HAPPY READING
***
Kisah ini bermula ketika hujan rintik-rintik membasahi Kota Semarang, hawanya dingin mencengkram. Pagi hari di hari senin, jam sembilan pagi. Hari dan jam rawan, tapi sedikitpun tidak menghilangkan semangat para pencari nafkah, terutama tulang punggung keluarga.
Ada yang sudah pergi bekerja sejak jam enam pagi tadi, dimana hujan sedang deras-derasnya. Ada yang pergi di jam tujuh pagi, ketika hujan masih setia membasahi bumi seolah tak ingin segera usai. Namun, juga tak sedikit yang memilih pergi di jam delapan pagi, ketika hujan sudah mulai mereda menyisakan rintik kecil yang sepertinya tetap enggan untuk pergi hingga saat ini.
Meski cuaca kali ini ingin menarik mereka untuk tetap bergulung di balik selimut tebal. Tapi, semangat mereka seolah dipaksa untuk tetap berkobar. Termasuk para pegawai Apotek Prada. Sejujurnya mereka masih ingin bermalas-malasan, menyeruput kopi panas dan menyantap pisang goreng sembari bercengkrama. Berceloteh kesana-kemari, sebelum para pembeli menyabotase waktu dan tenaga mereka.
Tapi apa daya, sang Bos besar sedang mengawasi dari balik kaca bening ruang konseling pasien. Matanya bak burung elang yang siap menerkam mangsanya. Senin pagi yang buruk.
"Kau dengar ucapanku tidak sih Kak?" tanya gadis tinggi berbadan ramping, rambut bergelombangnya ia biarkan tergerai hingga batas pundak. Namanya Anggi, salah satu Psikolog yang aktif berpraktek di Rumah Sakit Jiwa Swasta di Kota Semarang.
Si lawan bicara hanya berdehem, tak berniat menjawab.
"Dia anakmu Kak, apa kau gila membiarkan anakmu tidak terurus?"
"Kalau begitu kau saja yang urus!" jawab pria itu pada akhirnya. Lalu bangkit dari kursi kebesanya. Melepas jas praktek Apotekernya dan menggantungnya pada gantungan jas di sudut ruangan. Menyambar asal jaket kulit berwarna hitam miliknya, kemudian melangkahkan kakinya berlalu meninggalkan Anggi yang terpaku sambil membuka mulutnya lebar-lebar.
Selang lima detik, barulah disusul suara menggelegar Anggi yang mampu memekakkan telinga siapapun yang mendengar.
"Terkutuklah kau Lean Ricardo gila, semoga Zean tidak menurun watak bejatmu itu," katanya berapi-api.
Lean tidak peduli, kakinya tetap melangkah pasti. Menoleh pun tidak, ia hanya ingin mendinginkan otaknya yang penuh dengan banyak hal.
Tentang nasib putranya.
Tentang nasib hidupnya sendiri.
Tentang kegelisahan hatinya.
Tentang mimpi yang setiap malam menghantui tidurnya.
Tentang perkataan mendiang istrinya.
Tentang semua pertanyaan-pertanyaan dalam otaknya.
Semua menumpuk menjadi satu, bagai rintik hujan di pagi ini yang semakin lama semakin membasahi tubuhnya.
*****
Dua puluh menit, Lean hanya berjalan tak tentu arah. Mengikuti kemana kaki jenjangnya ingin melangkah.
Kedatangan Anggi pagi ini bukan tanpa alasan yang jelas. Sepupunya itu wanita muda super sibuk. Dia datang berkunjung untuk mengabarkan jika pengasuh Zean mengajukan pengunduran diri karena kesehatan ibunya yang menurun, wanita paruh baya itu ingin pulang kampung untuk merawat ibunya sendiri.
Dan Anggi meminta Lean untuk mencari pengasuh pengganti untuk Zean.
Jika putranya itu seperti selayaknya anak berusia dua tahun pada umumnya, mungkin Lean tidak akan sebingung ini. Anggi pun tidak akan repot-repot meminta Lean yang mencari pengasuh baru untuk Zean. Dia juga bisa melakukanya sendiri, mencari pengasuh tidak sesulit itu. Sayangnya, putranya itu spesial. Dia anti dengan siapapun, hanya mau dengan Anggi dan pengasuh yang merawatnya sejak lahir. Bahkan sekalipun itu dengan Lean yang latar belakangnya ayahnya sendiri, anak itu akan takut dan menangis histeris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Second Fiddle
AdventureNovel ini menceritakan tentang seorang pria duda beranak satu, Lean namanya. Dia menyeret gadis muda bernama Kalana untuk masuk ke dalam dunianya yang kelam. Menjadi ibu pengganti untuk sang putra yang bernama Zean tanpa rasa cinta. Lean ingin menca...