PSF| 14. Kisah Mutiara

336 22 3
                                    

HAPPY REDING

***

“Kau mungkin menganggapku gila, jahat dan sejenisnya. Tak masalah aku tak akan menyangkal itu memang diriku. Tapi jika boleh aku menjelaskan, ada sesuatu yang harus ku ceritakan padamu. Selebihnya akan ku serahkan seutuhnya padamu.”

“Dulu aku memiliki adik perempuan, umur kami hanya berbeda lima tahun. Aku menyayanginya, sangat. Dia cantik dan menggemaskan, pipinya bulat. Aku mendapatkannya setelah menangis beberapa hari dan meminta pada Tuhan karena melihat teman-temanku memiliki adik, mereka juga mengejekku. Kelahiran Tiara begitu dinanti olehku dan Mama Papa. Mama mengidap masalah di tuba falopinya, salah satunya tersumbat karena infeksi. Bisa hamil tapi hanya 50% saja. Karena dia begitu dinanti dan cantik bersinar seperti mutiara Papa memberinya nama Mutiara Keinara.”

“Tapi kami hanya diberi waktu sebentar untuk saling mengasihi. Di umurnya yang kedua tahun. Tiara yang ceria dan mudah tersenyum mendadak menjadi anak yang pendiam dan terlihat tak bersemangat. Dia meninggal di umur dua tahun enam bulan. Aku masih ingat jelas hari itu—“ Lean berhenti sejenak bercerita, dia menatap Zean yang sedang terbaring. Pandanganya terlihat kosong dia mengingat momen beberapa tahun silam.

Saat itu usia Lean masih tujuh tahun, masih kelas satu Sekolah Dasar. Belum terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dia tahu adik kecilnya sedang sakit. Tiara yang semula ceria dan mudah tersenyum, lahap makan, tiba-tiba menjadi lebih banyak diam, tak bersemangat. Makan tidak pernah habis. Badannya juga semakin hari sedikit kurus dan kulitnya menguning. Semakin hari keadaannya semakin memburuk. Tiara jadi demam naik turun, dan muntah-muntah. Sam dan Indi memutuskan memeriksakan Tiara di puskesmas terdekat, tempat Indi bekerja sebagai Tenaga Teknik Kefarmasian honorer.

Indi ambil cuti kerja, sedangkan Sam yang memang bekerja di Apotek tak jauh dari rumah sebagai Apoteker Pendamping memutuskan tetap berangkat, tapi tetep waspada.

Dua hari setelahnya keadaan Tiara mulai membaik, demamnya turun, muntah satu dua, tak separah sehari sebelum dibawa ke puskesmas. Indi memutuskan untuk kembali bekerja, meninggalkan Tiara pada pengasuh sekaligus tetangga samping rumah seperti biasanya.

Tapi naas. Siangnya, keadaan Tiara justru kembali memburuk. Bocah itu demam mendadak dan tinggi sekali sampai 39°C. Muntah terus menerus. Pengasuh yang panik akhirnya memutuskan menjemput Sam dan Indi. Siang itu juga Tiara di larikan ke rumah sakit dengan mengendarai motor butut Sam. “Lean di rumah bude dulu ya, Papa Mama bawa adik berobat dulu.” Itu pesan Sam sebelum meninggalkan Lean.

Lean mengangguk. Memperhatikan Indi yang sedang menggendong Tiara dan berusaha membungkus tubuh Tiara dengan selimut tebal berlapis-lapis. Agar Tiara tidak terkena angin dan membuat keadaanya semakin memburuk. “Kalau Mama Papa belum pulang, nanti sore Lean harus tetap mengaji. Berdoa buat kesembuhan Adik.”

“Apa adik sakit parah Papa?”

Sam berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Lean lalu memegang pundaknya. “Doakan adik baik-baik saja ya?”

Lean mengangguk. Dia pasti melakukanya.

Selang dua menit semua sudah siap. Tiara sudah aman dalam gendongan Indi. Mereka pergi meninggalkan Lean yang hanya mampu menatap nanar di teras rumah.

Sesuai perintah Sam sore harinya Lean mengaji. Setelah shalat Ashar dia tidak langsung beranjak dari tempat Sujud. Dia memilih duduk bersila sambil menadahkan tangan memohon pada Tuhan atas kesembuhan adik tercintanya. "Ya Allah, tolong sembuhkan Adik Tiara. Supaya kita bisa bermain bersama lagi." Lean yang polos dan masih kecil berdoa dan memohon sampai menitikan air mata.

Pulang mengaji dia juga tidak bermain seperti biasanya. Tidak jajan di warung dekat Masjid dan memilih segera pulang. Lari bersemangat, ingin cepat sampai rumah. Dia ingin segera kembali dan melihat adiknya. Tapi Lean yang malang untuk pertama kalinya hatinya patah. Sesampainya di rumah semua sepi dan sunyi, pintu dan jendela di tutup rapat-rapat. Tidak ada kehidupan di dalam. Orang tua dan adiknya belum pulang.

