PSF| 15. Membuat Rencana

314 24 0
                                    

HAPPY READING

***

"Lalu apa yang terjadi setelahnya Mas?" Lana sudah melunak. Wanita itu juga sudah tidak marah, kemarahannya sudah meluap habis. Meskipun dia terkesan blak-blakan, tapi sebenarnya dia juga tidak tega ketika ada orang di sekitarnya menderita. Contohnya saja Zean, dia mau menikah dengan Lean ya karena kasihan dengan Zean yang menurutnya malang seperti dirinya dulu.

"Apa lagi. Aku sampai rumah sakit Mama Papa sudah meninggal. Hatiku hancur, semakin hancur lagi ketika belum sempat bernapas tetanggaku itu menghubungiku lagi. Rina harus segera dioperasi dan membutuhkan persetujuanku segera."

"Istri Mas meninggal saat operasi?" Lana bertanya.

"Kau juga istriku." Masih sempat-sempatnya Lean meralat. Padahal Lana sudah penasaran tingkat tinggi. "Dia sadar sebentar setelah dioperasi. Hanya untuk menyampaikan sesuatu yang sampai saat ini membuatku bingung." Lean diam sesaat.

Kening Lana berkerut, menunggu Lean melanjutkan ceritanya. Posisi mereka yang masih berpelukan membuat keduanya tidak bisa melihat ekspresi satu sama lain. Lean juga masih terlalu betah merebahkan kepalanya di pundak Lana. menghirup wangi istrinya itu. Nyaman sekali.

"Kau tidak penasaran apa yang Rina katakan sebelum meninggal?" Lean bertanya karena tidak mendapat respon dari Lana.

Lana lenggang sesaat. Tentu saja dia penasaran. "Kalau Mas tidak mau cerita ya tidak apa-apa."

Lean melepas pelukannya. Menatap Lana menelisik. Dia tahu Lana berbohong, wajahnya justru menggambarkan sebaliknya. "Jadi penasaran atau tidak?"

"Penasaran." Lana menjawab singkat, sambil membuang muka. Dia penasaran-sangat. Tapi, gengsi untuk terang-terangan mengakui.

Lean membuang napas keras. "Dia mengatakan meninggalnya Mama Papa karena kesalahanya. Dia juga memintaku untuk mencari pria bernama Zean."

Lana kaget. Sepontan menoleh menatap Zean yang sedang terbaring di atas ranjang.

Lean berdehem. "Dia juga yang memberi nama anak itu Zean," sambung Lean menjelaskan. Dia tahu apa yang ada di pikiran Lana. Tergambar jelas di wajah wanita itu.

"Siapa Zean itu?"

Lean mengangkat kedua pundaknya. Tidak tahu. "Jika aku tahu, aku tidak akan se frustasi ini."

"Memang Mas frustasi?" Lana bertanya pandanganya sudah bertumpu lagi pada Lean. mereka duduk saling berhadapan di sofa panjang.

"Kau melihat aku sebagai pria normal yang tidak punya beban penderitaan?" Lean bertanya, sambil mengangkat sebelah alisnya.

Lean menggeleng. Tentu saja tidak. "Aku kan tadi bilang Mas gila."

Lean mengangguk. "Kau bukan orang pertama."

Lana memasang wajah kecewa. "Yah... sayang sekali, aku ingin menjadi orang pertama dan satu-satunya padahal."

Lean hanya diam.

"Mas ingin mencari Zean itu?"

"Itu sebabnya aku menikahimu."

"Berarti bukan karena Zean?" Lana bertanya lagi. "Aah...maksudnya Zean kecil. Bukan karena Zean kecil?" Lana melarat.

"Karena keduanya. Anak itu terlalu merepotkan. Aku sakit kepala mendengar ocehan Anggi setiap hari." Lean mendengus setelahnya. Sedangkan Lana sudah membola. "Tapi sebelumnya aku ingin mencari keberadaan Bi Rum dulu." Lean menjelaskan. Itu tujuan utamanya sebenarnya.

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang