9.

3 0 0
                                    

" Coba gue lihat Kash," intip Tasya melihat hasil bidikan kamera Akasha," terlihat jernih bahkan bener-bener bisa ambil cahaya matahari pagi."

" Gimana?" tanya Akasha

" Bagus. Gue suka anggel yang lo ambil."

" Semahal apapun kamera kalau gak pinter ngambil anggelnya hasilnya tetep aja kelihatan biasa aja."

" Gue taunya kamera hp aja Kash, belum pernah beli. Kayaknya gue ikutan tertarik sama kamera," kata Tasya kemudian.

Akasha paham bahwa tidak semua orang bisa mengerti kegunaan kamera yang sebenarnya.

****
Tasya dan Akasha berdiri tepat di sebuah kontoner kosong. Tasya sudah izin dengan yang punya kontainer. Tasya mengeluarkan semua akrlik yang dibawanya. Sudah lama Tasya tidak memainkan warna. Trauma beberapa waktu yang lalu membuat Tasya takut untuk memulainya lagi. Warna dalam hidupnya pelan-pelan mulai memudar, kini hanya ada warna hitam dan putih saja.

" Gue udah lama gak mainan warna. Kayaknya bagus kalau nuangin semua ide yang gue punya ke atas sini. Gue mau ngajak lo coba hal baru yang sebelumnya belum pernah lo lakuin. Siapa tau lo ikutan suka sama karya seni."

Akasha mulai menyapukan kuas,"lo harus bisa nampilin warna yang berani. Kaya hasil dari kamera penyatuan warna dari alam, cahayanya perlu lo atur supaya hasilnya bagus."

Tasya terdiam cukup lama. Selama ini dirinya takut menorehkan warna-warni diantara semua hasil karyanya.

" Gue trauma dengan warna Kash.," jujur Tasya yang membuat Akasha mengernyitkan keningnya.

" Trauma dengan warna?"

Tasya mengangguk pelan," warna-warni yang gue miliki sekarang ini cuma putih dan hitam."

Akasha masih fokus menyapukan kuas kecil mulai menggambarkan awan-awan biru mengikuti arah gerakan kuas milik Tasya.

" Gue dulu juga sama kaya lo. Lebih suka edit hasil jepretan kamera gue jadi warna monokrom, tapi pelan-pelan gue sadar buat nunjukin keindahan yang nyata juga perlu warna yang menarik. Hidup emang persis kaya yang lo bilang, cuma dua warna. Tapi warna-warni lain juga perlu ditunjukan biar buktiin ke semua manusia bumi kalau warna adalah arti hidup yang sebenarnya."

Tasya melihat Akasha yang menyapukan dengan rapih. Tasya mulai menggambarkan anak kecil yang meniup bunga dandelion hingga putih-putih kecil berterbangan mengikuti arah gerak angin.

" Lo tau gak kenapa Dandelion dibilang bunga paling berani?"

Akasha mengernyitkan keningnya mendengar penuturan yang Tasya ucapkan barusan.

" Dandelion itu gak pernah nyerah. Walaupun hujan, panas di tengah rumput liar tapi masih aja kokoh berdiri. Gak kenal musim," Tasya mengambil warna putih. Gelap terangnya warna membentuk objek yang mengesankan," gue sama lo gak punya perjanjian, tapi lo tiba-tiba mau gue ajak ngelukis kaya gini."

" Gue pengen nyoba hal baru, katanya hidup gak melulu soal kamera. Hal-hal yang katanya menyenangkan gak boleh kalau dianggurin gitu aja."

Tasya selesai melukis bunga Dandelion, kini melukiskan cahaya jingga yang hampir menutupi bumi.

" Hidup gue selalu penuh masalah, tapi gue berusaha nyelesain masalah itu dengan melukis, mungkin kayak lo mainin kamera. Entah kenapa gue tiba-tiba pengen pindah sekolah. Gue kira dengan pindah sekolah masalah yang gue punya bakalan selesai nyatanya nambah rumit dan munculin masalah baru."

Akasha tidak mulai bercerita tentang Tasya yang pindah sekolah. Namun dirinya gak pengen tau soal alasan Tasya pindah sekolah. Karena menurutnya itu adalah masalah pribadi milik Tasya yang gak seharusnya Akasha tau.

GOODBYE MY CANVAS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang