"Akasha?"Cowok bernama Akasha mengangguk pelan dengan wajah datar. Tasya melihat juga name tage yang terpasang, Akasha Hadiwinata. Kemarin Akasha tidak pake name tage, namun Tasya tau lengkapnya dari mading.
" Lo gak pulang. Kenapa masih disekolah."
" Lo sendiri?" tanya Akasha balik ke Tasya.
" Gue suka di rooftop sendirian. Nyari angin seger. Gue masih sibuk mainin sketchbook. Gedung-gedung sekolahnya bagus masuk ke dalam sketsa gue."
" Gue boleh kesitu?" tanya Akasha kemudian.
" Gak ada yang ngelarang," jawab Tasya mempersilahkan Akasha duduk di kursi yang panjang.
" Apa yang lo bawa?" tanya Tasya saat melihat semacam pouch kecil.
" Kamera analog," Akasha menunjukan kamera analognya. Bukan hanya sekedar menyukai fotografer, Akasha juga punya koleksi kamera. Dari mulai kamera polaroid, digital yang harganya puluhan juta sampek kamera analog yang sudah gak diproduksi lagi.
" Kamera analog barang antik. Udah jarang sekarang ditemui. Sekalinya ada gak mau orang jual lagi."
Akasha memutar kameranya mengarahkan objek pandang ke lapangan. Hasilnya cukup bagus walaupun hasilnya gak sejernih kamera ponsel.
" Bagus banget!" ucap Tasya antusias.
" Gambar yang bagus gak cuma bisa diambil dari kamera yang harganya mahal, tapi bagaimana sudut pandang ngarahin objek. Keahlian untuk mengatur anggel biar hasilnya sesuai sama yang diharapkan. Menampilkan semua sisi hingga memunculkan keindahan yang tersembunyi. Sama kaya kehidupan sehari-hari. Semuanya bakalan keliatan baik-baik aja tergantung sudut pandang orang yang menilainya. Kita terlalu lelah untuk terus terjebak dalam sudut pandang satu sisi."
" Lo ternyata bisa ngomong lebih dari sepuluh kata," takjub Tasya sambil bertepuk tangan.
Akasha hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Tasya yang sangat antusias mendengarkan ceritanya. Akasha melihat sisi ceria Tasya yang bisa mencairkan sikap dingin Akasha tanpa memaksa. Baru beberapa hari mereka menjadi teman akrab, dirinya menemukan bahwa Tasya adalah orang yang hidup secara natural.
" Gue ngibaratin kamera seperti kehidupan."
Tasya membuka coklat mini yang dibawanya dari laci kelas.
" Mau coklat?" tawar Tasya yang dijawab anggukan pelan oleh Akasha.
" Hasil nyuri tapi," jawab Tasya polos. Akasha menghentikan membuka bungkus coklat mini tersebut," tenang gue nyuri dari lacinya Eriss karena dia yang minta gue buat ambil aja. Punya dia ketinggalan di laci."
" Gimana?" tanya Tasya kemudian.
Akasha tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya anggukan yang kurang meyakinkan.
" Terlalu manis ya? yang gue tau alasan kenapa cowok gak begitu suka coklat karena rasanya terlalu manis. Cewek suka manis buat naikin mood dia. Sedangkan cowok masih bisa nahan dirinya buat jaga mood swing yang dimilikinya. Emosi cewek dan cowok beda, katanya cewek cenderung kaku dan sulit dikendalikan."
Akasha mengeluarkan sesuatu dari balik tas miliknya," gue hampir lupa soal ini."
" Bagus hasilnya."
Akasha mengeluarkan hasil foto kemarin yang sudah dicucinya. Ukuran 5R. Setelah memasukan foto tersebut Tasya beranjak dari tempatnya semula.Tasya berdiri tepat di depan pembatas roftop yang mengarah ke arah lapangan. Sketchbook miliknya sengaja dibiarkan tertutup. Akasha mengikuti Tasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY CANVAS! [END]
Teen FictionTasya harus terlibat masalah di SMA barunya gara-gara gak sengaja jatuhin asbak prakarya di rooftop sekolahnya. Gara-gara itu membuat Ristasya Bestari harus menjadi tawanan Danesh Rahardja, cowok yang terkenal dengan julukan silumannya karena bis...