“Adik Tiara harus tidur di rumah sakit malam ini. Jadi Mama sama Papa harus menemani di sana. Lean malam ini tidur di rumah Bude dulu ya sama Mbak Rika. Mau kan?”

“Apa yang terjadi pada Tiara? Tiara sakit apa?” Lana bertanya bersemangat, memotong pembicaraan Lean. 

“Waktu itu Tiara masih divonis Talasemia atau kelainan darah. Dia dirawat di rumah sakit swasta dua minggu terus di rujuk ke rumah sakit khusus darah. Satu bulan dirawat di sana, pulang karena keadaanya membaik tapi baru dua minggu di rumah, drop total dan langsung masuk ICU.” Lean memejamkan matanya sesaat. Dia menarik napas dalam.

Lana menunggu dalam diam. Dadanya berdebar hebat.

“Dihari itu dia divonis Leukimia.” Lanjut Lean menundukkan kepala. Matanya merah.

"Tidak sampai dikemoterapi dan lain sebagainya Tiara sudah meninggal dunia. Aku—“ Lean terisak. 

Lana beranjak, dia berlari berhamburan ke pelukan Lean. Mengusap punggung Lean berulang. 

“Aku bahkan tidak bisa melihatnya di saat-saat terakhir. Umurku belum cukup waktu itu untuk masuk ke rumah sakit dan menjenguknya.” Lean menangis tersedu-sedu. 

Lana mengangguk berulang. Dia bisa merasakan kesakitan itu. Sangat-sangat bisa merasakan.

“Setelah meninggalnya Tiara aku lebih banyak diam dan murung. Mama Papa mungkin kasihan padaku. Satu tahun setelahnya Papa membawa Rina ke rumah. Sejak awal aku jatuh cinta padanya, dia seperti Tiara. Pipinya chubby, matanya juga bulat. Bibirnya tipis. Sangat-sangat mirip dengan Tiara. Umurnya juga hanya berbeda satu tahun dengan Tiara. Aku merasa Tuhan memberi ganti Tiara. Dia langsung menggenggam tanganku sejak awal pertemuan. Memanggil ku Kakak Lean dan mengajakku bermain kelereng yang dia bawa dari panti.” Lean tersenyum mengingat momen kali pertama itu.

“Sejak saat itu aku merasa seperti lahir kembali. Rina periang, lemah lembut melengkapi sikapku yang seperti ini.” Lean tidak mau mendeskripsikan dirinya sendiri seperti apa. 

Lean merebahkan kepalanya di bahu kanan Lana. Posisinya masih sama, Lana masih memeluknya dan mengusap punggungnya. “Aku pikir kematian Tiara itu yang terburuk. Tapi ternyata tidak ada apa-apa dengan kematian Mama Papa dan Rina secara bersamaan.” Lean menghela napas panjang. Berada di pelukan Lana entah mengapa dia menjadi sedikit kuat.

Lean kembali memutuskan untuk bercerita.

Dua tahun silam, terasa masih begitu kental di ingatan Lean. Hari itu Lean sedang mengurus perpanjangan kartu sim A yang sudah masa tenggang. Dia masuk shift malam. Bekerja sebagai Apoteker aktif berpraktek di Rumah Sakit membuat jadwalnya tidak melulu masuk pagi. Kadang siang dan pulang malam.

Hari senin menjelang jam sebelas siang. Matahari sedang terik-teriknya. Lean duduk menunggu di bangku ruang tunggu di kantor SAMSAT. Ponselnya berbunyi. Itu telepon dari nomor telepon Sam, tapi berisi sebuah kabar menyesakkan dada dari pihak kepolisian yang mengatakan jika Sam, Indi dan Bi Rum (ART di rumah Lean) mengalami kecelakaan dua arah dan sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Baru saja panggilan terputus, bahkan belum sempat Lean bernapas, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari nomor tak dikenal. Lean sempat terpaku beberapa saat. Otaknya blank dia tak bisa mencerna apapun. Dia mengangkat panggilan tersebut setelah kedua kalinya panggilan tak terjawab. 

“Halo, Pak Lean. Saya Siti, Ibu Rina ini dilarikan ke rumah sakit. Bu Rina pendarahan Pak—“ Hanya itu yang bisa dia dengar, setelahnya semua seolah berdenging. Ponselnya jatuh, badannya lunglai, beruntung posisinya sedang duduk saat itu. Jika posisinya berdiri mungkin dia sudah tidak akan sanggup menopang berat tubuhnya sendiri.

Selang tiga menit semua kewarasannya beransur memulih. Dengan wajah pucat pasi Lean menoleh kanan kiri, dia juga memungut ponselnya. Hal yang ada di otaknya beragam tapi Sam dan Indi lebih mendominasi. Buru-buru dengan mengendarai mobilnya dia meninggalkan kantor SAMSAT menuju rumah sakit dimana kedua orang tuanya dilarikan. 

To Be Continued

__________

Hayo siapa yang awalnya kesel sama Lean mendadak jadi kasian?

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang