43

335 34 0
                                    

"Ketiga. Apa alesan lo kepengen banget gua mati?!" Tanya Icha.

"Alesan gua lo tanya?!"

"Ya."

Seketika semuanya terdiam. Dan Icha masih menatap tajam Rio yang sudah babak belur.

"1 tahun yang lalu, bokap nyokap gua meninggal dan itu karena BOKAP NYOKAP LO ICHAAA!"

"MEREKA YANG BUAT GUA KEHILANGAN ORANG TUA GUA. DAN SATU BULAN SETELAHNYA ADIK GUA MENINGGAL KARENA DEPRESI DI TINGGAL BOKAP NYOKAP."

"DAN ITU SEMUA KARENA BOKAP NYOKAP LO!"

Icha hanya tersenyum miring mendengar penjelasan Rio. Ternyata ini penyebabnya.

"Terus, mau lo apa?" tanya Icha dengan tenang.

Rio melangkah maju mendekati Icha. Dan saat Raka hendak menahan Rio langsung di tahan oleh Icha dengan gerakan tangan.

"GUA MAU, BOKAP NYOKAP LO NGERASAIN APA YANG GUA RASAIN!" ucap Rio tepat di depan wajah Icha dengan penuh penekanan.

Icha tertawa kecil. "Lo salah Rio. Lo bunuh gua itu akan jadi sia-sia. Mereka gak akan ngerasain apa yang lo rasa. Mereka udah gak perduli sama gua!"

"Ya mungkin dengan gua mati mereka bakalan bersyukur bukannya menyesal. Jadi percuma."

Icha mengambil langkah mendekati Rio. "Tapi, kalo lo mau gua mati silahkan. MATIIN GUA SEKARANG!"

"Tapi sebelum itu."

Srekk

Dengan cekatan Icha memegang lengan Rio dan membawanya kebelakang. Ia kaitkan dengan borgol yang tak sengaja ia temukan di pojok ruangan.

"BANGSAT. NGAPAIN LO?!" teriak Rio.

"Kita main-main dulu sebentar," bisik Icha tepat di telinga Rio yang dapat membuat Rio merinding mendengarnya.

"LEPASIN!"

Rio terus memberontak tapi entah kenapa tenaga Icha seperti bertambah 2x lipat. Icha dapat menahan amukan Rio yang bisa dibilang kencang.

"Sayang, bantuin aku yuk. Pingangin tangannya, aku mau main sebentar."

Ketiga laki-laki yang dari tadi hanya memperhatikan tanpa melakukan apapun terkeju dan membulatkan matanya.

"I-iya."

Dengan jantung yang hampir copot Raka menghampiri Icha. Ia tak tau permainan apa yang Icha maksud.

Raka menahan tangan Rio yang masih saja terus memberontak. Kemudian Icha berjalan ke depan Rio. Melayangkan tatapan tajam.

Lalu ia berjalan menuju kursi tempat dimana ia di ikat. Dan mengambil pisau yang tadi Rio gunakan untuk menghias wajahnya.

Lalu ia kembali ke hadapan Rio dengan memutarkan pisau yang ada di tangannya. Tangan mungil itu terlihat sangat lihai memutarkan pisau.

Lalu berhenti di wajah Rio. "Mau gambar apa ya gua? Gunung? Sawah? Matahari? Jalanan? Rumah? Kayanya bagus deh kalo gambar itu ada di muka lo."

Padil dan Rezi menciut di pojok melihat sisi lain Icha yang tidak mereka ketahui. Jangankan mereka berdua, Raka saja ngeri melihat kekasihnya yang seperti ini.

"LO JANGAN MACEM-MACEM SAMA GUA!" teriak Rio.

"Wiihh, santai dong. Gua ga macem-macen kok, cuma satu macem aja."

Srek

"AAAWWW. LO GILA!"

"Iya gara-gara lo."

Srek

Tes

Tetes demi tetes cairan merah itu membasahi baju yang Rio kenakan. Raka ngilu melihat darah segar yang keluar begitu saja di depan matanya.

Sedangkan Padil dan Rezi. Jangan di tanya, mereka sudah saling peluk di pojok rungan menahan takut.

"Lengan lo mulus juga ternyata ya."

Srek

"AAWW. BANGSAT."

Icha tersenyum miring melihat wajah Rio yang menahan sakit hingga membuat bibirnya memucat.

"Dil, itu beneran Icha kan?" tanya Rezi dengan gemetar. Ia takut melihat Icha yang sekarang. Karena ini benar seutuhnya Icha bukan Felix.

"Iya bego. Liat aja matanya, itu mata Icha bukan Felix," jawab Padil.

Kemudian satu rungan menjadi sunyi. Icha berjalan ke arah meja dan mengambil tisu untuk menghilangkan sidik jari di pisau yang ia gunakan.

Setelah itu Icha kembali ke hadapan Rio. Menangkup wajah Rio dengan satu tangan, seketika matanya berubah warna menjadi biru. Dan itu menandakan Felix yang berada di dalam badan Icha.

Raka yang melihat itu pun langsung mengerti. "Jangan macem-macem sama Icha kalo lo gak mau mati di tangan gua! Ngerti lo?!"

Kemudian dengan kasar ia menghempaskan wajah Rio.

"Tinggalin dia di sini! Iket di kursi pake tali yang dipake dia buat iket Icha. Lo Raka jagain ade gua!" perintah Icha.

Padil dan Rezi pun terkejut karena mereka tidak mengetahui perubahan mata Icha. Kamudian Raka menyerahkan Rio kepada Padil dan Rezi.

Lalu menyusul Icha yang sudah lebih dulu keluar ruangan.

"CHA," panggil Raka.

Icha menoleh kebelakang dan kemudian tubuhnya oleng. Raka yang melihat itu langsung berlari menghampiri Icha. Dan benar, kalau saja Raka terlambat satu detik sudah bisa dipastikan badan Icha akan mencium aspal.

Rak menggendong Icha dan membawanya ke bawah pohon sambil menunggu gadisnya itu sadar.

"Astagfirullah." Icha terbangun seperti biasa dengan nafas yang tidak teratur.

"Hey, sayang."

Dengan cepat Icha langsung memeluk Raka dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Raka. Dengan penuh kasih sayang Raka mengelus puncak kepala Icha dengan lembut. Dan berusaha meneangkan gadisnya.

"Bukan papah, mamah yang bunuh."
______________________________________

Aisha Aileen NathaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang