PSF | 33. Lean Si Budak Cinta

506 24 0
                                    

HAPPY READING

***

Semua kembali seperti sedia kala, Lean bekerja di Apotek miliknya, Lana juga pergi ke tempat penitipan anak seperti dulu. Yang membedakan meski dia datang ke sana tapi sekarang sebagai pemilik bukan lagi pegawai. Dia menggantikan posisi Anggi sebagai manajer (yang mengelola) tempat penitipan anak Hanania.

Anggi super duper sibuk setelah dipasrahi mengurus soal pengobatan Zean besar. Aren menyerahkan tugas itu pada Anggi karena memang sesuai jalurnya, Anggi yang lebih tahu dan berhak mengingat profesinya sebagai Psikolog.

Seperti dua hari sebelumnya, Lana akan di antar Lean dan di jemput di jam 11 siang. Karena memang itu batasan waktu kerja yang Lean izinkan. Sampai-sampai mendapat ledekan maut dari Aren, "suaminya posesif ya mbak Lana?" katanya, sambil menarik sebelah sudut bibirnya—senyum smirk. Menggoda Lean yang justru acuh tak acuh.

"Nanti kalau Mas belum jemput jangan pulang sendiri ya sayang? Tunggu Mas dulu!"

Lana menyalami Lean, disusul Zean yang berada di gendongan Lana. Keduanya mendapat kecupan di kening masing-masing dari Lean. "Memang Mas mau lama di Rumah Sakit?"

"Zean, menurut dengan Mama Oke! Tugas Zean apa ketika Daddy tidak ada?" Lean justru bertanya pada Zean dan mengabaikan pertanyaan Lana.

"Jaga Mama." Zean menjawab.

"Good boy, anak Daddy," lalu baru dia menatap Lana, "belum tahu. Tergantung Om Danu ingin bicara apa. Mungkin mendesak suruh Mas ambil alih Rumah Sakit."

Lana mengangguk-angguk. Lean sudah cerita soal yang satu itu, sejak mereka memutuskan untuk tetap bersama, tidak ada lagi yang ditutupi termasuk Lana jadi tahu seberapa kaya rayanya suaminya itu. Lana tahu Lean kaya, tapi dia pikir hanya sebatas punya Apotek tidak sampai punya Rumah Sakit. Tapi ketika Lana tanya lebih jauh Lean akan menjawab, "itu punya Papa, Mama dan Om Danu sayang" dengan ogah-ogahan.

"Apapun itu, jangan merasa terbebani ya Mas. Aku selalu dukung apapun keputusan Mas," seru Lana mantap. Ini yang Lean suka dari Lana, selalu menghargai segala sesuatu yang Lean inginkan dan putuskan.

Mereka benar-benar berpisah setelahnya. Benar saja tebakan Lean tidak meleset barang satu persen pun. Baru sampai, belum juga duduk dia sudah diserang dengan pertanyaan, "jadi kapan kau siap menggantikan Om?" dari Om Danu.

Lean memutar bola matanya malas, lebih dulu dia duduk di kursi berseberangan dengan Om Danu, lalu mendengus. "Tidak ada pertanyaan lain kah Om?"

"Om sudah tua Lean, sudah kebelet pensiun. Lagi pula siapa lagi yang akan menggantikan Om jika bukan kau."

"Om masih sehat, belum butuh pensiun," sergah Lean.

Om Danu bersedekap, memandang Lean tidak suka. "Walaupun Om sehat tapi bukan berarti Om tidak butuh istirahat anak durhaka," lalu dia menyilangkan kedua kakinya, "jadi kapan?"

Lean enggan menjawab. Om Danu kembali bersuara. "Mau tidak mau, siap tidak siap, cepat atau lambat kau juga tahu. Pasti akan menggantikan posisi ini. Tidak ada yang bisa mewarisi selain kau. Ada derai air mata, keringat dan harga diri yang tercurah hingga Rumah Sakit ini bisa berdiri Lean." Om Danu menghela napas, tautan tangan nya terlepas dan mantap Lean dalam. "Kau juga merasakannya kan? Jika harga diri seorang pria itu segalanya?" Om Danu bertanya, tapi Lean tidak merespon. Dia diam saja, tahu jika Om Danu tidak butuh jawaban untuk pertanyaan itu.

"Dia datang pada Oma dan Oppa mu, padahal sudah mengatakan ingin hidup mandiri, tanpa bantuan sepeserpun dari orang tua. Lalu tahu-tahu datang lalu meminta bantuan "menjilat ludahnya sendiri" dan mengatakan ingin mendirikan Rumah Sakit sendiri hanya karena rasa bersalahnya atas meninggalnya Tiara. Padahal dia tahu itu takdir. Papa mu merasa bersalah karena tidak bisa memberikan perawatan terbaik untuk Tiara."

"Aku belum tertarik Om, penghasilan Apotek masih cukup mampu untuk menghidupi istri dan anakku." Lean masih mengelak, "lagi pula Om juga punya aset di rumah sakit ini Om lebih ber-hak atas posisi ini dibandingkan aku."

Om Danu mendengus, lalu dia terkekeh meledek. "Kau pikir semua yang Om miliki juga akan lari kemana Lean?" Lean diam saja, meski tahu jawabanya tapi dia tetap enggan menjawab—tidak sopan mendahului. "Lari padamu juga. Om anak tunggal, orang tua Om juga anak tunggal. Hanya ada saudara jauh dari kakek buyut. Tapi Om tidak tahu dimana-tidak kenal dan tidak percaya. Om tidak punya keturunan, tidak ada pasangan. Selesai sudah bukan?"

Lean masih lenggang, bibirnya kelu. Om Danu menghela napas. "Disamping itu, sejak awal semua ini memang milik Papamu nak. Om memang turut andil, tapi yang Om miliki hanya 20% sisanya milik Papa mu. Ada kerja keras Papa dan Mama mu yang tercurahkan di sini. Dari yang awalnya Rumah Sakit umum biasa menjadi Rumah Sakit Khusus Jiwa."

"Aku masih belum mengerti Om, kenapa harus Rumah Sakit Jiwa jika Tiara alasanya." Lean sempat protes dulu—kenapa bukan Rumah Sakit Khusus Kanker saja. Tapi protes Lean tidak diindahi oleh Sam dan Indi. Mereka kompak tutup mulut dan telinga.

Om Danu manggut-manggut. Mereka lenggang satu menit.

"Untuk menyelamatkan semua orang," jawab Om Danu sekenanya.

Lean menyipitkan matanya-tidak paham. "Meninggalnya Tiara mengguncang hati semua orang. Om tidak mengenal Papa mu pada awalnya. Tapi Om tahu bagaimana terpuruknya Indi kala itu dan ternyata kau lebih terpuruk dari mereka. Mereka pikir jiwamu terganggu. Itu kenapa ketika ingin mendirikan Rumah Sakit, justru Rumah Sakit Jiwa yang terbesit di otak mereka untuk dijadikan target. Mereka ingin menyelamatkan satu-satunya anak yang tersisa melalui rasa bersalahnya akan Tiara. Yaitu kau Lean..."

Lean mematung, matanya berkedip-kedip.

"Tapi tidak apa, semua itu sudah selesai sekarang," Om Danu melanjutkan. Lalu mereka lenggang cukup lama. Larut dalam pikiran masing-masing sampai akhirnya Om Danu menemukan jalan tengah. "Begini saja, Om terima jika memang kau menolak posisi ini karena belum siap. Tidak masalah. Tapi... Om mintamu kembali bekerja di Rumah Sakit, bagaimana?"

Lean masih bungkam, sampai Om Danu kembali menyela dan sedikit mendesak. "Bekerja di sini tapi bukan sebagai pegawai bisa. Tapi di bawah kepemimpinan Om langsung. Bagaimana?"

"DEAL!" Lean menjawab mantap. Dia bangkit berdiri lalu mengulurkan tanganya. Om Danu ikut berdiri, menerimanya sebagai peresmian keputusan akhir. "Tapi beri aku waktu satu bulan. Bulan depan baru bekerja. Deal?" Lean bernegosiasi, niatnya dia ingin menghabiskan waktu di rumah dengan istri dan anaknya sebagai bulan madu—agar terlihat seperti pasangan normal "katanya".

"Apa kau benar-benar sudah menjadi Budak Cinta sekarang Lean Ricardo?" Om Danu bertanya.

Lean memutar bola matanya malas, pasti ini ulah Anggi. "Apa Om sekarang terserang virus berlebihan dan suka mengada-ada Anggi?" dia justru bertanya balik.

Om Danu terkekeh, dia mengangguk-angguk. "OKE DEAL!" katanya mantap. Perjanjian resmi di ikrarkan.

To Be Continued

___________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang