PSF| 16. Saksi Mata

393 30 0
                                    

HAPPY READING

***

Sesuai kesepakatan semalam, mereka sudah bersiap-siap sejak pagi buta selepas salat Subuh. Mereka bagi tugas, Lean menyiapkan mobil, Lana dengan dibantu Zean menyiapkan barang bawaan mereka, baju miliknya dan milik Lean dikemas menjadi satu koper. Sedangkan milik Zean berada di tas terpisah. Anak kecil biasanya suka membutuhkan baju ganti dadakan.

Rencana perjalanan itu juga sudah sampai ke telinga Om Danu, Anggi dan Aren. Yang paling heboh tentu saja Anggi. Wanita itu langsung menelpon setelah mendapat pesan singkat Lean. Mengomel dari sabang sampai merauke hingga memekakkan telinga. "Kenapa kau hobi saja membuatku terkejut Lean? Kau berniat membuatku terkena serangan jantung?"

Lean meringis menjauhkan ponselnya dari telinga. "Kenapa tidak mengabari lebih awal?"

"Rencana kami mendadak." Lean menjawab singkat. Dia berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. "Sudah?" dia berniat bertanya pada Lana. Tapi yang menjawab justru Anggi. "Apa maksudmu sudah? Oh Tuhan, betapa malangnya nasibku memiliki sepupu sepertimu."

"Aku bertanya pada istriku bukan padamu." Lana yang sedang membantu Zean menggunakan jaket spontan menoleh. Dia menunjuk satu koper dan satu tas jinjing di depan daun pintu. Sudah rapi dengan celana kulot hitam panjang dan kemeja grey. Rambutnya dicepol asal, tanpa riasan. Untuk Zean, bocah itu hanya mengenakan setelan baju berbahan kaos warna biru. Lean yang sedikit lebih formal, kemeja putih corak hitam lengan panjang yang lengannya digulung hingga bawah siku dan celana bahan panjang warna grey.

Lean mengikuti arah pandang Lana, sebelum dia mengambilnya lebih dulu menutup sambungan teleponnya secara sepihak. Lean berjalan lebih dulu dan diikuti dengan Lana yang menggendong Zean.

"Berapa jam kita sampai di sana Mas?" Lana bertanya, sesekali menoleh kebelakang, Zean duduk nyaman di Set Car Baby. Hanya diam, matanya merem melek melihat luar jendela.

"Kurang lebih tiga jam." Jawab Lean sesuai estimasi google maps.

Lana manggut-manggut.

"Mas, jika seandainya setelah kita menemui Bi Rum tapi tetap tidak menemukan petunjuk apapun gimana?"

"Ya sudah kita jalan-jalan."

Lana tertawa.

"Hei, aku serius. Bi Rum adalah saksi mata sekaligus petunjuk satu-satunya. Aku tidak mau mencari seseorang tanpa alasan yang jelas. Jika dia tidak ketemu ya sudah pupus semuanya." Lean melirik Lana yang masih tertawa. "Lagipula kita hanya punya satu persen dan satu tahun kan? Kenapa tidak kita kembangkan satu persen mu itu. Siapa tahu bisa berkembang, atau justru habis."

"Tapi kita mau pergi jalan-jalan kemana Mas?"

"Kemanapun. Yang penting jalan-jalan."

"Mas menurutmu satu persen ku bisa berkembang tidak?" Lalu Lana buang muka, memandang jalanan, "jika seandainya belum sampai satu tahun dan justru habis dan tidak berkembang apa kita akan berpisah saat itu?"

Lean menoleh sesaat. Kemudian kembali fokus pada jalanan. Dia sebenarnya hanya ingin tahu bagaimana ekspresi istrinya sekarang. "Kita belum mengalaminya, bagaimana bisa tahu." Mobil berbelok, masuk ke jalan toll Banyumanik.

"Aku hanya tanya, seandainya Mas," dengus Lana.

"Tidak perlu berandai-andai. Lebih baik kita jalani saja dulu, biar tahu rasanya. Baru bisa menilai setelahnya."

"Kau payah Mas, tidak bisa di ajak diskusi," Lana menatap Lean kesal. "Lihatlah wajahmu itu seperti kanebo kering. Irit sekali tersenyum."

Bukanya menjawab Lean justru menekan tombol pengatur posisi bangku yang Lana duduki. Perlahan semakin merendah membuat tubuh Lana ikut merebah. "Tidurlah! Kau bangun terlalu pagi untuk mengurusi semuanya tadi. Nanti kubangunkan jika sudah sampai."

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang