PSF | 18. Ikatan Ibu dan Anak

340 24 0
                                    

HAPPY READING

***

Kembali ke ruang tamu rumah Bi Rum.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya Mas Lean." ujar Bi Rum penuh sesal, bulir bening sudah membanjiri kedua pipinya. Begitupun Lana. Sejak tadi dia berusaha mengontrol tangisnya, memberi kekuatan pada Lean lewat genggaman tangan. Tangan pria itu sudah sedingin es, wajahnya kaku dan terus diam.

"Apa yang terjadi dengan Mbak Rina Mas? Kenapa Mbak Rina juga bisa meninggal di hari yang sama?" tanya Bi Rum penasaran.

Lana mengusap pipinya yang basah, lalu melirik Lean. Lean sepertinya tidak ingin menjawab. "Mbak Rina meninggal karena melahirkan Bi, mengalami pendarahan hebat," jawab Lana.

Bi Rum terbelalak. Dia kaget tentu saja, meski tidak seperti tadi ketika tahu Rina meninggal di hari yang sama. "Saya turut berduka cita Mas Lean." Dia bisa merasakan merasakan juga betapa hancurnya Lean saat itu. Terlebih setahunya, Lean memang begitu menyayangi dan mencintai Rina. Pasti tidak mudah.

Lean hanya mengangguk sekali, ekspresinya masih sama.

"Saya benar-benar tidak tahu Mas, jika saja saya tahu saya-" Bi Rum menghela napas, tidak jadi melanjutkan ucapannya. Dia juga tidak yakin akan melakukanya.

"Tidak apa Bi-" Lana tersenyum simpul pada Bi Rum. "Bibi pasti syok waktu itu."

Bi Rum mengangguk membenarkan. "Saya sampai depresi selama satu tahun Mbak Lana. Ini terlalu menyakitkan untuk saya."

Lana tidak heran, sangat wajar. Jika itu Lana entah apa yang akan terjadi padanya.

"Pak Danu banyak membantu dalam proses penyembuhan saya Mbak Lana. Memberikan kursi roda ini," Bi Rum memegang pegangan kursi roda. Lalu pada alat berwarna hitam seperti Earphone yang menempel di telinganya. "dan juga alat bantu dengar ini."

Sebagai sahabat mendiang, dia mewakili Lean untuk menebus kesalahan. Walaupun sebenarnya ini murni kecelakaan bukan disengaja. Tapi itu bentuk dari tanggung jawab.

"Bibi tahu siapa yang menelpon Rina hari itu?" Akhirnya Lean angkat bicara.

Bi Rum menggeleng. Dia tidak tahu, dia bahkan tidak bisa mendengar suara seseorang yang Rina telpon.

Lean bungkam lagi. Otaknya penuh dengan banyak hal. Mereka pamit tak lama dari itu dengan semua pertanyaan yang bertumpu di otak keduanya.

*****

Lean seperti diserang kebisuan, banyak melamun. Lana juga tidak berani menegur, hanya minta berhenti di penginapan terdekat. Itu saja dengan mengkambing hitamkan Zean. Takut Zean kelelahan dan lain sebagainya. Padahal saat itu, bocah menggemaskan itu sedang berceloteh riang di bangku belakang kemudi memainkan robot mainannya di Set Car Baby. Semua karena dia mengkhawatirkan suaminya dan keselamatan mereka.

"Astagfirullah!" Lana lari terbirit-birit naik ke atas kasur. "MAS ADA KECOA," Lana berteriak.

Zean kaget lalu menangis kencang. Lean pun sama dia langsung duduk menatap arah pandan Lana. Seekor kecoa sedang berputar-putar, tubuhnya terbaik. Lean sebenarnya tidak tidur sejak tadi. Tapi mendengar teriakan Lana yang memekakkan telinga, jelas dia kaget.

"Kau apakah kecoa itu tadi?"

Lana menoleh, menatap Lean sejurus kemudian merangkak, mendekati Zean yang sudah duduk bersila, menangis di sebelah Lean. Bocah itu baru terlelap. "Mana kutahu Mas. Tadi dia menjalar di kakiku."

"Biarkan saja, nanti juga mati sendiri," ujar Lean santai.

Lana berteriak lantang-menolak mentah-mentah. "MANA BISA BEGITU-tolong buang Mas!"

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang