PSF | 12. Rumahku Gambaran Suasana Hatiku

340 25 0
                                    

HAPPY READING

***

Lima belas menit. Lana hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk berkemas. Dengan piyama tidur panjang yang sudah dilapisi jaket rajut, dia keluar sambil menenteng dua tas jinjing (miliknya dan milik Zean). "Mas gimana bawa Zean-nya." Dia bertanya, berdiri di depan pintu yang dibuka sepenuhnya.

Lean menoleh, Sejak tadi dia menunggu sambil bersedekap, bersandar di tiang teras kontrakan. Mengamati hujan yang sedang lebat-lebatnya. "Aku sudah bisa menjadi Lean sekarang?" Lean melangkah mendekati Lana. Menatap Lana dalam.

Lana menyipitkan matanya. Tidak paham.

"Aku-" Lean menepuk dadanya. "Tuan Danau."

"Aku sudah bisa menjadi Lean kan sekarang?"

Lana menganga sesaat. Dia baru sadar jika barusan memanggil Lean dengan sebutan "Mas" bukan "Kau" seperti tadi.

"Sudah bisa?"

Lana mengangguk ragu-ragu. Sudah kepalang tanggung, dia sudah terlanjur memanggil Lean dengan sebutan "Mas" tadi.

"Jadi gimana bawa Zean-nya Mas? Kasihan kalau Zean kehujanan." Lana merengek. Sebenarnya dia ingin mengalihkan pembicaraan.

"Ada payung kan?"

"Ada tapi kecil, tidak cukup kalau buat menampung kita bertiga."

Lean diam sejenak. "Kau bisa memilikinya. Aku bisa begini saja. Hanya dekat, lagipula bajuku sudah basah."

Lana berdecak nyaring. Memberikan dua tas itu pada Lean. "Aku tidak mengkhawatirkanmu." Dia masuk ke dalam kamar lebih dulu. Lean mengikuti.

"Tapi barang-barangku dan Zean. Jika basah, kita pakai apa besok." Lana berbohong, dia sebenarnya mengkhawatirkan Lean juga. Tapi tidak mau terang-terangan mengakui. "Mas ke sini bawa mobil kan? Mas bisa bawa Zean dulu ke mobil baru nanti menjemputku sambil membawa barang."

"Bagaimana jika di balik saja? Kau yang membawa anak itu baru menyusulku." Lean memberi saran lain.

"Maksud Mas, aku yang gendong Zean sambil bawa payung?"

Lean mengangguk.

"Tidak bisa Mas, badanku kecil. Zean sudah besar sekarang, susah jika harus membawa payung juga."

"Tapi aku tidak bisa." Lean menolak. Seumur hidup dia belum pernah menggendong anak-anak. Lagipula dia bukan hanya tidak bisa tapi juga tidak mau. Masih terlalu sulit untuknya untuk berdekatan dengan Zean. Anak itu terlalu mirip dengan ibunya. "Kalau tidak begini saja, kau yang menggendong Zean, aku akan memayungimu."

"Mas hujan-hujanan?"

Lean tidak menjawab, yang artinya ya kita harus melakukannya. "Lagi pula aku sudah hujan-hujanan tadi," katanya berkomentar.

Lana menghela napas panjang, tanpa menyela dia berjalan menghampiri Zean. Mengangkat bocah itu dan membawanya dalam gendongnya. Dengan sigapnya Lean langsung mengambil selimut, menutupi tubuh Zean hingga batas leher.

Lean sungguh-sungguh hanya memayungi Lana dan Zean. Sedangkan dirinya dibiarkan basah kuyup. Setelah memastikan anak dan istrinya aman dan nyaman di dalam mobil, dia mengambil barang-barang, mengunci pintu kontrakan Lana baru kembali ke kursi kemudi.

"Aku tadi tidak sempat mengambil Set Car Baby, kau tidak apa-apa memangku begitu agak lama?" Lean bertanya sambil meletakkan tas dan payung di bangku belakang.

"Apa rumah Mas jauh?"

"Cuma lima menit."

"Lima menit?" Lana terkejut, dia bertanya memastikan.

Lean mengangguk. Jarak rumahnya dari tempat penitipan anak ini memang hanya lima menit jika naik mobil. Tapi jika jalan kaki bisa mungkin lima belas sampai dua puluh menit, tergantung seberapa cepat langkahnya.

"Kau sudah makan kan? Di Rumahku tidak ada makanan. Jika kau belum makan kita bisa pergi membelinya dulu.

Lana menatap Lean dalam. "Bagaimana kau hidup selama ini Mas?"

Lean balik menatap, menyipitkan matanya.

"Bagaimana kau hidup jika di rumah saja tidak ada makanan?" Lana menjelaskan.

"Aku biasa makan di luar."

"Setiap hari?" Lana bertanya.

Lean mengangguk ragu-ragu. Itu memang kenyataanya. Semenjak keluarganya meninggal dia tidak benar-benar bisa makan dan tidur dengan baik. Hanya jika ingat dan terlampau lapar saja.

Mobil benar-benar berhenti setelah lima menit perjalanan. Berhenti tepat di depan Apotek Prada.

"Aku tidak membawa kunci pintu depan, jadi kita lewat Apotek saja." Lean turun lebih dulu, dia memutari mobil, membukakan pintu untuk Lana lalu membantu Lana turun dari mobil.

"Jadi rumah Mas di sini?" Lana menoleh kanan kiri. Melihat sekitar. Dia tahu tempat ini, jika tidak enak badan Lana selalu membeli obat di Apotek ini. "Kenapa aku belum pernah lihat Mas ya sebelumnya?"

Lean tak langsung menjawab. Dia lebih dulu membuka gembok Apotek. Bau obat menusuk hidung mereka seketika. Zean hingga bergerak gelisah beberapa saat. Mungkin tidak nyaman dengan bau ini.

"Masuklah!" Lean memerintah. "Aku jarang di depan, sudah ada satu Apoteker lagi yang menjaga bagian pelayanan. Jika tidak melakukan konsultasi tidak akan bertemu denganku." Dia menjelaskan.

Lana manggut-manggut.

Mereka berjalan beriringan. Melewati ruang tunggu, ruang pelayanan yang dipenuhi etalase-etalase kaca, masuk lagi sampai ke lorong yang menghubungkan antara ruangan Lean, Aren, ruang peracikan, dan ruang obat-obatan dalam, seperti obat keras, narkotika dan psikotropika. Jalan terus dan mentok di pintu penghubung antara Apotek dan rumah Lean. Pintu itu tidak di kunci. Lean membukanya dan masuk lebih dulu.

"Apa dengan Kak Aren juga?" Lana bertanya-tertarik.

Lean menunduk, masih memegang gagang pintu dia menatap Lana nyalang. Tidak suka. "Aren kadang di pelayanan kadang juga konseling, tergantung."

Lana masuk. Matanya mengerjap beberapa kali. Kosong. Bagian belakang rumah Lean benar-benar kosong tak ada isinya sama sekali.

Masuk ke ruang selanjutnya, begitu lagi. Barulah di ruangan ketiga nampak kehidupan. Itupun sebenarnya ruang tamu yang di sulap menjadi ruang serba guna oleh Lean. Ada kasur di sebelah kanan, sebelah kiri dekat pintu ada sofa, ke kiri sedikit dispenser. Di sebelah kasur ada meja kerja yang sudah ada komputer berukuran besar dan lemari pakaian di sana. Selebihnya tidak ada lagi.

"Mas tidur di sini selama ini?" Lana bertanya. Dia masih menelisik ruangan. "Bagaimana bisa manusia hidup seperti ini?"

Demi Tuhan rumah Lean begitu mengenaskan di mata Lana. Ini rumah bukan kontrakan bedeng miliknya yang hanya punya satu petak ruangan. Rumah ini besar, punya banyak ruangan. Tapi Lean justru meletakkanya hanya dalam satu ruangan.

Lean menghiraukan, dia berjalan mendekati kasur. "Letakkan anak itu di sini! Sementara kau dan dia bisa tidur di kasur. Hanya untuk malam ini, besok akan aku pikirkan sisanya. Jika tidak terbiasa tanpa alas, untuk sementara bisa menggunakan selimut sebagai alas."

Lana menghela napas panjang. Mengamati stiap sudut ruangan lalu berhenti pada kasur tanpa seprai dan hanya ada satu bantal saja di sana. "Mas tidur di mana?" Kasur itu tidak terlalu besar. Jika ditiduri mereka bertiga pasti akan sempit.

Lean melirik sofa. "Aku bisa tidur di manapun," katanya. "Lagipula aku tidak akan benar-benar tidur." Sambungnya dalam hati.

Lana tak sempat berkomentar karena selepas itu Lean keluar. Pria itu mengambil tas milik Lana dan Zean yang masih tertinggal di jok mobil belakang.

To Be Continued

_________

Play Second Fiddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang