PSF | 28. Praduga Yang Tidak Diduga-duga

303 26 0
                                    

HAPPY READING

***

Setelah tidur lelap, esok pagi-pagi Lean sudah duduk bersila di atas rerumputan bersama Pakde Sugi—sedang memancing. Tapi belum ada satupun ikan yang berhasil terpancing.

Mereka akan menginap satu hari lagi di rumah Pakde Sugi. Lean beralibi takut Zean dan Lana kelelahan padahal sebenarnya dia ingin melarikan diri dari semua masalah ini sejenak, sebelum akhirnya kembali tempur.

"Mancing tu paling banyak ikannya kalau air laut mulai pasang begini Le (Tole, sebutan untuk anak laki-laki). Ikan-ikan lagi pada masuk."

Lean mengangguk-angguk. Sesekali dia menepuk nyamuk yang dengan lancangnya hinggap di kulit mulusnya. "Mereka para nelayan itu pada berangkat jam berapa Pakde?" Lean menunjuk para nelayan dengan perahu kecil sedang menjala.

"Biasanya dari mulai surut. Mungkin dari jam tiga pagi tadi."

"Itu setiap hari pakde?" dia cukup terkejut.

"Ya tergantung pasang surutnya air laut. Kalau pas sore ya mereka berangkat sore. Kalau pas tengah malam ya berangkatnya malam."

"Memang tidak takut ada buaya pakde?" Lean bertanya penasaran. Pasalnya tempat ini seperti rawa-rawa, dan perairan yang panjang dan luas mustahil tidak ada hewan seperti itu.

Pakde Sugi terkekeh. "Ya jelas banyak to," katanya bangga.

Lean melotot.

"Hewan-hewan semacam itu tidak akan mengganggu jika tidak diganggu." Pakde Sugi menjelaskan. "Mungkin ada yang tidak sengaja bertemu, ya sudah menghindar saja mereka tidak akan mengikuti. Tapi beda cerita jika mereka diganggu, seperti dilukai, atau anaknya diambil, telurnya dicuri. Mereka pasti marah dan masuk jalur. Ada juga yang misal ucapanya tidak dijaga, menantang mereka misalnya."

"Memang apa hubunganya Pakde?"

"Mereka juga makhluk hidup Le, meskipun kita tidak tahu bahasa mereka tapi mereka mungkin bisa mengerti bahasa kita."

"Sudah ada kejadianya Pakde?" Lean bertanya.

"Banyak," jawab Pakde Sugi cepat. "Ada pendatang yang datang dari Sungai Sidang, memang sengaja mencari anakan buaya. Beberapa bulan induknya masuk ke jalur-jalur mencuri ayam dan kambing. Padahal sebelumnya tidak pernah masuk jalur. Besarnya mungkin sebesar sampan itu," Pakde Sugi menunjuk perahu yang di tumpangi nelayan.

Lean melotot. Yang benar saja, sampan itu mungkin jika di naiki orang muat untuk empat atau lima orang.

"Pernah juga ada yang sedang menjaring, anaknya tersangkut di jaring orang itu. Dia iseng-iseng bertanya 'kamu kok bisa kesangkut, dimana ibumu' tiba-tiba induk buaya itu benar-benar memperlihatkan kepalanya. Teman Pakde langsung pergi begitu saja. Ketakutan dia," Pakde Sugi tertawa terbahak. Tapi Lean justru mengidik ngeri. Bulu kuduknya sudah meremang. Dia menelisik setiap tepi kanal.

"Pakde aku pernah membaca, katanya buaya jika berenang di dalam air itu airnya sama sekali tidak bergoyang. Apa benar Pakde?"

Pakde Sugi mengangguk. "Justru kalau air laut itu tenang kita perlu waspada, karena sesekali dia hanya akan memperlihatkan mata merahnya saja di permukaan, atau ada gelembung-gelembung kecil."

"Pakde pernah melihatnya?"

"Jelas..." ujar Pakde Sugi bangga. "Kambing Pakde pernah dimakan, Ridwan malah pernah di loncati."

"Diloncati?"

Pakde Sugi berdehem. "Dia habis masak nasi goreng malam-malam. Niatnya cuci piring, air bekas cucian itu dia buang lah ke bawah, waktu itu air lagi pasang tinggi-tingginya. Eee ... sewaktu dia buang air bekas cucian piring itu ternyata di bawah dia ada buaya. Buayanya kaget, dia juga kaget."

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang