PSF | 29. Satu Langkah Lagi

301 22 0
                                    

Selasa pagi tepat satu minggu mereka meninggalkan kota Semarang. Pagi itu Lean memutuskan untuk kembali. Tangis haru melepaskan kepergian mereka. Sampai jumpa Lampung. Selamat datang kembali Kota Semarang.

"Loh Mas, kita mau kemana?" Lana bertanya, ketika Lean justru melewati jalan yang bukan seharusnya mereka lewati jika ingin pulang ke rumah.

Lean menoleh sekilas, lalu kembali ke arah depan. Jalanan sedang sepi-sepinya di jam lima subuh. Hanya segelintiran yang melewatinya, mungkin dua jam lagi sudah padat merayap karena jam-jamnya berangkat kerja dan sekolah.

"Kita ke Magelang dulu, kau tidak keberatan kan?"

Lana menyipit. "Ngapain?"

"Kita mengunjungi rumah pria itu," jawab Lean seadanya.

"Mas sudah menemukan rumah Zean besar? Secepat itu? Kapan carinya?" tanya Lana beruntun.

"Bisa satu-satu tanyanya?"

Lana mengatupkan bibirnya, selang dua detik dia terkekeh malu-malu. "Habis aku penasaran Mas."

"Aren yang mencari tahu semuanya. Pakde Sugi kemarin bilang jika Zean asli orang Magelang, rumahnya dekat alun-alun kota Magelang."

"Pakde pernah bertemu dengan Zean besar?" Lana bertanya tidak percaya.

Lean mengangguk sekali. "Empat tahun yang lalu ternyata Pakde pernah bertemu dengan Rina dan pria itu."

"Lalu Kak Aren dapat alamat rumah Zean besar itu dari mana?"

"Entah, katanya sih dari bertanya satu-satu dengan warga sekitar situ."

Lana menganga, lalu dia berdecak keras—tidak percaya. "Aku tidak percaya Mas."

"Akupun... tapi mau bagaimanapun dia mendapatkannya, sisanya aku tidak peduli. Yang terpenting kita mendapatkan alamat rumah pria itu," kata Lean acuh tak acuh.

Lana mengangguk setuju. Mereka lenggang cukup lama, sampai mobil sudah memasuki kawasan Kabupaten Semarang.

"Tapi nanti kita tetap tidak bisa menemui pria itu," ujar Lean tiba-tiba.

Lana yang saat itu sedang menyuapi Zean puding mangga seketika menoleh, menatap Lean penuh tanya.

Lean melirik sekilas. "Pria itu dirawat di Rumah Sakit Jiwa, karena gangguan mental. Aren yang memberi tahu. Jadi nanti kita hanya bisa menemui Ibunya saja."

"Apa semua berkaitan dengan kepergian Mbak Rina Mas?"

Lean mengangguk ragu-ragu. "Dia menghilang dari pandangan semua orang karena terpukul dan merasa bersalah. Sedikit banyak Aren sebenarnya sudah bertanya dengan Ibu pria itu. Tapi dia tetap menyuruhku untuk menemui wanita itu langsung."

"Mereka benar-benar selingkuh Mas?"

Lean menggeleng.

Lana menyipit—tidak paham. Zean lebih dulu menyapa ingin disuapi lagi. "Mama lagi!" katanya.

"Iya sayang, sebentar oke. Dikunyah pelan-pelan!" lalu menyodorkan satu suap puding mangga ke mulut Zean. "Tidak selingkuh atau tidak tahu Mas?" ulang Lana bertanya pada Lean.

Lean menghela napas. "Aren tidak mau bicara jujur. Dia hanya bilang jika fakta yang ada justru lebih rumit dari yang dibayangkan. Jadi dia memintaku untuk datang sendiri dan mendengarkan semuanya penjelasan keluarga pria itu secara gamblang dan jelas."

Lana menghempaskan punggung pada sandaran kursi, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku sudah menduga dari awal sih Mas. Jika semuanya memang tidak akan sesederhana itu. Apalagi terlalu banyak memakan korban."

"Semoga setelah ini semuanya jelas ya Mas." Imbuh Lana.

Lean hanya menjawab dengan helaan napas panjang. Itu juga yang dia harapkan.

*****

Kedatangan Lean ternyata sudah ditunggu oleh Bu Rini, ibu Zean besar. Senyum merekah dan sapaan hangat menyapa mereka ketika baru saja sampai di depan Rumah gedong bertingkat. Ternyata Bu Rini memiliki toko serba ada tepat di samping rumahnya. Pelanggannya juga ramai sekali.

"Nak Lean dan Nak Lana ya?" sapa Bu Rini pertama kali.

Lana membalas dengan senyum tak kalah lebarnya. Lean hanya mengangguk sungkan. "Ibu kira baru akan datang nanti sore, kata Nak Aren Nak Lean dan Nak Lana datang dari Lampung."

"Sayang beri salam pada Ibu!" Titah Lana pada Zean yang berada di gendongan Zean. Buru-buru Bu Rini mengoreksi. "Panggil Nenek, ini anak Rina kan?" tanyanya sambil meraih tangan mungil Zean. Ingin menggendong, tapi terang-terangan Zean menolak.

Lana mengangguk sambil tersenyum canggung. "Mohon Maaf ya Bu, Zean agak susah jika belum kenal."

"Tidak apa-apa, Ibu sudah senang sekali kalian datang. Ayo masuk!" Jawab Bu Rini, balik kanan dia memimpin, Lana dan Lean mengekor. Mereka di arahkan ke ruang tamu. Di sana sudah tersaji beberapa makanan ringan dan juga secangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya wanita tua berbadan gempal benar-benar jujur ketika mengatakan sudah menantikan kedatangan mereka. "Silahkan duduk! Disambi seadanya ya."

Lean hanya mengangguk sekenanya, sedangkan Lana berbasa-basi dengan mengucapkan terimakasih dan tidak perlu repot-repot.

"Dua hari yang lalu Nak Aren datang ke sini, Ibu cukup terkejut kok tiba-tiba ada yang mencari Ze—" lalu dia terkekeh kecil, "Ze memang menghilang tiba-tiba tapi sebelumnya tidak pernah ada yang mencarinya selama dua tahun ini. Jadi Ibu lumayan terkejut."

"Saya sudah mendengar tentang kabar Zean dari Aren Bu, saya turut berduka cita," ujar Lean bersimpati.

Bu Rini mengangguk-angguk. "Sudah takdirnya Nak, ibu sudah ikhlas. Sudah terjadi, jadi ya sudah dijalani saja."

"Kedatangan kalian kemari ingin mendengar kisah yang sebenarnya kan? Sebenar Ibu ambilkan dulu..." Bu Rini segera berlalu dan kembali dengan buku ukuran tebal-tebal dan menyodorkan pada Lean. Sampulnya warna biru navy, ada semacam tali yang mengikatnya agar tertutup rapat "Ini buku harian Ze, dia menulis semua tentang Rina di situ sampai sebelum dia masuk ke rumah sakit." Bu Rini menghela napas sejenak. Wajahnya murung. "Di sana nak Lean akan tahu semuanya."

Lean menerima buku itu, dan menatapnya cukup lama. Dari sini dia akan tahu semuanya. Mereka pamit setelah makan. Bu Rini memaksa, dia mengatakan jika sudah mempersiapkan semuanya dari subuh tadi. Sampai-sampai Bu Rini menggunakan Zean sebagai pancingan agar Lana dan Lean bersedia tinggal lebih lama. "Zean cucu Nenek pasti lapar kan mau makan?" Bu Rini bersimpuh di hadapan Zean yang berdiri di depan tumpukan air mineral kemasan.

Zean mendongak lalu mengangguk, hari sudah siang, wajar jika bocah itu lapar. "Nenek punya ikan goreng sama ayam goreng. Zean mau tidak?"

"Mau upin-ipin," jawab Zean.

Bu Rini mengernyit, lalu menatap Lana—bertanya lewat tatapan.

"Zean suka paha Nenek... dia selalu bilang paha ayam upin-ipin."

Bu Rini terkekeh, lalu mengusap kepala Zean berulang, "ada upin-ipinnya, ayo ke ruang makan kita makan upin-ipin!"

Dengan semangat, Zean langsung bangkit dia jalan lebih dulu, diikuti Bu Rini. Lean dan Lana tentu saja tidak ada pilihan lain selain mengekor. Toh tidak enak juga jika menolak secara keras. Lumayan dapat makam gratis. Mengurangi pengeluaran yang membengkak selama dua bulan ini.

To Be Continued

__________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang