PSF | 5. Naluri Calon Ibu

382 27 0
                                    

HAPPY READING

***

Keesokan harinya, pukul enam lewat dua puluh lima menit. Di balik kacamata hitam yang bertengger di hidung bangir-nya, Anggi mengecek situasi. Dengan membawa Zean bersamanya, dia sudah siap menjalankan misi sesungguhnya. "Sayang kita jemput Mama Zean ya," katanya mencengkram erat pegangan stroller. Bocah itu belum bangun dari tidur malamnya. Anggi sengaja melakukanya agar Zean tidak mereok karena diajak ke luar rumah.

"Huhh, semangat Anggi. Demi hidup negri dan pertiwi, demi kemakmuran bersama," sambungnya meyakinkan diri. Di balik kacamata hitamnya yang sedikit melorot, di depan gerbang setinggi dada, di tempat penitipan anak Hanania dia mengamati sekitar.

Sepi, sunyi, tak ada orang. Di dalam area tempat penitipan anak itu ada gerbang lagi. Menurut informasi dari Aren, itu garbang menuju kontrakan bedeng. Masih satu bagian dengan tempat penitipan anak, tapi tidak hanya pegawai penitipan anak yang tinggal di sana. Lana menjadi salah satu penghuninya.

Anggi lenggang cukup lama, berpikir bagaimana ia akan masuk. Menerobos langsung karena tidak dikunci atau berteriak karena tak ada bel di sana. Dan dia memilih masuk dan berteriak.

"Permisi Miss, Mbak, Mas, Tante, Om, Bapak, Ibu." Teriaknya nyaring. Membuka pintu gerbang dan masuk.

Tak ada tanda-tanda kehidupan, Anggi berteriak lagi. "Hallo, permisi," dia mulai melangkah sambil mendorong stroller. Melihat-lihat sekitar. "Assalamualaikum—"

"Walaikum salam, sebentar." Tak lama dari itu disusul wanita muda yang tergopoh-gopoh mendekati gerbang dalam sambil mengikat rambut asal.

Anggi mengamatinya cermat, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Putih bersih, kurus, rambut lurus hitam sebatas pundak, tingginya kira-kira 160 cm. Sesuai deskripsi Lean. "Wanita itu-"

"Ada yang bisa dibantu Mbak?" sapa Lana, entah sudah sejak kapan dia berdiri di hadapan Anggi. Anggi tidak terlalu memperhatikannya karena sibuk menelisik.

"Ahh itu. Saya mau bertemu Lana."

Kening Lana berkerut, mungkin sedikit bingung karena pagi-pagi begini sudah ada yang mencarinya. Dia hanya pengasuh anak, tidak mungkin sampai ada yang mencari. Apalagi jika dilihat dari penampilanya wanita yang mencari ini mungkin orang berada, pakaian kerja casual, blazer dan celana dasar berwarna cream, kaca mata hitam, rambut tergerai, tas keluaran brand ternama dan ada mobil mewah yang terparkir di depan gerbang. "Ah, perkenalkan saya Anggi. Manajer baru di tempat penitipan ini. Kau sudah menikah?"

"HA?"

Anggi melepas kacamatanya. "Kau Lana kan? Sudah menikah?" tanya Anggi, menyimpan kacamata hitamnya ke dalam tas jinjing.

Meski ragu-ragu Lana mengganggu, lalu setelahnya menggeleng.

Anggi menarik sudut bibirnya, cukup puas. "Sudah punya calon?"

Lana menggeleng lagi.

"Bagus, kalau begitu selamat menjadi kakak iparku," ujarnya lalu menyodorkan tangan kanannya.

Lana mundur satu langkah, menatap tangan Anggi bingung. Anggi melihat itu dan dia menyadari kebodohanya. "Ah, maaf. Aku terlalu bersemangat sepertinya." Dia menarik tangannya lagi.

"Mbak ini-"

"Aku Anggi, orang yang ditunjuk untuk mengelola tempat penitipan anak ini mulai dari hari ini."

"Tempat penitipan ini sudah berhasil terjual?" Lana sedikit cukup terkejut. Seingatnya informasi penjualan baru diumumkan sekitar tiga hari yang lalu. Ini sudah laku saja, cepat sekali.

Anggi berdehem santai. "Kau Lana kan?"

"Ah, iya. Saya Kalana Mbak," katanya mengulurkan tangan kanannya. Anggi menyambut segera, senyum merekah di wajahnya.

Lana menatap pada stroller yang masih tertutup tudungnya.

"Ah, dia keponakanku. Masih tidur. Aku membawanya dalam keadaan seperti ini karena dia akan rewel jika bangun dan bertemu orang. Aku berharap dia tidak bangun segera, karena-" Anggi ingin menjelaskan. Tapi belum juga selesai, Zean lebih dulu menangis. "Aduh bagaimana ini?" Anggi menoleh kanan kiri mengamati sekitar. Dia mulai panik.

Tangis Zean semakin kencang, dan Anggi semakin kebingungan. Alih-alih membuka tudung stroller justru diturunkan semakin tertutup. Masih sibuk mengamati sekitar. Lana melihat itu lebih bingung lagi.

"Apa ada ruangan tertutup? Zean akan semakin takut jika dia tahu berada di luar ruangan."

Lana menyipitkan kedua matanya. Menatap stroller dan Anggi bergantian. Suara Zean yang semakin lama semakin menggelegar membuatnya semakin bingung dan panik. Spontan dia membuka tudung stroller, Anggi melotot. "APA YANG KAU LAKUKAN?" Teriak Anggi nyaring berbarengan dengan itu.

"Hei anak tampan, kenapa menangis?" tanya Lana, membungkuk dan meraih Zean. Suaranya lembut mendayu-dayu. Mengangkat Zean dan membawa ke dalam dekapanya, berdiri menimang-nimang.

Zean masih menangis, tangisnya masih sekencang tadi. "Jangan takut, ada Kakak di sini."

"MAMA!"

"Mama? Mau Mama? Sama Kakak dulu saja ya? Mama lagi beli candy nanti baru kembali." Bujuk Lana sambil menimang-nimang.

Tangis Zean mulai terdengar pelan, bocah itu menelusupkan wajahnya di leher jenjang Lana. Sedangkan Anggi justru menganga.

"Mbak, ayo kita ke kontrakanku dulu." Ajak Lana, berjalan mendahului. Anggi yang belum terlalu sadar hanya membuntuti hingga mereka masuk ke dalam sepetak kamar kontrakan Lana.

"Silahkan duduk mbak!" ujar Lana mempersilahkan setelah menarik kursi riasnya.

Kamar Lana terlampau sederhana, seperti kamar kos murah pada umumnya. Hanya ada kasur, lemari, meja belajar yang dijadikan meja rias dan kursi kayu. Ada rak kecil terbuat dari plastik yang berisi segala macam makanan ringan.

Cat dindingnya putih bersih tak ada tempelan apapun sekalipun itu jam dinding. Ruangan sepetak ini serba biru. Anggi tebak Lana menyukai warna biru. Sampai piyama, seprai hingga tirai jendela yang wanita itu kenakan juga berwarna biru langit.

Meski seakan diam dan menurut, otak Anggi justru tak benar-benar di sana. Dia sejak tadi mengamati interaksi Lana dan Zean. Lana yang begitu sabar menenangkan Zean. Zean yang tangisnya mulai mereda sembari memeluk Lana kencang-kencang. Dia melihat semua dengan jelas dan cermat.

"Sayang turun dulu ya? Kakak mau buat minum dulu buat Tante." Bujuk Lana pada Zean.

Zean tak berkutik yang artinya tidak mau. "Namanya Zean." Anggi memberi tahu.

Lana mengangguk, mengusap punggung Zean pelan. "Kalau tidak mau tidak apa-apa. Zean ikut Kak Lana saja ambil minum buat Tante ya?"

"Tidak perlu repot-repot Lana."

Lana tersenyum simpul. "Tidak repot Mbak."

"Kalau begitu air mineral saja, saya tidak minum manis."

Lana mengangguk. Mengambil sebotol air mineral dan toples berisi biskuit. Meletakkannya di meja rias sisi Anggi, bergantian. "Silahkan dinikmati seadanya Mbak!"

To Be Continued
____________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang