PSF | 22. Terkadang Tindakan Lebih Mencerminkan Isi Hati

324 25 0
                                    

HAPPY READING

***

Putri Bu Tanjung dan Pak Arif namanya Arum Mita. Tinggal di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Tapi mereka tak langsung meluncur ke sana. Seperti kesepakatan awal, mereka akan pulang dan akan pergi keesokan harinya.

Hanya saja pulang dalam artian Lean dan Lana justru tak selaras. Dalam pikiran Lana mereka akan pulang untuk beristirahat, tidur dan merenggangkan otot. Tapi pada kenyataannya Lean justru hanya mengantar Lana dan Zean ke rumah Zean, rumah yang dulu ditinggali Lean dan juga mendiang Rina. Setelahnya pria itu pergi tanpa mengatakan satu patah kata pun.

Lean menemui Om Danu, dengan pikiran yang membuncah kakinya melangkah pasti. Om Danu mengerutkan keningnya ketika Lean berjalan mendekat ke arahnya. Lalu duduk di kursi berseberangan. Kakinya disilangkan, punggungnya dia rebahkan di sandaran kursi. “Bagaimana?” tanya Om Danu langsung. Seperti sudah tahu apa tujuan Lean berkunjung. “Tidak menemukan petunjuk apapun di sana?”

Lean menggeleng. “Rina selingkuh...” kata Lean tiba-tiba. Om Danu melotot. “Bicara yang benar kau Lean.” Hardik Om Danu.

Lean menghela napas panjang, “apa aku terlihat sedang bercanda atau biasa berbohong Om?”

Om Danu bungkam, memindai wajah kusut Lean yang penuh dengan keputus asaan. Meskipun sejujurnya wajah Lean juga terlihat lebih segar dari biasanya. “Kau tidur nyenyak semalam Lean?” Om Danu justru mengalihkan pembicaraan.

Lean memutar bola matanya malas. Dia sedang tidak ingin dikomentari sekarang. “Ayolah Om, aku sedang serius sekarang.”

Om Danu terkekeh, tubuh gempalnya hingga sedikit bergoyang-goyang. “Aku hanya berbicara sesuai apa yang aku lihat. Anggi dan Aren juga pasti akan melakukan hal yang sama jika melihat wajah segarmu.”

“Aren sudah melakukannya semalam. Jadi bagaimana ini Om?”

“Bagaimana apanya?” Om Danu justru bertanya balik.

Lean membola, “tentang nasibku. Aku harus melakukan apa?”

“Apa rencanamu?”

“Aku sebenarnya ingin berhenti mencari, toh jika semua benar itu hanya akan menyakiti hatiku dan membuatku semakin mengabaikan anak itu. Tapi Lana memintaku untuk melanjutkan misi dan Aren mendukungnya.”

“Om setuju dengan istrimu,” Om Danu menjawab cepat. “Fakta memang sudah seharusnya terbongkar Lean. Mau ditutupi serapat apapun jika memang sudah waktunya terbongkar pasti akan terbongkar juga.”

Mereka lenggang sejenak. Lean setuju dengan itu, tapi entahlah hatinya juga meragu secara bersamaan. “Aku hanya takut jika anak itu bukan anakku Om, tapi justru anak pria sialan itu," ujar Lean jujur, wajahnya terlihat semakin suram dan putus asa.

Om Danu mengangguk-angguk, dia mencondongkan tubuhnya, tanganya berpangku pada meja. “Bagaimana jika tes DNA?” dia memberi saran.

Lean menolak tegas. “Aku tidak akan melakukannya seumur hidupku.”

“Tapi kau meragukannya Lean...” bantah Om Danu cepat. “Daripada langkahmu gamang untuk mencari kebenaran lebih baik lakukan hal yang paling dasar dulu. Lakukan tes DNA dan putuskan setelahnya.”

“Aku hanya khawatir Om, tapi tidak pernah meragukan anak itu.”

Om Danu tersenyum mengejek—BASI. Bahkan sampai detik inipun Lean masih belum sanggung memanggil anaknya dengan namanya. “Sekalipun ternyata dia bukan darah dagingmu?”

Lean bungkam sesaat, namun setelahnya dia mengangguk ragu-ragu.

“Pergilah! Carilah kebenarannya, kembalilah dengan kabar baik. Aku tidak ingin melihat wajah surammu itu lagi di sisa umurku.” Titah Om Danu menasehati.

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang