PSF | 31. Definisi Cinta

361 22 0
                                    

HAPPY READING

***

Pagi-paginya, jam tujuh pagi. Mereka benar-benar kembali ke rumah Bu Rina. Wanita lanjut usia itu menyambut mereka dengan senyum yang merekah. “Ibu tahu kalian akan kembali lagi,” katanya ketika menyambut mereka di depan pintu.

“Ya, Zean dan Rina memang saudara sekandung. Ibunya meninggal tiga hari setelah melahirkan Rina. Preeklamsia yang tidak ditangani dengan baik.” Stres dan memiliki riwayat Hipertensi (tekanan darah tinggi) sejak lama yang menjadi penyebab utama Ibu Rina mengidap Preeklamsia atau komplikasi selama kehamilan, dari banyaknya penyebab yang ada. Tekanan darah meningkat dan jumlah protein dalam urin juga meningkat setelah kehamilan lebih dari dua puluh minggu.

"Lalu, Ayahnya bunuh diri karena tidak terima istrinya meninggal. Ditambah lagi banyaknya hutang yang mereka milik. Ibu ini sebenarnya hanya tetangga mereka di kampung. Ibu mengadopsi Zean karena tidak bisa hamil. Saat itu ekonomi kami belum selancar sekarang, suami takut tidak bisa merawat mereka dengan baik jika mengambil keduanya. Jadi Ibu hanya bisa mengasuh Zean dan menyerahkan Rina ke panti asuhan.”

“Keluarganya yang lainya Bu?” Lana bertanya tak sabaran. Dia sudah meneteskan air mata entah sejak kapan. Lean duduk di sebelahnya, sedangkan Zean sedang bermain di lantai ruang tamu Bu Rini, menyusun minuman kemasan gelas. Apapun yang dia lakukan Lana izinkan hanya supaya tidak mengganggu obrolan mereka beberapa saat ke depan.

“Keluarganya semua memang dari kalangan menengah ke bawah, untuk makan saja pada susah. Warga sekampung juga saat itu lagi susah, lagi musim kemarau panjang. Jadi Ibu menitipkan Rina di Panti Asuhan terbaik di kota Semarang, dan membawa Zean ke Magelang, karena Bapak dapat dinas di sini. Harapan kami Rina bisa terawat dengan baik.” Suami  Bu Rini Abdi Negara, TNI.

"Ibu menyerahkan Rina ke Panti Asuhan dengan setiap bulannya datang berkunjung. Janji Ibu dan suami ya akan tetap mengawasi Rina sampai Rina menemukan keluarga baru yang menyayanginya. Ibu juga tidak tega sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Keluarga besarnya juga sudah angkat tangan karena memang mereka kesusahan. Mereka hanya buruh tandur, yang cukup untuk makan sehari-hari. Anak-anaknya juga banyak yang tidak tamat sekolah dasar.”

Bu Rini menghela napas, dia mengusap butiran bening yang keluar di sudut mata kanan nya. “Semua kesalahan Ibu, dari awal suami Ibu meminta Ibu memberi tahu Zean jika Rina itu adik kandungnya. Tapi bodohnya Ibu tetap keras kepala hanya karena takut mereka sedih dan tidak bisa menerima semuanya. Diadopsinya Rina membuat Ibu lega selega-leganya. Ibu pikir semua itu selesai, tapi ternyata Zean sejauh itu mencari Rina. Ketika dia meminta restu untuk kuliah di Semarang tanpa ragu Ibu juga mengizinkan. Tapi ternyata—“ Ibu Rini terisak pilu, air matanya sudah tak mampu dibendung lagi.

“Tapi ternyata, alasan dia memilih kuliah di Semarang karena ingin mencari keberadaan adiknya dan semesta seakan enggan memisahkan mereka. Ibu baru tahu di hari Zean pulang dan memeluk Ibu karena patah hati begitu hebatnya. Dia menangis sejadi-jadinya karena Rina akan menikah dan dia begitu mencintai Rina hingga rasanya tidak tega membuat orang yang dicintainya terbebani karena perasaanya. Ibu kira semua membaik ... maksudnya hubungan mereka benar-benar berakhir karena Rina sudah menikah.

Selang dua bulan, Zean mengabari Ibu jika ternyata hubungan mereka justru berlanjut ke arah yang lebih intim. Ibu tidak habis pikir. Hari itu juga Ibu memintanya pulang, memberi tahu Zean jika Rina itu adik kandungnya dan menceritakan kebenaran yang ada. Dia kecewa pada Ibu, tapi juga mengucapkan terimakasih ribuan kali karena sudah merawatnya dan tidak menelantarkan adik nya begitu saja."

Ibu Rini lenggang lima detik,  memejamkan mata erat-erat sebelum kembali bercerita. "Lama tidak berkabar tahu-tahu Zean pulang setelah beberapa bulan tidak pulang. Tapi hari itu dia pulang dalam keadaan yang paling buruk dan Ibu baru tahu satu bulan setelahnya jika ternyata Rina meninggal.”

Lana yang sudah tidak kuat berlari berhamburan ke pelukan Bu Rini, mereka saling bersahutan tangis seakan merasa paling tersakiti. Zean kecil juga ikut menangis melihat Mama tersayangnya menangis, bocah itu juga berhamburan memeluk Lana. Tersisalah Lean yang mematung di tempatnya. ‘Apakah semua wanita memang selemah ini?’ itu tanyanya dalam hati.

Mereka baru selesai menangis setelah dua puluh menit lamanya. 

*****

Kondisi Zean besar buruk. Tubuhnya kurus kering, matanya cekung, rambutnya dipotong gundul. Saat Ibu Rini dan Lean datang berkunjung, dia sedang istirahat—tidur siang. Mereka hanya bisa melihat Zean besar dari layar monitor karena memang Zean besar sebenarnya tidak boleh dikunjungi ketika berada di ruang isolasi.

Tapi Lean memaksa, ingin memastikan sendiri bagaimana kondisi Kakak kandung dari almarhum istrinya itu. Ternyata memang memprihatinkan. Mereka juga tidak lama berkunjung hanya kurang lebih sepuluh menit saja. “Ze sempat sekali diizinkan pulang oleh dokter, tapi kondisinya memburuk lagi setelah satu minggu di rumah. Dokter bilang jiwanya memang menolak untuk sembuh. Mungkin itu salah satu cara dia untuk menebus dosanya atas kematian Adiknya—yang dia percayai itu karena ulahnya.”

“Rina meninggal karena tertekan yang berlebihan Bu, saya juga kurang tahu pasti bagaimana cerita aslinya. Tapi sejauh ini saya mencari tahu kesimpulanya mengarah ke arah situ. Dia berkelahi dengan Zean dan hari itu juga Papa terkena serangan jantung karena mendengar ucapan Rina yang kemungkinan besar sedang berbicara dengan Zean di telepon.”

Bu Rini menoleh ke kanan, menatap Lean dalam.

“Jika Ibu mengizinkan, saya ingin mengambil alih atas perawatan Zean. Sepupu saya Psikolog dan saya juga mengenal Psikiater terbaik,” ujar Lean balik menatap Bu Rini, mereka sedang dalam perjalanan kembali ke rumah Bu Rini.

“Nak Lean ingin membawa Ze ke Semarang?”

“Tidak Bu, rumah sakit jiwa di Magelang yang terbaik. Zean akan tetap dirawat di sini. Nanti mereka yang akan berkunjung ke mari. Ibu tidak perlu khawatir, semua saya yang mengurus. InsyaAllah Ibu cukup terima beres.”

“Berapa biaya yang harus kami bayar Nak Lean?” Realistis, semua memang tidak ada yang gratis. Wajar jika itu yang pertama kali terlintas di pikiran Bu Rini. Sekalipun dia mampu, dia tetap harus berdiskusi dengan suaminya dulu. Apalagi mengenai uang yang pasti tidak sedikit.

“Saya yang akan bertanggung jawab Bu, jadi Ibu dan Bapak tidak perlu memikirkan biaya. Saya yang akan menanggung.”

Bu Rini terbelalak, dengan lantang dia menggeleng. “Ibu menolak jika begitu. Ibu insyaAllah masih mampu membiayai pengobatan Ze.”

Lean menelan ludah, sepertinya Bu Rini tersinggung. Cepat-cepat dia meluruskan. “Saya bukan bermaksud yang tidak-tidak Bu. Jika Zean merasa bersalah atas meninggalnya Rina, saya pun merasa bersalah karena memisahkan dua manusia yang saling mencintai. Permasalahan awal mereka bermula dari saya yang menikahi Rina dan membuat perasaan mereka hancur,” Lean menghela napas sejenak. Mobil berhenti—lampu merah. “Bu... izinkan saya menebus kesalahan saya pada Rina dan Zean memalui ini. Saya akan melakukan yang terbaik untuk perawatan Zean.”

Jika diruntun seperti itu, justru Bu Rini lah yang bersalah di sini. Dia sudah melakukannya lebih dulu sampai rasanya dia sudah tidak sanggup lagi untuk bernapas. Dia bertahan demi Zean, itu sebebnya dia melakukan semua yang terbaik untuk pengobatan Zean. Andai saja dia jujur pada Zean sejak awal, tentang hubungan adik-kakak itu mungkin semua tidak akan terjadi serumit ini. 

"Bu tolong untuk sekali ini saja, biarkan saya membantu atas nama suami dari Adik kandung Zean. Saya ingin mewakili almarhum Rina istri saya untuk membantu atas kesembuhan putra Ibu, kakak Ipar saya." Lean memohon dengan tulus. 

Bu Rini bungkam, mereka lenggang cukup lama sampai lampu rambu-rambu berpindah menjadi hijau kembali dan mobil kembali melaju.

“Baiklah Ibu mengizinkanmu,” dan percakapan itu sebagai penutup sekaligus pembuka segalanya.

Sampai di rumah Bu Rini, di hadapan wanita tua itu dan Lana, Lean menghubungi Aren dan meminta pria itu untuk mengurus segalanya.

Lana hanya mampu menatap dalam suaminya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Hatinya berseru lirih, "Mbak Rina, kau juga melihatnya bukan? Orang yang menyelamatkan pria yang begitu kau cintai justru orang yang hatinya kau lukai begitu dalamnya. Dialah orang yang mencintaimu hingga urat nadi. Mbak aku harus apa sekarang? Hatiku justru semakin terpatri padanya."

To Be Continued

____________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang