PSF | 23. Simpul Pertama Yang Berhasil Ditemukan

295 20 0
                                    

HAPPY READING

***

Keberangkatan mereka tertunda hingga awal tahun. Libur natal, tahun baru, cuaca ekstrem menjadi penyebabnya. Jalanan pasti akan macet parah menjelang natal dan tahun baru. Rencananya mereka akan berangkat di tanggal 1 Januari 2023. Tapi apa daya, Zean mendadak demam dan mereka baru bisa berangkat tanggal tujuhnya di jam sepuluh pagi.

Om Danu, Anggi, Aren turut melepaskan kepergian mereka. "Ingat kabari aku ketika sudah sampai!" Anggi memberi petuah.

"Kau yakin tidak ingin mengajakku untuk dijadikan supir?" Aren merayu. Dia sudah puluhan kali menawarkan diri tapi Lean menolah, terakhir kemarin pria itu justru mengatai. "Kesambet apa kau mendadak romantis? Kau takut merindukanku?" Aren hanya bisa melongo dibuatnya.

"Sudahlah kalian ini, tidak perlu terlalu berlebihan. Mereka hanya akan bepergian bukan pindah rumah." Om Danu menyela.

Anggi dan Aren kompak menghela napas. Lana terkekeh, Lean sudah memasang wajah masam. "Kami berangkat sekarang," ujar Lean berdiri di hadapan ketiganya. Sambil menggendong Zean Lana berdiri di sisinya. "Salim dengan Oppa, Uncle dan Anti sayang!" Titah Lana mendekatkan Zean pada ketiganya.

Anggi yang paling pertama, gadis itu langsung memeluk dan mencium Zean. Aren pun tak ingin kalah dia langsung menggendong Zean. Yang lebih normal Om Danu, pria tua itu hanya menyalami Zean, mengecup kedua pipi Zean lalu berkata. "Zean anak pintar, cucu kesayangan Oppa. Tidak boleh menyusahkan Mama dan Daddy, Oke?"

Zean mengangguk, meski sebenarnya tidak terlalu paham dengan petuah Kakeknya. Bocah dua tahun lebih itu tahu jika dia akan bepergian jauh dengan kedua orangtuanya. Karena sudah memakai jaket dan baju bagus. Sesederhana itu.

"Lana titip anak dan cucu Om ya? Mereka pasti akan merepotkanmu."

Lana tersenyum lalu mengangguk. "Lana pasti akan merawat mereka dengan baik Om, kalau tidak Mas Lean yang justru ku repotkan."

Om Danu menepuk bahu kanan Lana dua kali. Lalu mengusap surai Zean. "Sudah seharusnya suami istri saling merepotkan dan direpotkan." Lalu dia melirik Lean. "Jaga istri dan anakmu dengan baik, jangan terlalu cuek."

Lean mengangguk sekenanya wajah masamnya sudah berubah menjadi datar lagi.

Mereka naik Audi A3 warna hitam. Lean duduk di kursi kemudi, Lana di sebelahnya dan Zean di kursi penumpang belakang Lean. Dua koper besar sudah terkemas di bagasi belakang, ditambah satu tas jinjing kecil memuat perlengkapan cadangan Zean selama perjalanan. Makanan dan minuman juga sudah di tersedia di dalam mobil. Anggi yang mempersiapkan segalanya.

Perjalanan mereka resmi dimulai.

"Mas kenapa menolak tawaran Kak Aren? Kalau ada Kak Aren kan bisa gantian nyetir." Lana bertanya, sesekali melirik ke belakang, pada Zean.

Lean menoleh sekilas. "Dia hanya akan mengganggu kita."

"Loh kenapa memangnya? Justru bagus dong, ramai jadinya."

"Kita akan liburan keluarga Lana, mana ada liburan keluarga bawa-bawa orang lain."

Lana terkekeh.

"Hei aku serius, sayang. Kau yang bilang mencintaiku kan? Ya sudah manfaatkan waktu yang ada untuk mengembangkan lima persen milikmu itu." Lean mengangkat bahu. "Kita berlibur sekaligus mencari pria itu."

"Jadi ini alasan Mas menolak saran Anggi buat lewat jalur atas saja?"

Lean mengangguk ragu-ragu. "Selain itu juga lebih praktis bawa mobil, kita tidak perlu menyewa mobil nanti di sana, tidak repot jika ingin pindah-pindah tempat."

Lana mantap jalanan, dalam diam. Lean menoleh.

"Kenapa diam?"

"Lagi berpikir Mas," jawab Lana asal.

Lean menyipit. "Berpikir apa?" tanyanya.

"Bagaimana cara meluluhkan hati Mas Lean." Lean terbelalak, dia menoleh sepenuhnya.

*****

Di luar dugaan.

Saat mereka sampai di kediaman Arum Mita, putri Bu Tanjung, rumah besar itu sedang ramai orang Ada bendera kuning tertancap di pintu pagar yang tertutup. Lana dan Lean serempak menelan ludah susah payah, mereka saling pandang. "Sepertinya waktu kita kurang tepat Mas," kata Lana suaranya tercicit.

"Lalu mau gimana? Putar balik?"

"Mau bagaimana lagi Mas." Lana melihat pagar.

Lean terdiam, benar juga. Ikut melihat pagar. Bisa saja mereka masuk sekarang, tapi kurang sopan rasanya berkunjung. "Tapi mau menunggu sampai kapan Lana?"

Lana toleh kanan kiri, "coba Mas tanya bapak-bapak itu!" Dia menunjuk pria tua yang sedang berjalan melewati mobil mereka yang sedang terparkir. "Siapa yang meninggal dan sudah berapa hari." Lana memberi saran.

Lean turun dari mobil, kembali setelah selang lima menit. "Gimana Mas?" Lana langsung menyerang dengan pertanyaan.

"Buruk." Lean mendengus. "Yang meninggal Bu Tanjung, baru kemarin pagi."

Lana membola. "Bu Tanjung meninggal?"

Lean mengangguk ogah-ogahan. "Kemarin, tiba-tiba. Seandainya kita tidak menunda keberangkatan pasti masih sempat bertemu dengan beliau."

Lana terdiam.

"Kita pulang saja, sudah tidak ada harapan lagi." Lean menginjak pedal gas. Mereka putar balik, mencari hotel atau penginapan. "Pecuma datang jauh-jauh ke sini." Lalu dia mendengus.

"Kenapa kita coba datang besok Mas. Siapa tahu Arum Mita itu tahu sesuatu."

"Mustahil..." Lean membantah. "Setahunya dia pasti tidak setahu Bu Tanjung."

Lana membenarkan, tapi dia belum menyerah. "Tidak ada salahnya Mas, lagipula kita sudah jauh-jauh ke sini. Masa kembali hanya dengan tangan kosong."

Mereka benar-benar kembali keesokan harinya. Dengan membawa buah tangan berupa beras, minyak goreng, gula hasil pengetahuan Lana tinggal di kampung dulu. Mereka berjalan pasti, menekan bel rumah. Tidak sampai tiga kali pintu dibuka dari dalam. Wanita berumur sekitar 30 tahunan keluar, wajahnya yang putih bersih terlihat pucat pasi, kedua matanya membengkak—terlihat kacau. Ternyata wanita itu yang bernama Arum Mita putri Bu Tanjung.

Mereka dipersilahkan untuk duduk, Lana sempat meletakkan buah tangan mereka di ujung dekat pintu penghubung antara ruang tamu dengan ruangan yang lain. "Jadi Mas dan Mbaknya ini, salah satu keluarga dari pengadopsi?"

Lana mengangguk, Lean menghela napas. Hatinya meragu sebenarnya. Hal itu ternyata terbaca dengan jelas oleh Arum Mita. "Ada urusan apa ya Mas sebenarnya jauh-jauh dari Semarang berkunjung ke sini? Soalnya saya belum mengabari orang panti mengenai keadaan Mama."

Ragu-ragu Lean menjawab. "Sebenarnya kami sudah datang ke sini kemarin siang Mbak. Tapi rumah ini ramai sekali, saya tanya ke warga sekitar katanya Bu Tanjung meninggal akhirnya kami putar balik."

"Kemarin sanak saudara memang datang berkunjung."

"Mungkin ini terkesan kurang pantas menyampaikan masalah ini sekarang. Tapi kami tidak punya pilihan lain..."

"Tentang apa? Mama punya hutang?" Arum Mita menyela.

Buru-buru Lean membantah. "Bukan Mbak, saya ingin menanyakan tentang anak yang dulu sempat dirawat di Panti Asuhan Kasih. Namanya Rina, dia dirawat lima tahun di sana. Diadopsi di akhir tahun 1999. Apa Mbak Arum tahu?"

"Siapa yang mengadopsinya?"

"Sam dan Indi, mereka orang tua saya."

"Saya tahu, saya mengenalnya," kata Arum Mita antusias.

Lana dan Lean tersenyum lega. Simpul pertama berhasil ditemukan.

To Be Continued

_________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang