PSF | 27. Buntu

304 24 0
                                    

Lean menceritakan segalanya pada Pakde Sugi dan Bude Suni, dua wanita tua itu tercengang tentu saja. Bude Suni hingga meneteskan air mata. Tidak kuat mendengar cerita menyedihkan itu.

"Kalian memang harus mencari tahu semuanya demi kebenaran. Meskipun masa lalu memang akan tetap menjadi masa lalu tapi jika terkubur dengan semua teka-teki yang ada mau melangkah nantinya pasti juga berat rasanya. Semua bayang-bayang harus dilepaskan agar tidak menghalangi langkah." Bude Suni memberi saran, sambil mengusap kedua matanya dengan ujung kaos yang digunakan.

Lana dan Lean serempak mengangguk.

"Lalu sudah sampai sejauh mana pencarian kalian?" Pakde Sugi bertanya.

"Tidak membuahkan hasil Pakde."

Pakde Sugi mengangguk-angguk. "Lean juga sudah meminta Aren teman Lean di sana untuk mengecek alamat rumah pria itu. Tapi ternyata dia sudah pindah dari lama," jawab Lean putus asa.

Bukan hanya Pakde Sugi dan Bude Suni, tapi Lana juga. Gadis itu sudah menatap Lean nyalang. Lean tidak mengatakan apapun padanya tadi, bahkan tidak tahu jika Lean menghubungi Aren.

"Tetangganya juga tidak ada yang tahu kemana pria itu pindah. Karena tahu-tahu sudah ada plang rumah dijual."

"Alamat rumah keluarganya?"

Lean menggeleng. "Rumah itu baru ditinggali pria itu sekitaran empat tahun. Mereka tidak tahu menahu. Katanya pria itu juga jarang bersosialisasi dengan tetangga sekitar karena sibuk kerja."

"Dimana dia kerja Mas?" Lana menyela.

"Dia jadi dosen di Universitas Azza Sarima."

"AKU PUNYA KENALAN DOSEN DI SANA MAS!" Lana menjawab semangat, "anak asuhku ada yang orang tuanya kerja di sana."

Seperti mendapat pencerahan, wajah Lean mendadak sumringah. "Kau punya nomor teleponnya?"

Lana mengangguk cepat. "Ada!" buru-buru Lana mengambil ponselnya dalam tas jinjingnya. Lalu memberikan ponselnya pada Lean. "Ini Mas!" sudah ada nomor ponsel atas nama Diana Mama Tio.

"Alhamdulillah!" seru Bude Suni ikut lega. "Nanti saja menghubunginya! Mandi-mandi dulu, Salat Magrib!" timpal Pakde Sugi. Hari memang semakin petang, sudah pukul lima lewat tiga puluh menit. Zean juga belum dimandikan. Bocah itu sedang diajak berkeliling tambak oleh Ridwan.

*****

Dan mereka menelpon salah satu wali dari anak asuhnya itu pukul tujuh malam.

Setelah berbasa basi menanyakan kabar Tio, Lana langsung bertanya ke intinya. Apa Diana mengenal Zean. Bahkan berteman dekat. "Aku cukup dekat dengan Pak Zean, tapi setelah dia berhenti mengajar tiba-tiba karena urusan pribadi. Kami menghubungi beliau sudah tidak pernah bisa, nomor teleponnya juga sudah tidak aktif."

Secercah cahaya yang sempat timbul kembali kuncup. Volume ponselnya yang dia disetel loudspeaker terdengar di seluruh penjuru rumah panggung mungil ini. Serempak pundak Lean, Pakde Sugi dan Bude Suni melorot.

Ridwan yang mulai bisa memahami spontan menoleh, menatap ponsel yang diletakkan di tengah-tengah di antara keempat orang dewasa. Hanya Zean kecil yang terlihat tetap gembira memainkan umang-umang. Hewan setengah siput namun setengahnya lagi kepiting, yang seumur hidupnya hanya bisa mengambil cangkang milik hewan lain untuk dia jadikan rumah.

"Tidak ada teman-teman Mbak Diana yang masih berhubungan dengannya Mbak?"

"Tidak, jika bisa kami tidak akan serepot itu kala itu. Pak Zean meninggalkan mahasiswa skripsian cukup banyak. Tugas mengajar empat mata kuliah juga."

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang