PSF | 3. Memutuskan Jalan Terbaik

410 26 0
                                    

HAPPY READING

***

Anggi tiba 15 menit setelahnya, ia datang dengan langkah tergesa-gesa, membuka pintu ruangan Lean dengan kekuatan di atas rata-rata.

BRAK!

"Kau gila Lean Ricardo," itu ucapan pertamanya. Wajahnya merah padam, napasnya patah-patah. Emosinya sudah menjalar hingga ke tulang-tulang. Bagaimana dia tidak marah, tiba-tiba Lean mengirim pesan padanya, pria itu memintanya untuk menjadi manajer tempat penitipan anak dan memintanya membujuk seorang wanita untuk menjadi istri Lean.

Tanpa pikir panjang Anggi segera menelpon dan yang ia dapati setelahnya semakin membuat emosinya meradang, "wanita itu cocok dengan anak itu," itu kata Lean di telepon tadi. Kepala Anggi rasanya seperti ingin pecah sekarang.

"Santai bro, santai. Tarik napas dulu, kita bisa bicara baik-baik." Ujar Aren berniat mendinginkan suasana.

Anggi masih menatap Lean nyalang, perlahan mulai mengatur irama napasnya.

"Kau-" Anggi menatap Aren, lalu pada Lean lagi, "kawan gilamu itu, aku sudah tidak tahu bagaimana lagi menghadapinya."

Aren menatap Anggi bingung. Dia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia-" Anggi menjeda ucapanya dengan satu tarikan napas, "dia memintaku untuk melamar gadis."

Aren terbelalak. "Dia memintamu untuk menjadi gay?" ketika mengatakan kata 'gay' Aren mengecilkan suaranya jadi berbisik.

Lean menatap Aren nyalang.

Anggi membentak, "kau gila?"

"Dia memintamu untuk melamar wanita, apalagi jika bukan gay," setelah itu Aren menganga lebar, sadar karena telah salah bicara. "Aaa, maksudmu dia memintamu untuk melamarkan wanita untuknya?"

"Bukanya itu bagus?" timpal Aren lagi.

"Bagus?"

Aren mengangguk santai. "Dia akan segera melepas masa dudanya di usia 31 tahun."

Anggi membuang muka, dia tidak pernah tahu bagaimana jalan pikiran para pria. Sesederhana itukah cara berpikirnya?

"Lalu kau memintaku untuk bagaimana sekarang?" Anggi mulai mengajak Lean berbicara serius. Setelah mengatakan itu dia cepat-cepat menutup pintu ruangan Lean dan berjalan mendekat, duduk di sofa panjang sebelah Aren, berhadapan dengan Lean.

"Kau hanya perlu mengenalkan anak itu dengan wanita itu, selepas itu minta dia jadi istriku."

"Kau menyukainya?"

Lean tak bisa menjawab, dia tidak tahu jawabanya.

Anggi menghembuskan napasnya berat, kepalanya mulai berdenyut nyeri. "Lalu kenapa kau ingin menikahinya?"

"Dia suka anak-anak."

"Tapi kau bisa menjadikan dia pengasuh Zean, bukan istrimu."

"Kau bilang, anak itu butuh kasih sayang orang tua," Lean membantah.

Anggi memang selalu mengatakan jika Zean membutuhkan kasih sayang orang tua. Tapi maksud Anggi, dia meminta Lean untuk mulai memperhatikan putranya. Bukan justru seperti ini.

Aren yang mulai mengerti topik pembicaraan ini mulai tertarik. Tubuhnya yang semula ia sandarkan pada sandaran sofa kini sudah ia condongkan ke depan dengan kedua tangan yang saling terpaut. Mengamati Lean dan Anggi secara bergantian. Dia menyela. "Apa dia cantik?"

Lean lenggang sejenak. "Mungkin," jawabnya tak yakin.

"Mungkin?"

"Bukankah semua wanita memang cantik?"

Aren mengangguk-benar juga, wanita memang cantik bukan tampan. Anggi justru menghela napas. Hari ini entah sudah berapa kali dia menghela napas dan mengatai orang gila.

"Apa di matamu Rina sama cantiknya dengan wanita lain?" kali ini Anggi yang bertanya.

Lean menganggukkan kepalanya ragu-ragu, dia tak tahu jawabanya benar apa salah. Tapi, itulah yang ada di matanya. Sejak kecil hanya Rina dan Anggi wanita yang dekat dengannya atau bahkan bermain dengan nya. Jadi dia tidak punya pandangan lain tentang wanita.

Anggi sepertinya tak mau mendebat lagi. Mendebat manusia aneh seperti Lean hanya akan membuatnya sakit kepala. "Oke, besok aku akan menemui wanita itu di tempat penitipan anak dan membawa Zean," Anggi meniup udara, "semoga saja Zean tidak rewel. Soal menjadi manajer, aku tidak bisa. Suruh saja Aren."

Mendengar namanya disebut, spontan Aren menoleh dan membolakan matanya. "Aku?"

Anggi balik menatap Aren tajam. "Bukankah biasanya kau selalu menurut pada sahabat gilamu itu?"

"Tapi kenapa harus aku juga? Aku sudah kebagian membeli tempat penitipan anak itu," kedua pundak Aren melorot, kepalanya menunduk. "Ini saja belum beres," keluhnya bercicit.

"Jadi siapa ini yang mau menjadi manajer?" Lean menyela perdebatan. "Apa harus aku yang melakukannya?"

Serempak keduanya menggeleng. Bisa hancur jika Lean yang mengurus. Pria kaku seperti Lean ini isi otaknya hanya bisnis, dan realistik. Tidak cocok mengelola anak-anak. Anaknya sendiri saja tidak terurus. Itu pikiran keduanya.

Lean mengangguk sekali, lalu dia bangkit. "Oke, putuskan segera. Jika sudah segera menghubungiku."

"Kau mau kemana lagi?" Aren bertanya.

"Menemui Om Danu," Lean menjawab tanpa menoleh. "Om Danu memintaku untuk menemuinya."

"Kau mau ke Rumah Sakit Kak?" Anggi bertanya. Lean hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Ya sudah kita bersama saja, aku juga akan kembali ke Rumah Sakit."

"Kau mau naik BRT?"

"Aku membawa mobil, kau bisa menumpang di mobilku."

"Sampai jumpa di sana," jawab Lean yang artinya "tidak terimakasih."

To Be Continued
___________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang