19. Leave Me Alone

1.2K 376 73
                                    

"I need time

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"I need time. Just get out, and leave me alone."

🐻🐻🐻

Yeonjun tidaklah berbohong.

Hari ini, dia betulan mengajak orang tuanya dan pergi ke taman hiburan Pusat Kota guna menghabiskan waktu bersama yang sangat jarang semuanya dapatkan. Padahal pagi itu Ibu Yeonjun sempat terlihat hendak menolak, akhir pekan biasanya sangat tepat untuk dipakai mengguyur melakukan tugas atau pekerjaan agar lebih ringan. Tapi, putra semata wayangnya itu malah....

"Jadi mama tidak bisa pergi?"

"Sayang, mama punya sangat banyak pekerjaan."

"Kalau begitu, tidak apa-apa, Yeonjun bisa pergi sendiri," kata Yeonjun dengan nada lesu dan raut kecewa. Membuat sang ibu begitu iba, dan langsung mengubah omongannya begitu saja.

"Oke, kita pergi. Mama akan beritahu papa untuk bersiap. Tunggulah sepuluh menit di bawah, okay?"

Yeonjun langsung mengembalikan senyum lebarnya, bagaikan dia itu anak TK saja. "Okay! Yeay!" Dia terus terkekeh pelan sembari menarik diri dari sana. Bersiap di kamarnya dan menanti di mobil.

Hari itu berjalan dengan baik tanpa hambatan. Tak terhitung kejadian hangat yang boleh keluarga kecil itu rasakan; Yeonjun yang aktif mengajak orang tuanya naik wahana, minta dibelikan ini-itu, minta dipakaikan topi rubah, disuapi es krim dan banyak lagi—seolah sisi pribadi Yeonjun yang manja itu kini bisa dengan puas dia tunjukkan dengan leluasa, sebab memang begitulah seharusnya dia.

Yeonjun benar-benar tertawa, dia memberitahukan semuanya lewat berbalas pesan dengan Vanya siang itu. Tertawaan lepas yang membohongi semua orang, kalimat penenang yang membohongi semua orang, dan bahkan ... membohongi dirinya sendiri.

Barangkali perlakuan Choi Soobin padanya tempo lalu sudah membuat Yeonjun sadar satu hal, bahwa dia tidak bisa selamanya terus berlari dari apa yang sejak awal menjeratnya. Bahwa Yeonjun tidak pantas menerima cinta saat dia merasa berkhianat. Bahwa Yeonjun tidak bisa merasa bahagia saat dia telah merenggut kebahagiaan orang lain.

Malam itu Yeonjun termenung lama di kamarnya sendiri, pikirannya kacau dan sulit baginya untuk mengendalikan. Menangis pun dia tidak bisa, akal sehatnya seperti telah diruntuhkan. Setidaknya senyum tipis masih sempat hinggap kala dia memutuskan untuk mengirim pesan pada Choi Vanya sobat karibnya. Satu-satunya orang yang telah mengambil peranan besar dalam hidupnya.

Oi, my barbar friend, selamat malam.

Pesan yang sangat panjang, pesan yang memberitahukan segalanya, pesan curahan hatinya, juga permintaan maaf. Memang benar Yeonjun sendirilah yang menyuruh Vanya untuk "baca nanti saja" pesan darinya, namun saat itu sosoknya masih berdiam selama bermenit-menit lamanya, menanti dengan harapan semu—kalau-kalau Vanya membalas pesannya, kalau saja Vanya langsung menelponnya, menahannya dan marah padanya.

Nyatanya tidak ada—tidak sama sekali. Nyatanya Vanya betulan tidak membacanya, sehingga pesan itu benar-benar menjadi pesan terakhir darinya. Sempat menangis dalam diam bersama rasa frustasi, Yeonjun menarik laci meja belajar dan mengeluarkan pisau yang sengaja dia siapkan.

Kemudian, menikam perutnya sendiri hingga dia mati di tempat.

Hal memilukan sontak kembali berlanjut tatkala sang ibu iseng ingin mengecek kamarnya di tengah malam—paling tidak, dia ingin meninggalkan kecupan selamat malam. Tadinya wanita itu mengira Yeonjun ketiduran di meja belajar karena kepalanya yang terkulai di atas meja itu. Mendekat dan mendapati darah merembes hebat dari perut putranya yang sudah memucat, dia menemukan Yeonjun benar-benar sudah tidak terselamatkan.

Hanya satu pertanyaan yang muncul dalam hati yang kini sudah dilingkupi kelam—setelah semua yang mereka lalui bersama seharian ini; mengapa?

***

Teman-teman Soobin baru pulang pukul 4 dini hari. Entahlah apa gunanya saat mereka sebetulnya bisa menunggu saja hingga matahari terbit.

Isi kepala Soobin ikut kacau kala mendengar kabar duka kematian Yeonjun. Hyuka pelakunya—satu-satunya orang yang mendengar omongan Ibu Yeonjun di telpon tengah malam itu dan bingung harus berbuat apa hingga memutuskan menekan rasa takut, menunggu saja sampai Soobin selesai dengan teman-temannya.

"Noona masih di posisinya seperti tadi malam. Sepertinya dia tidak tidur. Mungkin ... dia tidak akan mau tidur," tutur Hyuka ketika berbicara dengan Soobin di dapur. Pukul 6, dan langit gelap perlahan-lahan terang dengan matahari yang segera terbit.

"Aku akan ke kamarnya sebentar lagi," kata Soobin dengan suara rendah. "Kau kembalilah ke kamar dan tunggu sampai Beomgyu Taehyun bangun saja."

Hyuka merespon anggukan, lantas pergi dari sana. "Okay, Hyung."

Soobin membuang napas panjang di sana. Bisa-bisanya bertepatan di hari sukacitanya, adiknya harus mendapatkan kabar kedukaan. Bahkan Soobin sudah mendapat pesan dari salah seorang teman yang kebetulan beralamat di sekitar tempat tinggal Yeonjun, bahwasanya bendera kuning telah disebarkan dan upacara pemakaman tampaknya akan dilangsungkan pagi ini juga.

Ahh, ini mustahil. Soobin merasa buruk. Kemarin, aku melukainya dan asal menuduhnya. Lelaki itu menunduk, bahkan minta maaf pun dia sudah tidak bisa.

Bagaimana bisa? Rasanya mustahil mengingat sampai detik ini pun dia belum sepenuhnya berbaikan dengan Choi Vanya adiknya sendiri.

Beranjak dan memantapkan mental, Soobin akhirnya menghampiri kamar Vanya.

Itu gelap dan remang saat Soobin memasukinya. Vanya sangat malas menghidupkannya bahkan saat dia tidak terlelap di tengah kamar sana.

"Van?" panggil Soobin pelan, agak syok melihat bagaimana Vanya sekarang; termangu dengan pandangan kosong, memeluk lutut dengan genggam yang gemetar, jangan lupakan lingkaran hitam yang apik menghiasi bawah mata gadis itu. "Vanya, maafkan aku." Maaf karena aku sempat menuduh dan melibatkan temanmu dalam masalah kita.

Vanya masih diam, bertingkah seolah dia itu tuli.

"Kau tidak akan selamanya begini, 'kan? Vanya, aku benar-benar minta maaf." Kendatipun ini bukanlah kesalahan Soobin dan bahkan tidak ada kaitannya, lelaki itu hanya berusaha menghilangkan perasaan buruk itu bersemayam dalam dirinya. "Dengar, Van. Aku bisa—"

"Tinggalkan aku sendiri," ucap Vanya singkat, dengan suara tipis dan serak.

"Aku tahu kau terpukul, tapi kau tidak bisa begini. Kita harus merelakannya. Upacara pemakaman akan dilangsungkan pagi ini, dan kau harus—"

"Keluar."

"Vanya."

"KELUAR! AKU BILANG, KELUAR!" Vanya tiba-tiba saja mengamuk sampai melempar pecah jam beker dari atas nakas, mengejutkan Soobin bukan main. Gadis itu kemudian kembali menunduk dalam, dua tangannya menutup kuat sepasang telinganya dan dia memejam di posisi. "Keluar."

Bukan, bukan. Vanya tidaklah berubah menjadi gadis gila—setidaknya tidak secepat itu. Vanya hanya merasa bingung dengan semua yang baru saja dia dengar, alami dan dapatkan; kasus pembunuhan, tuduhan Soobin, hingga kematian sahabatnya sendiri—dia merasa tidak bisa menerimanya dengan mudah. Bahkan sekarang, dia sama sekali tidak menangis meski hatinya seperti dihancurkan. Hanya diam telah berperan menjadi jurus jitunya memproses akal agar dapat bekerja seimbang.

Meskipun itu terlihat gagal.

Bukankah itu aneh ... saat kau sama sekali tidak bisa menangis saat sedang kehilangan?

Itu tandanya jiwa dan ragamu masih menolak keras realita, dan egomu lebih besar hingga kau tidak sudi mengikhlaskan.

Apakah itu sebuah kesalahan?

"Yeonjun-ah, aku tahu kau hanya sedang bergurau...."

[✓] NEVER ENDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang