"Saudara kamu sama siapa?"
Pertanyaan yang dari dulu Icha hindari. Karena itu akan membuka luka lamanya kembali berdarah. Saat Gio menangakan itu badan Icha terasa sangat lemas dan sedikit bergetar.
"Emm, dia..."
"Ayah, omaygat."
Belum sempat Icha meneruskan ucapannya, Karen sudah menghampiri Gio dengan nafas ngos-ngosan.
"Kenapa?" tanya Gio kepada putrinya.
"Gapapa," jawab Karen lalu duduk disamping Gio.
Gio lanjut menatap Icha. Dan Icha sekarang bingung harus berbicara apa. Seketika mulutnya kaku, ia tak tau kenapa.
"Lanjut Cha!"
"Dia sekarang.."
"AYAAAHH," panggil Charisa dari dapur. Gio yang kaget pun langsung berdiri.
"Ayah ke bunda dulu," pamit Gio. Lalu ia berjalan menghampiri Charisa, dan Karen pun mengikuti dari belakang.
Saat Icha berdiri tangannya langsung ditarik oleh Raka menuju halaman belakang rumah.
"Ikut gua!"
Tanpa bantahan Icha mengikuti Raka yang menggandeng tangannya sampai keluar. Setelah itu Raka mentapa Icha dengan tatapan yang sangat serius.
"Kaka atau adik?" tanya Raka.
"Adik."
"Kenapa gak pernah cerita sama gua?"
Deg
Icha bingung harus menjawab apa. Mulutnya terkunci rapat, tidak bisa menceritakan apapun.
Akhirnya pertahanan Icha runtuh. Tetes demi tetes air mata Icha terjun bebas tanpa permisih. Raka yang melihat itu pun langsung mendekap Icha dalam pelukannya.
Icha mulai terisak di dekapan Raka. Raka yang mendengar itu pun mengeratkan pelukannya dan mengelus lembut kepala Icha.
"Maaf Rak, gua belom bisa cerita."
"Iya gapapa Cha. Tapi yang harus lo tau, gua siap denger cerita apapun. Jangan sungkan jadiin gua tempat curhat lo."
Icha tidak bisa berkata apapun. Sungguh Raka sangat baik padanya, ya walaupun kadang masih suka berantem. Tapi bukan gak mungkin Icha bisa luluh dengan Raka.
"Gua minta maaf udah bikin lo nangis."
"Bukan salah lo."
Kemudian mereka melepaskan pelukannya dan Raka melihat mata Icha yang sudah merah karena menahan tangis sedari tadi.
"Udah ya," ucap Raka. Dan Icha hanya menganggukan kepala.
"Yaudah sekarang kita masuk. Lo langsung ke kamar mandi, cuci muka lo! Dari pada ditanyain sama ayah bunda." lagi-lagi Icha hanya mengangguk kan kepalanya.
Raka mengelus puncak kepala Icha dengan lembut dan lanjut merangkul Icha untuk masuk kedalam rumah.
Saat masuk rumah sudah terlihat Charisa sedang nangkring diatas kursi.
"Kenapa sih bun?" tanya Raka yang masih setia merangkul Icha.
"Itu tadi ada kecoa, pas disemprot sama ayah eh dia kabur gak tau kemana," jawab Charisa dengan muka paniknya.
Sementara Karen sudah tidak tau dimana. Biasanya anak itu akan ngacir kedalam kamar.
Icha dan Raka tertawa mendengar ucapan Charisa. Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Charisa dan Karen sama-sama takut dengan serangga.
"Pulang aja, dari pada di tanyain macem-macem sama ayah," bisik Raka di telinga Icha.
"Tapi masa abis pulang langsung makan," jawab Icha.
"Kebalik oon."
"Eh iya. Maksudnya abis makan langsung pulang. Gak enak lah."
Mereka terus berbisik sampai tidak sadar kalo Charisa dan Gio sedang memperhatikan tingkah mereka berdua.
"Kalian ngomongin apa sih?" tanya Charisa yang masih setia menangkring diatas kursi dengan mata yang menengok kesana kemari mencar kecoa.
"Emm, itu. Apa namanya..." ucap Icha terbata-bata.
"Raka mau ngajak Icha jalan yah, bun," ucap Raka dengan lancar.
"Oh yaudah kalo gitu. Tapi pulangnya jangan kemaleman ya, gak bagus," ucap Gio yang masih memegang semprotan serangga.
"Iya yah. Yaudah yah, bun kita jalan dulu ya," pamit Raka lalu mencium kedua tangan orang tuanya. Lalu diikuti Icha.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Baru saja satu langkah keluar pintu, suara Charisa sudah terdengar lagi.
"AYAAHH ITU DIA KECOANYAAAA!!!"
***
Taman terlihat sangat sepi, biasanya penuh dengan sepasng kekasih yang sedang pacaran. Tapi malam ini sepi, tidak ada siapapun kecuali mereka berdua.
Kay dan Rezi. Kay sengaja membawa Rezi ke taman supaya cowo itu menenangkan pikirannya dan mungkin ia bisa bercerita dengan Kay.
Duduk di bangku taman dengan tatapan dan pikirannya masing-masing. Sesekali Kay menengok Rezi yang masih diam.
Biasanya Rezi selalu banyak ngomong dan tak jarang membuat Kay naik darah. Tapi sekarang mulutnya tertutup seperti ada lem yang membuatnya tidak terbuka.
"Rez," panggil Kay dengan lembut.
Rezi yang merasa di panggil pun hanya menengok tanpan mengeluarkan suara. Tatapan lurus yang disana terdapat banyak luka terpendam.
"Rez gua takut kalo lo diem aja. Lo kesambet ya?"
Rezi hanya menengok dan masih tidak mengeluarkan suara apapun.
"Heh ngomong dong! Apa bener jangan-jangan lo kesambet ya. Ih takut gua," ujar Kay dengan mendramatis.
"Udah ah gua mau pergi aja."
Belum sempat Kay mengambil langkah, tangannya sudah ditahan oleh Rezi yang membuat Kay kembali duduk.
"Jangan kemana-mana temenin gua dulu!" ucap Rezi.
"Abisnya gua tungguin lo diem aja, bikin gua emosi. Emang ya lo tuh diem ga diem sama-sama bikin gua naik darah turun kentut," oceh Kay yang membuat Rezi sedikit tersenyum.
"Lo lucu."
Dua kata yang entah mengapa membuat jantung Kay jedag jedug.
"Gua emang lucu. Lo baru nyadar? Ih kasian banget."
Rezi semakin dibuat tersenyum dengan kelakuan anehnya Kay.
"Nah gitu dong senyum. Dari pada lo cemberut terus, udah muka jelek makin jelek lo kalo cemberut," ucap Kay.
"Makasih ya," ucap Rezi.
"Untuk?"
"Untuk semuanya. Lo udah bantuin gua, lo udah bikin gua tersenyum lagi."
Ucapan Rezi mampu membuat Kay diam sesaat. Ia baru mendengar Rezi berujar manis padanya. Biasanya Rezi selalu mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya.
"Cailah lebay banget lo, gitu aja pake makasih segala. Santai aja kali."
Seketika keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Setelah pulang dari tugas. Bokap selalu kasar sama nyokap gua, dan gua gak tau alesannya apa."
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisha Aileen Nathania
Teen Fiction"Disaat semua orang menjadi api. Lo harus memposisikan diri lo sebagai air, bukan sebagai angin!" -Raka "Kadang kita harus mundur sedikit, supaya bisa melangkah lebih jauh kedepan." -Aisha