HAPPY READING
***
"Aku ingin bicara denganmu." Kata Lean ketika Lana baru saja berbaring di samping Zean dan memejamkan mata.
Cepat-cepat Lana kembali bangun.
Keduanya lenggang sejenak. "Maaf jika pernikahan ini terkesan tidak adil dan hanya menguntungkanku." Lean menundukkan kepalanya dalam. "Aku memang memanfaatkanmu, tapi aku juga tidak punya pilihan lain."
Lana belum angkat bicara dia masih memperhatikan Lean. Posisi sofa yang menghadap ke arah ranjang, menguntungkan Lana untuk bisa leluasa melihat Lean.
"Aku juga tidak bermaksud ingin menyembunyikan identitasku darimu. Aku sengaja menemuimu di danau setiap hari. Kau tidak bertanya siapa aku, jadi kupikir kau memang sudah mengetahui jika aku calon suamimu."
Lana menghela napas panjang. Tapi belum angkat bicara.
"Kau boleh marah." Lean mengangkat kepalanya membalas tatapan Lana. "Jika kau ingin marah dan memaki ku kau boleh melakukanya. Jika kita ingin pisah rumah, kau bisa tinggal di rumah anak itu. Tapi-" dia diam sejenak. Menghela napas panjang. "tetap bertahanlah menjadi istriku setidaknya sampai satu tahun. Hanya satu tahun, setelahnya kau boleh bebas."
Lana tak bisa berkata-kata, bibirnya kelu. Lebih tepatnya dia tidak menyangka hal ini terjadi, bahkan di umur pernikahan belum genap 24 jam. Apa sebenarnya tujuan pria itu menikah dengannya?
"Jika kau tidak bisa melakukan untukku, tolong lakukan untuk anak itu. Setidaknya sampai aku menemukan pria itu. Kau bilang, kau menyukai dan menyayangi anak itu kan?" Lean melanjutkan. Perasaan nya mulai gelisah karena Lana belum juga memberikan reaksi apapun. Wanita itu juga justru sekarang buang muka. Lean mulai frustasi. "Seumur hidupku aku belum pernah memohon, tapi kali ini aku memohon padamu Lana," ujar Lean lirih.
Lana menyugar rambutnya. Kepalanya mendongak ke atas. Air muka sudah menunjukkan kekecewaan yang begitu mendalam. "Apa kau gila?" dia bertanya tiba-tiba, suaranya sedikit meninggi penuh emosi.
Lean hanya bungkam. Dia sadar dirinya gila.
"Apa kau sejahat itu? Apa kau menikahiku hanya karena Zean? Tidakkah kau sedikit saja tertarik denganku Lean?" Lana menatap Lean dengan tajam. Air mata sudah menumpuk di pelupuk mata. Jika dia mengedipkan mata sekali saja mungkin akan tumpah.
Emosi Lana semakin memuncak ketika Lean justru lagi-lagi memilih diam. Bahkan ketika Lana sudah memberi waktu hingga dua menit. Berharap Lean membantah. Tapi nihil.
"Ya Tuhan-" Lana berseru sambil mengusap wajahnya kasar. "Apa dosa yang kulakukan selama ini?"
"Maaf." Lean menjawab singkat.
Lana menatap Lean nyalang. Satu tetes butiran bening sudah lolos melewati pipinya. "Aku tidak tahu apa dosaku selama ini hingga Tuhan menghukumku tiada henti. Tuhan mengambil Ayah Ibuku lalu nenekku. Sejak kecil perekonomian ku sulit, aku harus putus sekolah dan bekerja banting tulang. Pagi sampai sore mengasuh anak kadang malam kerja part time di pasar malam." Lana menghela napas, dia kembali membuang muka. Tidak sanggup jika harus melihat Lean.
"Aku sebatang kara selama nenek meninggal. Aku—" Lana terisak. Air matanya sudah tidak sanggup dibendung lagi. "Aku—hanya ingin ketika menikah memiliki keluarga yang utuh. Tapi—" Lana menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Tapi kenapa aku sudah dicampakkan lagi bahkan pernikahanku belum genap 24 jam. Apa dosaku selama ini?" Lana berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
Masih duduk di sofa. Lean terpaku, menatap Lana dengan bibir yang terkatup rapat.
Selang lima menit Lana mengangkat wajahnya. Tangannya pun ikut terlepas dari wajahnya. Dia menatap Lean dalam. "Apa alasanmu menikahiku hanya demi Zean?" Lana bertanya.
Ragu-ragu Lean mengangguk. Dia tak ingin berbohong lagi.
Lana mendengus, dia menoleh ke kanan sesaat lalu kembali menatap Lean. "Aku tidak marah jika itu memang alasanmu. Aku pun menerima pernikahan ini karena Zean. Dia anak malang, walaupun dia berlimpah harta selama ini. Tapi anak seumuran dia yang memiliki trauma sedalam itu tidak mungkin tanpa sebab bukan?"
Lean tidak bisa menjawab. Lana benar.
Lana mengangguk, mengusap air matanya kasar. Dia tidak ingin terlihat lemah. Itu yang dia lakukan selama ini. Meskipun dia lemah dan terjajah tapi dia tidak ingin terlihat menyedihkan di mata orang lain. "Oke... Anggap saja kita impas. Kau menikahiku karena Zean dan aku pun menerimanya karena alasan yang sama. Kau memberiku waktu satu tahun bukan?"
"TIDAK—" Lean membantah cepat. Dia juga menggeleng tegas. "Aku tidak memberi waktu dan semacamnya."
"Anggap saja seperti itu. Anggap saja aku hanya punya waktu satu tahun dan kemungkinan satu persen." Lana menggigit bibir bawahnya, dia menghela napas, matanya dia pejamkan sesaat. "HANYA SATU PERSEN!" Lana menegaskan.
Lean hanya diam, dia tidak paham. Dia tidak mengira semua akan jadi serumit ini, padahal Lean hanya ingin meluruskan segalanya. Bernegosiasi, saling terbuka dan semua selesai. Sesederhana itu.
"Ayo, kita manfaatkan satu tahun dan satu persen itu dengan baik. Jika berhasil kita bisa melanjutkan semua ini. Tapi jika tidak kau boleh melepaskanku—"
"Tidak-aku yang akan meninggalkanmu." Lana meralat.
"Tapi aku tidak tahu apa aku bisa jatuh cinta lagi." Lean menjawab putus asa. Rasa cintanya sudah terpatri akan sosok Rina, istri tercintanya.
"Aku juga tidak tahu apa aku bisa mencintaimu. Sejak awal kita melakukan semua untuk Zean bukan? Jadi ayo kita lakukan sampai akhir."
"Bagaimana jika tetap tidak berhasil?" Lean bertanya. Dia tidak ingin ada kesalahan lagi nantinya.
"Kita bisa berpisah. Sesuai kesepakatan. Satu tahun bukan?"
"Tapi aku tidak berniat mempermainkan pernikahan ini."
Lana terkekeh getir lalu membantah. "Kau sudah mempermainkan nya sejak awal."
Kuncup. Lean sudah tidak mampu membantah. Lana benar, alasanya menikah, cara dia melamar dan akhirnya mempersunting Lana pun sudah terlihat main-main sejak awal. Meskipun dia tidak bermaksud seperti ini. "Oke, aku mengerti." Ujarnya pada akhirnya.
"Lalu sekarang bagaimana? Kau punya rencana bukan?" Lana melihat sekitar, mengamati setiap sudut ruangan. "Melihat ini, aku yakin kan punya alasan lain selain karena Zean."
Lean melotot. "Bagaimana kau bisa tahu, apa Anggi juga mengatakannya?"
"Kamar, ruang tamu, ruang kerja, dapur, kau jadikan satu ruangan padahal di rumah ini memiliki banyak ruangan." Sambil berkata itu, dia mengabsen setiap benda dengan tatapan. "Bukankah sudah jelas kau memiliki sesuatu yang membebanimu selama ini?"
Lean ikut menelisik setiap sudut ruangan. Lana benar, siapapun orang yang masuk ke dalam sini pasti akan mudah menebaknya.
"Lalu? Apa rencanamu?" Lana bertanya lagi.
Lean diam beberapa saat. Tapi, belum sampai semenit Lana lebih dulu angkat bicara lagi. "Jika tidak ingin mengatakannya tidak apa-apa. Lupakan saja."
Cepat-cepat Lean menggeleng. Dia hanya ingin memberi jeda waktu. Tapi mood istrinya itu sedang buruk-buruknya sepertinya. "Aku ingin mengatakannya padamu. SEMUANYA!"
"Tolong dengarkan aku dengan baik dan jangan menyela." Pinta Lean pada Lana.
To Be Continued
____________Kalo kalian jadi Lana gimana perasaannya guys?
![](https://img.wattpad.com/cover/265549552-288-k794958.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Second Fiddle
PrzygodoweNovel ini menceritakan tentang seorang pria duda beranak satu, Lean namanya. Dia menyeret gadis muda bernama Kalana untuk masuk ke dalam dunianya yang kelam. Menjadi ibu pengganti untuk sang putra yang bernama Zean tanpa rasa cinta. Lean ingin menca...