PSF | 32. Final

554 34 0
                                        

HAPPY READING

***

Lelah, tapi lega dan membahagiakan. Bukan hanya untuk Lean tapi juga Lana.

Pada penghujung senja, Lean membawa Lean ke rumah mengenaskan milik pria itu. BIMSALABIM! Bukan sulap bukan sihir rumah ini justru seperti hunian yang menjadi idaman semua wanita. Nyaman, indah, dan memanjakan mata. Rumah itu sudah lengkap dengan perabot, semua barang-barangnya juga sudah tersusun di tempat semestinya.

Lana menganga, andai saja Lean tidak menyadarkan mungkin sudah ada serangga yang masuk ke dalam mulutnya.

"Mas kapan Mas merenovasi semua ini?"

"Masuklah! Kita bicara di dalam. Ada yang ingin aku bahas denganmu."

Lana menyipit, tapi dia tetap menurut. Masuk sambil memperhatikan sekitar. Ruang tamu ini identik dengan warna putih dan cream begitupun ruangan yang lain.

Lean duduk di sofa berseberangan dengan Lana. Dia menatap Lana dalam, menautkan kedua tangan, posisi tubuhnya sedikit dicondongkan dengan kedua tangan sebagai tumpuan. "Mulai hari ini dan selamanya kita akan tinggal di sini."

Lana mengernyit, "selamanya?"

"Aku ingin memulai semuanya denganmu dari awal," Lean lalu mendengus, sedikit lega, "tentang pernikahan kita."

"Mas sudah mencintaiku?"

"Kurasa."

"Kurasa?" Lana mengulang.

"Aku tidak tahu perasaan ini bagaimana sebenarnya. Setelah mengetahui Rina ternyata mencintai orang lain dan hanya menyayangiku. Aku juga jadi meragukan perasaanku padanya juga."

"Apa perasaan yang Mas miliki padaku sama dengan yang Mas rasakan pada Mbak Rina?" Lean menggeleng. "Berarti Mas tidak mencintaiku." Komentar Lana sepihak.

"Tapi aku tidak ingin kehilanganmu."

"Apa Mas juga takut kehilangan Mbak Rina dulu?"

Lean mengangguk meski ragu-ragu.

"Mas tahu apa rencanaku kemarin setelah semua ini selesai?" Lana menatap Lean dalam, dia memberi jeda pada ucapanya. "Aku ingin mengakhiri semuanya setelah semuanya selesai Mas. Kita harus menghentikan sesuatu yang menyakiti hati kan?"

"Kau tidak bahagia hidup denganku?"

"BAHAGIA!" Bantah Lana cepat. Lean menimpali, "aku juga bahagia hidup denganmu dan tidak ingin kehilanganmu."

"Tapi Mas tidak mencintaiku."

"Aku tidak mengatakan jika tidak mencintaimu, aku hanya tidak tahu dengan perasaanku sendiri. Yang terbesit di otakku bahkan sebelum kita berangkat ke Lampung hanya merenovasi rumah ini untuk kita tinggali bertiga, entah untuk apa. Jika takut kehilangan, merasa nyaman dan khawatir berlebihan sewaktu melihatmu mabuk laut kemarin itu masuk dalam ciri-ciri orang jatuh cinta mungkin aku memang sudah jatuh cinta.

Lana semua itu terlalu membingungkan untukku, aku tidak pernah dekat dengan wanita selain dirimu, Rina dan Anggi. Menurutku dulu aku begitu mencintai Rina, tapi setelah mengetahui cinta di antara Rina dan Zean, aku jadi meragukan sendiri perasaanku. Karena Rina mengatakan dia menyayangiku di saat aku mengira dia mencintaiku. Dia begitu bahagia ketika bersamaku sampai aku tidak sadar jika cintanya ternyata untuk pria lain."

Lana kelu, Lean terlihat jujur dari sorot matanya.

"Lana maukah kau menua bersamaku? Membesarkan Zean dan anak kita bersama? Aku tahu aku bukan pria yang baik aku juga tidak sempurna. Terlalu banyak kekurangan yang kumiliki. Tapi aku serius ketika mengatakan ingin memulai segalanya denganmu. Melihatmu yang begitu menyayangi Zean sejak awal tanpa pamrih. Aku merasa kamu juga akan mencintaiku, Zean dan anak-anak kita dengan segenap jiwaku. Aku tidak ingin menyesal dan merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia karena menyia-nyiakan wanita sesempurna dirimu." Lean berkata sungguh-sungguh. Dia tidak hanya sekedar bergurau tapi mengatakan tulus dari dalam hatinya yang terdalam.

"Aku tidak tahu apa aku bisa menjadi istri yang baik untukmu atau tidak. Tapi satu persen milikmu memang sudah berubah menjadi seratus persen sejak lama. Aku—" Lana terisak, ia tidak bisa membendung air mata bahagianya.

"Mendekatlah!" titah Lean, meminta Lana mendekat padanya. Lana tentu saja menuruti, sesampainya ia di hadapan Lean, pria itu langsung menarik tangan nya cukup keras hingga Lana terduduk di atas pangkuannya. "Kita bisa belajar bersama," kata Lean meyakinkan.

Lana mengangguk, menikmati lembutnya jemari Lean yang menyentuh permukaan kulit wajahnya—menghapus air matanya.

"Aku tidak suka melihat wanita ku menangis."

Lana semakin terisak, tapi juga tersenyum. "Aku menangis bahagia Mas."

Lean terkekeh. "Gimana? Mau tidak?"

"Jawab sayang, Mas butuh jawaban bukan hanya anggukan!" pinta Lean menuntut, ketika Lana hanya mengangguk. Pipinya sudah bersemu malu.

"Iya Lana mau."

"Good girl, wanitaku harus tegas begitu," jawab Lean dengan binar bahagia. Sesekali dia juga menarik pipi Lana karena gemas. Membuat Lana mengaduh kesakitan sambil mengerucutkan bibirnya karena terlalu kencang. "Maaf ya, Mas kekencangan ya cubitnya."

"Mas turunin, aku mau mandiin Zean dulu. Ini sudah sore," kata Lana berniat untuk turun dari pangkuan Lean, tapi naas Lean belum mengizinkan. Pria itu justru memeluk pinggang Lana posesif. "Mas saja yang mandiin Zean. Istri cantik Mas ini harus istirahat. Capek kan pasti?"

"Memangnya Mas bisa?" tanya Lana tidak percaya.

"Memandikanmu saja Mas bisa apalagi Zean yang hanya bocah kecil." Keberanianya sudah bertambah semenjak berani menggendong Zean. Ia yakin pasti bisa melakukan hal lain lagi pada anak itu.

Lana tertawa terbahak, dan mengangguk berulang. Tetap memaksa ingin turun. Sayangnya Lean lebih keras kepala dari Lana, pria itu berdiri, membawa Lana dalam gendongannya. Tentu saja Lana menjerit karena kaget. "MAS TURUN!"

"Aku serius sayang, waktunya istirahat."

"Tapi sudah mau magrib Mas. Aku juga belum mandi," Lana membantah.

Lean merebahkan Lana di atas kasur kamar mereka. Menarik selimut hingga sebatas perut. "Nanti selepas Zean dan Mas selesai mandi kau baru boleh mandi. Sekarang diam saja di sini, jangan tidur!" setelah mengatakan itu pria itu balik kanan, hilang ditelan pintu kamar yang tertutup dari luar. Hanya terdengar suara Zean dan Lean yang entah membicarakan apa, karena suaranya tidak terdengar terlalu jelas karena bertabrakan dengan suara hujan deras yang baru saja membasahi bumi.

"Mas jangan langsung pakaikan Zean piyama tidur. Pakai baju biasa lengan panjang saja. Nanti malam saja, jika sudah ingin tidur baru diganti," ujar Lana nyaris berteriak.

Tak lama dari itu pintu terbuka dari luar, disusul kepala Lean dan Zean yang menyembul di tengah-tengan daun pintu yang dibuka setengahnya. "Apa sayang?" Lean bertanya.

Lana berdecak, dia ingin bangun tapi Lean mencegahnya dengan suara lantang, "JANGAN BANGUN!" sambil melotot, "katakan saja sayang, tapi jangan bangun dari situ."

Lana kembali merebahkan tubuhnya, "Zean pakai baju panjang biasa saja Mas, piyama tidurnya nanti sewaktu mau tidur."

"Baju yang mana?"

"Yang mana saja, asal yang ringan sama panjang. Dingin soalnya."

"Kau kedinginan sayang?" Lean bertanya mulai panik, dia membuka pintu lebar-lebar dan bergegas masuk ke dalam kamar.

Lana melotot, belum terbiasa dengan perubahan Lean yang terlalu mendadak dan berlebihan ini. "Bukan Mas, takutnya nanti Zean kedinginan setelah mandi. Hujan soalnya."

"Kau serius?" tanya Lean, Lana mengangguk mantap.

To Be Continued

___________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang