PSF | 20. Panti Asuhan Kasih

308 24 0
                                    

HAPPY READING

***

Panti Asuhan Kasih.

Gapura tinggi gagah, berwarna hijau mentereng menjadi pemandangan pertama ketika mereka memasuki kawasan panti asuhan tempat Rina di asuk sewaktu kecil. Halamanya luas, ada puluhan pot-pot aneka macam bunga dan pohon-pohon buah mengiringi jalanan menuju bangunan dua lantai berwarna senada dengan gapuranya.

Lean menoleh ke belakang, tempat dimana Zean dan Lana duduk. Zean sempat rewel tadi, jadi Lana memutuskan untuk menemani. "Mau menunggu di mobil saja?" Lean bertanya.

"Kenapa harus menunggu di mobil Mas?"

"Kau pasti lelah menjaga anak itu. Dia rewel sekali." Lean mendengus kasar sambil menatap Zean jengkel. "Lagipula dia juga tidak tidur. Pasti nanti akan menyusahkanmu."

Lana terkekeh, mengusap rambut Zean yang basah karena berkeringat. "Sebentar lagi pasti tidur Mas, kelelahan menangis dia."

"Setelah ini kita pulang saja ya?"

"Kenapa?"

"Kita butuh istirahat. Kau juga..."

Lana tersenyum lembut, hatinya menghangat.

"Mas lima persen ku masih bisa berkembang kan?" tanya Lana berniat memancing. Dia menatap Lean cermat. Memindai setiap ekspresi yang Lean tunjukkan. Hasilnya pria itu justru lebih memilih membuang muka. Mencengkram setir kemudi kencan-kencang.

Lana terkekeh getir. "Aku hanya menggodamu Mas. Jangan dibawa serius. Jadi kapan kita turun ini?"

"Sebentar... anak itu biar tidur dulu."

Mereka lenggang cukup lama.

"Apa anak itu bisa dibawa berpergian? Aku takut dia justru merepotkan."

"Anakmu ini anak pintar Mas, memang masih belum bebas bertemu dengan banyak orang. Tapi sejauh ini perkembanganya sudah jauh lebih baik. Mas lihat sendiri kan?"

Memang benar adanya, bahkan bocah itu sudah mau banyak bicara.

"Kita hanya perlu sering berhenti, mungkin bisa seperti kemarin Mas. Malamnya kita menginap di penginapan."

"Bagaimana jika dia menangis lagi? Telinga ku pengang mendengarnya."

Lana tersenyum, menempelkan hidungnya di kening Zean. "Namanya bocah Mas, kadang menangis, kadang ketawa. Apalagi waktu lapar atau mengantuk. Moodnya bisa buruk mendadak. Wajar itu-"

"Kau begitu menyayanginya?"

Kening Lana berkerut. Lean mengoreksi. "Anak itu," jelasnya.

"Apa hal semacam itu masih perlu ditanya? Sedangkan Mas bisa lihat sendiri?"

Lean bungkam lagi.

"Aku tahu, Mas Lean juga sama. Bahkan lebih-lebih dariku."

"Sok tahu-" bantah Lean cepat, sedikit membentak.

Lana terkekeh. "Memang tahu. Sesederhana, Mas menikah denganku karena Zean. Lalu walaupun Mas belum mau bertemu tapi Mas memenuhi kebutuhanya, Mas mengawasinya setiap saat, memikirkan hidupnya."

"Darimana kau tahu?"

"Dari Mbak Anggi dan aku bisa melihatnya sendiri." Lana menjawab enteng.

Dia mendengus, dia kalah talak. Lihat saja Lean pasti akan membuat perhitungan pada sepupunya yang bermulut besar itu.

"Tapi aku tidak pernah merawatnya." Imbuh Lean penuh penyesalan. Kepalanya ikut menunduk dalam.

"Dulu hanya masa lalu. Yang terpenting sekarang."

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang