23

427 38 0
                                    

Icha keluar dari kamarnya dan turun kebawah untuk menemui kedua orang tuanya. Sudah terlihat kalo mereka sedang duduk di sofa ruang tamu. Icha berjalan dengan malas. Karena ia yakin, pasti akan ada keributan nantinya.

"Mau ngapain kesini? Masih inget punya anak?" tanya Icha, dan mereka berdua langsung menengok kebelakang tempat Icha berdiri.

"Kamu kalo ngomong yang sopan! Mamah gak pernah ya ngajarin kamu kaya gitu!" Icha tersenyum miring mendengar jawaban dari Tiara (mamah Icha).

"Emang mamah pernah ngajarin apa? Kayanya gak ada deh!" skak, Tiara sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ucapan Icha berhasil membuat Tiara tutup mulut.

"To the poin, kalian mau apa?" tanya Icha yang sudah menahan amarahnya sejak tadi.

"Kita mau cerai!"

Deg

Tiga kata yang mampu membuat hatinya hancur seketika. Apakah harus dengan perceraian? Icha memang sudah terbiasa sendiri, tapi entah kenapa saat ia mendengar kata itu hatinya terasa hancur.

Tidak kah cukup mereka membuat Icha hancur selama ini. Sekarang Icha semakin merasa tidak ada gunanya hidup didunia ini.

Mata Icha mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga Icha menahan air mata itu agar tidak jatuh, tapi nyatanya tidak bisa. Tetes demu tetes air mata Icha terjatuh.

"Besok sidang perceraian. Jadi sekarang kamu pilih tinggal sama papah atau mamah kamu?" tanya Reynaldi (papah Icha).

Icha tersenyum kecut. "Apa harus ada kata perceraian baru kalian ngajak aku tinggal bareng? Selama ini kalian kemana aja?" air mata Icha kini turun semakin deras.

"Icha sekarang kamu harus pilih mau tinggal sama mamah atau papah kamu?!" tanya Tiara dengan menaikan sedikit nada bicaranya.

Icha menghembuskan nafas perlahan untuk mengontrol emosinya. "Icha gak bisa pilih. Selama ini aku udah terbiasa hidup sendiri tanpa adanya kalian. Ternyata selama ini aku punya orang tua, tapi aku gak ngerasain adanya mereka."

"Apa mamah sama papah pernah mikirin perasaan aku? Kalian ngambil keputusan ini aja aku gak tau kan? Jadi sekarang terserah kalian mau gimana. Intinya aku udah terbiasa sendiri, jadi gak usah ngeribetin aku. Mending sekarang mamah sama papah keluar, karena aku mau sendiri!"

Setelah itu Icha langsung naik keatas dan masuk kedalam kamarnya.

Brak

Icha menutup pintu kamar dengan keras dan mengunci pintunya. Lalu berdiri dibalkon dan menumpahkan semua tangisannya tanpa ada satu orang pun yang tau.

Icha benci semua ini, Icha benci kondisi seperti ini. Tak lama ada yang membuka pintu Icha, dan Icha langsung menghapus air matanya.

"Mbul," panggil Mbok Jum dengan lembut. Icha langsung membalikan badannya dan memperlihatkan senyumannya. Senyuman yang menyakitkan.

"Sini!" Mbok Jum merentangkan tangannya dan Icha langsung berjalan dan memeluk Mbok Jum. Duduk diujung kasur dengan posisi Icha masih memeluk Mbok Jum. Dan Mbok Jum mengelus kepala Icha dengan lembut.

Icha masih terus meneteskan air matanya. "Icha boleh nangis, boleh sedih. Tapi jangan larut dalam kesedihan, gak baik buat diri Icha. Nanti pusing."

Icha masih memeluk Mbok Jum. "Mbok Jum masih mau jagain Icha kan?" Mbok Jum ikut sedih mendengar ucapan Icha. Karena Mbok Jum tau, Icha anak yang kuat, jadi jarang sekali ia menangis. Tapi dapat dipastika disaat Icha menangis, itu adalah titik terendahnya.

"Pasti mbul. Mbok bakalan terus jagain kamu." Icha tersenyum saat Mbok Jum menjawil hidungnya.

"Yaudah, kamu mau maem apa?"

Aisha Aileen NathaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang