan Raga terngiang semakin nyaring. Navya seketika berhenti menangis kala kata-kata itu seolah berulang-ulang di ingatannya. Kasihan. Jadi selama ini Raga kasihan?
"Aku anak yatim piatu, makanya kamu kasihan sama aku ya, Ga?" Navya berbicara sendiri. Arah matanya memanah aspal di hadapannya. "Kalau kamu kasihan sama aku, terus kasih sayang yang selama ini kamu tunjukkan ke aku, itu juga rasa kasihan, ya?" Miris, Navya tertawa kecil bersamaan dengan itu, ia kembali menangis.
Navya menjambak rambutnya dengan kedua tangan. Membiarkan kepalanya kini mendongak dengan sedikit menyipit. Air hujan dalam dirinya terus keluar, disusul dengan bulir bening dari langit yang tiba-tiba saja turun. Hujan. Seolah, semesta juga ikut menangis.
Navya diam ditempatnya. Ia membiarkan jutaan air hujan membasahi tubuhnya. Ia terus menangis, semakin keras. Seolah tengah berusaha mengimbangi bising dan riaknya air hujan yang berjatuhan menyentak tanah.
Sekarang tidak ada yang bisa Navya lakukan selain menangis. Satu-satunya bahan pelampiasan Navya hanyalah ini, menangis. Setidaknya, semua luka hatinya yang ternganga transparan kian tertutup. Tidak sembuh, hanya saja tertutup, mengurangi rasa sakit yang terus mendera.
"NAVYA! NAVYA! LO DIMANA?!!"
Raga, dan Abhisar berteriak terus berteriak seraya berjalan mengecek semua ruangan di rumah Raga. Nihil tidak ada batang hidung gadis itu. Raga yang memang baru saja pulang dari stand ditemani Abhisar, langsung terkejut dan baru sadar bahwa Navya sampai sekarang belum juga kunjung pulang.
Raga pikir, saat Navya pergi dari sekolah, gadis itu pergi pulang. Makanya, Raga mau pergi ke stand dan berjaga disana. Sayangnya, pola pikir Raga salah. Navya tidak pulang kerumah. Melainkan singgah entah kemana.
"Ck, harusnya tadi di sekolah, gue kejar dia, Bhi! Harusnya juga gue enggak ke stand!" Raga terduduk di sofa sambil mengusap wajahnya frustasi.
"Diluar ujan, Ga. Gue takut Navya kenapa-napa diluaran sana, gue harus cari dia." Abhisar berucap cepat, selang sedetik setelahnya ia berlari keluar.
"ABHISAR!" Raga berteriak, sebari berdiri. Tidak tinggal diam, ia langsung menyusul.
Naasnya, Abhisar sudah masuk ke mobil. Melajukannya dengan cepat, sampai-sampai ia hilang dengan sekejap mata.
Kenapa Abhisar khawatir banget sama Navya? Raga membatin di ambang pintu.
Tidak ada pergerakan yang cowok itu lakukan. Hujan semakin deras, dan Raga juga tidak mungkin mencari Navya disaat situasi dan kondisi seperti ini. Raga tidak mau ambil resiko kecelakaan, karena potensi kecelakaan lebih tinggi saat mengendarainya tengah hujan, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝Navya itu seperti lilin. Dia rela membakar dirinya sendiri, demi menerangi hidup Raga.❞ Dijadikan pacar dengan lebel 'pembantu' oleh Raga? Navya tidak masalah. Dijadikan bahan pelampiasan amarah oleh Raga? Navya...