PSF | 25. Kembali Suram

312 23 0
                                    

HAPPY READING

***

Kembali ke rumah duka.

"Saya tidak tahu pasti apa di hari minggu itu mereka akhirnya bertemu atau tidak. Hari itu saya ada urusan ke luar kota dengan keluarga dan sejak saat itu saya juga sudah jarang berkunjung ke panti."

Lean menghela napas.

"Tapi dari cerita Mama, setiap hari minggu Zean tetap rutin berkunjung meski Rina sudah jarang datang."

"Apa sekarangpun masih Mbak?" Lana bertanya.

Arum lenggang dua detik. "Dua tahun terakhir tidak. Walaupun saya jauh di sini tapi saya cukup memantau donatur panti. Karena Zean salah satu donatur tetap menggantikan ibunya."

Lana melirik Lean yang sedang mengusap wajah. Wajahnya suram. Dua tahun terakhir, berarti bertepatan dengan meninggalnya Rina. Mungkinkah ada kaitanya, itu pikir keduanya. "Mbak Arum tahu alasanya apa?"

"Tidak Mas, saya tidak terlalu dekat dengannya. Saya juga di sini. Mana mungkin tahu." Lalu dia terkekeh kecil.

Lean menghela napas lagi. Dia menatap Lana—mereka saling pandang cukup lama.

"Untuk alamat rumah Zean, apa Mbak Arum tahu?" Lean bertanya.

"Almarhumah Rina, meminta Mas Lean untuk mencari keberadaan Zean Mbak—sebagai wasiat." Lana menimpali, dia menjelaskan. Buru-buru Arum menjawab, "tentu saja, sebentar saya carikan." Lalu dia bangkit berdiri meninggalkan Lana dan Lean.

"Sabar Mas, semoga ada petunjuk lain," kata Lana menenangkan.

"Aku justru merasa pencarian kita buntu," jawab Lean.

Selang lima menit Arum keluar dengan membawa dua gelas teh dan setoples biskuit. Meletakkan di atas meja, di hadapan Lana dan Lean. "Maaf ya Mbak, Mas. Sampai lupa menyuguhkan minum. Bahkan saya sampai belum tanya nama Mbak dan Mas-Nya." Ujar Arum.

"Tidak apa-apa Mbak." Lana tersenyum simpul, memaklumi. "Saya Lana, suami saya ini namanya Lean," lalu menunjuk Lean yang ada di sisinya dengan ibu jarinya.

Arum mengangguk. Dia merogoh saku baju gamisnya, menyodorkan selembar kertas kecil yang disobek asal pada Lean. "Ini alamat rumah Zean yang tertera di biodata donatur Mas Lean."

Lean menerimanya, mengeja pelan. "Jl, Menoreh Tengah No, 12111. Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang." Dia melipatnya dan dimasukkan dalam saku celana.

"Semoga saja Zean masih tinggal di sana." Itu juga yang Lean dan Lana harapkan. "Silahkan di sambi teh nya Mas Lean mbak Lana," lanjut Arum.

*****

Buntu. Walaupun mendapat alamat rumah Zean tapi sejauh ini perkembanganya tidak banyak. Hanya sekitar dua persen. Lean merasa menyesal sudah jauh-jauh datang ke provinsi Lampung hanya untuk sebuah alamat. Yang benar saja.

Lean memukul setir kemudi kencang-kencang. "SIALAN!" Umpatnya keras.

Lana yang sedang memposisikan duduk Zean di Car set baby spontan menoleh. Lalu buru-buru pindah ke bangku depan sebelah kemudi. "Mas tidak baik mengumpat seperti itu, tidak sopan!" kata Lana memperingati.

"Yang benar saja, kita jauh-jauh ke sini hanya mendapat alamat yang belum pasti kebenaranya. Bagaimana jika orang itu sudah pindah rumah?"

Lana menghela napas. "Kita belum ke sana Mas, bagaimana kita bisa tahu," dia tahu apa yang suaminya khawatirkan. "Lagi pula kita datang ke sini untuk liburan keluarga seperti kata Mas kan?"

"Ya sudah kita hentikan saja pencarian tidak berguna ini." Lean mendengus, "buang-buang waktu."

"Kenapa harus menyerah Mas? Bahkan kita baru memulai kan?"

"Kau lihat sendiri, sejauh ini kita mencari petunjuk tapi hanya sebatas ini hasilnya."

"Mas, kau tidak sedang bercanda bukan?" Lana bertanya. "Sejauh ini semua tidak sia-sia Mas. Pertanyaan Mas soal kematian orang tua Mas juga sudah terjawab, hanya tentang Zean yang belum terbongkar tapi kita baru saja mulai."

"Sejak awal aku ragu mencari tahu tentang orang itu—tidak penting." Lean menghela napas, emosinya sedikit menyurut "lagi pula wanita yang kucintai ternyata mengkhianatiku."

Lana bisa melihat kekecewaan terpancar di wajah Lean ketika mengatakan nya.

"Mas karena itu kita harus mencari Zean. Kita harus mencari tahu kebenaranya. Lagi pula aku yakin Mbak Rina tidak sejahat itu."

"Atas dasar apa kau bisa seyakin itu?"

Lana mengangkat kedua pundaknya. "Entah, aku yakin saja Mbak Rina orang baik. Apapun kesalahan yang diperbuat menurut pandangan kita. Pasti dia punya alasan."

"SOK TAHU!" Bentak Lean, "kau bahkan belum pernah menemuinya." Lalu dia terkekeh-mengejek. "Tidak usah sok tahu jika memang tidak tahu!"

Lana kaget-spontan menoleh dan menatap Lean. Tapi dia tak membantah, Lean pun tidak kembali angkat bicara bahkan pria itu lebih memilih menjalankan mobilnya tanpa memandang Lana sedikitpun.

Jelas itu melukai hati Lana. Istri mana yang tidak terluka dibentak dan dikatain seperti itu.

Mereka berjalan cukup lama, kurang lebih dua puluh menit akhirnya Lana memberanikan diri untuk angkat bicara. "Maaf!" celetuk Lana tiba-tiba. Menunduk dengan wajahnya murung.

Spontan Lean menoleh, matanya menyipit.

Lana bisa melihat dari ekor matanya, tapi enggan membalas-dia tidak sanggup. "Maaf aku lancang ikut campur urusan Mas Lean dan istrimu," katanya menjelaskan. "Mas benar. Aku memang sok tahu. Tidak seharusnya aku ikut campur, mau bagaimanapun aku tidak mengenal kalian. Mbak Rina atau Mas Lean baik yang dulu atau yang sekarang."

Lean ingin menjawab, tapi lebih dulu Lana membuang muka, menyandarkan kepalanya di sandaran bangku penumpang, matanya terpejam dan Lean hanya bisa menghela napas—dia menyesal.

*****

Mereka pergi ke Kabupaten Tulang Bawang lebih tepatnya tempat pertambakan udang terbesar di Indonesia-Bumi Dipasena. Mereka berhenti di pasar Rawajitu. Lean turun, bercakap dengan seorang pria seumuran Danu setelah itu balik kanan kembali ke mobil. Di sana Lana masih dengan posisi yang sama, padahal mereka sudah menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan.

"Sayang bangun! Kita sudah sampai," panggil Lean lembut, suaranya mendayu-dayu setelah membuka pintu mobil sebelah Lana.

Lana belum bergerak, tapi dalam hati menyumpah serapahi Lean. "CUIH! KAU MERASA BERSALAH SEKARANG LEAN RICARDO?" katanya.

"Lana..." Lean memanggil, tapi belum bertindak. "Aku tahu, kau tidak tidur. Bangunlah! Kita harus turun pindah mobil. Mobil kita akan di titipkan di sini."

Cepat-cepat Lana membuka mata-menatap Lana tajam.

"Marahlah sesuka hatimu, tapi bersikaplah selayaknya tidak terjadi apapun di antara kita di depan keluarga Mama nanti."

Lana mendengus masam, membuang muka sekilas. "Pernikahan ini sungguh palsu," celetuk Lana.

Lean menghela napas. "Cepat turun!"

"Aku mau turun asal Mas mau menggendong Zean. Aku lelah!"

Lean terbelalak.

"Ya atau kita tidak usah ke sana." Lana mengancam.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya Lana." Lean membantah.

"Tapi aku lelah Mas, anakmu itu sudah besar. Di mobil itu nanti dia pasti tidak akan mau duduk sendiri."

"Oke aku yang menggendongnya. Kau puas?"

Lana mengangguk, sambil menahan tawa. Dengan dibantu Lean dia turun. Lean benar-benar menepati ucapanya, menggendong Zean dengan tubuh kaku, dan Zean pun menegang dalam gendongan Lean.

Demi Tuhan, Lana ingin terbahak melihatnya.

To Be Continued

__________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang