PSF | 34. Epilog

770 30 0
                                    

Gak kerasa dah tamat bae. Kalo rame insyaAllah ada ektra part. Kalo perlu tambah episode wes.

Pasti ada yang masih pengen tahu bucinnya Lean kan??

Cuss ramaikan kolom komentar➡️➡️➡️

HAPPY READING GUYS

***

Tidak terasa, satu tahun sudah usia pernikahan Lean dan Lana.

Hari ini, tanggal 11 Desember 2023 sore hari jam empat. Mereka duduk di bangku taman, diam termenung menatap hamparan air danau begitu tenang. Cuacanya mendukung untuk kedua insan itu "saling memadu kasih" tidak panas tapi tidak juga hujan. "Di sini, kali pertama kita bertemu Mas," kata Lana tiba-tiba memecahkan keheningan, pandangannya masih lurus ke depan.

Lean berdehem, matanya terpejam sambil bersedekap. Kakinya diluruskan. Lana juga meluruskan kakinya, tapi kedua tanganya memegang pinggiran bangku-menopang tubuhnya. "Kau memberiku permen sunduk seperti bocah."

Lana terkekeh, "aku melihatmu sedang melamun, wajahnya kusut, seperti banyak pikiran. Jadi kupikir aku bisa menghiburmu sedikit dengan memberikan permen itu. Tapi Mas menolaknya," lalu Lana mendengus masam.

Spontan Lean membuka matanya. Dia membantah, "Tapi Mas mengambil sapu tangannya, sayang."

Lana mengangguk-angguk. "Saat itu Mas mengatakan jika tidak pernah menangis seumur hidup Mas. Tapi Mas justru menangis di pelukanku malam itu."

Lean salah tingkah, dia menebarkan pandanganya ke segala arah-kecuali pada Lana.

Lana menoleh, menatap Lean. Lalu terkekeh.

"Hari itu Mas kelepasan. Tidak sadar jika ternyata bisa menangis."

Lana mangut-mangut bibir bawahnya dia majukan-meledek. "Mas satu-satunya orang yang berhasil membuatku percaya dan merasa nyaman sejak awal pertemuan kita Mas. Mas yang kaku, realistis, tapi cukup perhatian. Aku suka-"

"Aku juga suka padamu." Lean menyambar dengan gombalan dan Lana hanya mencibir.

"Mas tahu... sebenarnya sejak hari pertama itu aku sudah tertarik padamu, Mas. Aku suka lihat Mas dari belakang."

"Itu kenapa kau selalu berjalan dibelakangku alih-alih mendahuluiku?"

Lana mengangguk membenarkan.

"Jika kau menyukaiku mengapa menerima lamaran pria lain?"

"Waktu itu aku sempat bertanya padamu Mas-meminta saran. Mas ingat?" Lean mengerutkan keningnya-berpikir. Selang sepuluh detik dia mengangguk. "Sebenarnya hari itu aku ingin tahu respon Mas sekaligus ingin tahu bagaimana Mas padaku. Tapi ternyata Mas justru menyuruhku menerimanya." Lana menghela napas, pundaknya ikut melorot, "ya jadi mau bagaimana lagi. Sudah tidak ada harapan."

"Kenapa tidak mengatakan langsung jika saat itu kau menyukai Mas, sayang?"

Lana terkekeh, "mana berani aku Mas. Wanita, gengsi nomor satu dong," seru Lana bangga.

Lean mendengus kecut-basi. "Ya sudah, yang terpenting sudah dapat ini kan?"

"Mas sendiri mulai kapan jatuh cinta padaku?"

"Mas sudah bilang berulang kali kan sayang? Mas tidak tahu. Mungkin karena bersama setiap hari akhirnya jatuh cinta." Mungkin sudah ribuan kali Lana bertanya soal yang satu ini-sampai Lean muak rasanya.

Mereka lenggang cukup lama. Kembali menatap hamparan air danau yang tenang.

"Tapi Om Danu bilang, alasan Mas ingin menikahimu sejak awal itu bukan hanya karena kau cocok dengan Zean atau sekedar untuk Zean. Tapi karena Mas merasa kau cocok dengan Mas dan untuk diri Mas sendiri."

Lana menoleh, menatap Lean penuh minat. "Jadi Mas juga cinta pada pandangan pertama?"

Lean mengangkat bahu-tidak tahu. Sudut bibir Lana tertarik seketika itu juga. Buru-buru Lean bangkit, meraih tangan kanan Lana dan menariknya. "Ayo kita pulang, tidak baik buat dede bayi," katanya.

Mau tidak mau Lana ikut berdiri. "Dede bayinya masih program Mas. Mending kita ambil Zean aja di rumah Kak Ze, kasian pengantin baru kan? Pengen sayang-sayangan."

"Biar dia menginap di sana malam ini sayang, biar tahu rasa itu si mulut besar." Lean menjawab.

Lean melingkarkan tanganya di pinggang istrinya-posesif. Mereka jalan beriringan. "Mas, tidak baik begitu sama sepupu sendiri. Sejauh ini Anggi banyak membantu kita loh," Lana memperingati.

"Ya sudah biar di rumah Aren saja kalau begitu..."

"Ini malam minggu Mas..."

"Om Danu?"

"Kita jemput Zean sekarang. Tidak baik anak dititip-titipkan tempat orang."

"OKE!" jawab Lean pasrah, lalu menggerutu. "Gagal maning berduaan sama istri tanpa gangguan."

Lana hanya terkekeh, langkahnya berhenti sebentar. Mendongak dan berjinjit, mengecup pipi Lean secepat kilat. Itu saja sudah membuat wajah keruh Lean berseri bagai bunga bermekaran di pagi hari. Dasar budak cinta-senggol sedikit sudah meleot.

"Sayang, kita Honeymoon yuk!" ujar Lean tiba-tiba muncul ide-dia masih mencari peruntungan.

"Kemana?"

Lean bergumam panjang-berpikir.

"Ke Bali saja gimana Mas? Zean pasti suka main air," Lana memberi saran.

"Sayang... mana ada Honeymoon ajak-ajak bocah." Rengek Lean protes.

"Oke... oke kita Honeymoon. BERDUA," kata Lana mengalah pada akhirnya.

Terkadang, hidup itu sesederhana kita butuh ada diposisi itu untuk bisa memahami apa yang orang lain rasakan. Atau kita butuh orang yang bernasib sama dengan kita agar bisa lebih saling memahami. Sama seperti Lana yang akhirnya bisa mengerti jalan pikiran Lean setelah dia merasakan apa yang Lean rasakan "menjadi orang ketiga" di antara cinta Lean dan Rina, sama seperti Lean yang menjadi orang ketiga di antara cinta Rina dan Zean tanpa dia ketahui.

Bermula dari pemain pengganti dalam cerita hidup Lean, kini menjadi pemeran utama dalam cerita cinta Lean dan Lana.

TAMAT

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang