Tasya mulai menyapukan kuasnya diatas kanvas putih. Seperti biasa hanya ada dua warna. Tasya menggambarkan nuansa rumah yang berada di tengah ilalangan. Tanpa sentuhan warna lain namun cukup menggambarkan sepi yang memeluknya sangat erat seperti suasana rumahnya. Terasa sepi walaupun Tasya tidak sendirian, ada kura-kura air tawar yang dibiarkan bebas berkeliaran di taman rumahnya dan menjadi kawan setianya sejak kecil. Tasya terkadang sangat takut sendirian, tanpa teman dirumahnya, tapi mau gimana lagi Tasya harus siap nerima semua yang udah jadi nasibnya saat ini.Rumah kaca menjadi tempat kesukaannya sambil menikmati semilir angin malam yang menusuk menembus lapisan epidermisnya. Tasya menyapukan kuas ke atas kanvas dengan warna putih berpadu warna hitam tipis-tipis.
Mamanya selalu memarahinya saat dirinya berkutat dengan lukisan dan berakhir dengan Tasya yang menyendiri di kamarnya seraya menekukan kakinya dan menenggelamkan wajahnya. Tanpa disadari, cairan bening putih membasahi pipinya. Jemarinya mengusap air matanya. Sedangkan pandangan matanya mengarah ke langit-langit kamarnya yang di cat warna putih. Lukanya terlalu dalam membekas sampai tidak tau gimana buat nyembuhinnya secara perlahan.
" Ristasya! lihat ini apa! Mama gak suka kamu ngelukis kaya gitu. Mau jadi apa kamu habisin waktu gak penting kaya gitu?"
Mamanya menunjukan hasil ulangan matematika Tasya yang dibawah angka empat puluh.
" Kamu sadar gak sih kesalahan kamu? Buang semua lukisan kamu."
" Ma_" lirih Tasya
" Mau jadi apa kamu kalau sekolah gak bener, dapet nilai segini. Kamu gak bisa hidup dari lukisan Sya! kamu harus rajin belajar. Masa depan ada ada diri kamu sendiri."
" Tasya kira mama, berubah padahal belum sama sekali. Mama dari dulu gak peduli berapun nilai yang Ristasya dapetin, mama cuek aja. Alasan mama benci Ristasya ngelukis karena lukisan itu yang udah ngerebut semuanya dari Ristasya. Mama gak ngertiin apa yang sedang Ristasya alami. Mama gak tau betapa capeknya Ristasya dengan semuanya Ma. Ristasya gak bisa hidup tanpa lukisan. Satu lagi ma, Tasya yang menentukan masa depan Tasya sendiri tanpa harus ngikutin apa kata mama."
" Lukisan udah ngerebut yang kamu punya. Kasih sayang mama yang selalu kasih ke kamu, mimpi kamu bahkan diri kamu sendiri. Sadar Ristasya! hidup bukan sekedar coretan diatas kanvas! kamu masih punya kehidupan lain!"
" Mama egois! mama gak ngerti luka yang Tasya alami sampi saat ini. Dari dulu mama selalu aja nyalahin Ristasya! mama bahkan gak pernah anggep sepenuhnya Ristasya masih ada di bumi. "
" Silahkan kamu kecewa sama mama. Selama ini mama selalu ngebebasin kamu, tapi semakin kamu bebas semakin kamu gak ada aturan. Mama gak pernah merhatiin kamu, mama gak pernah berusaha ada buat kamu, tapi mama gak pernah nyalahin kamu. Mama cuma pengen, kamu berhenti melukis, itu aja gak lebih."
" Tasya gak percaya lagi dengan kata-kata Mama. Tasya kecewa sama mama!"
" Sya! dengerin mama dulu, mama belum selesai ngomong."
" Gak perlu mama lanjutin, Tasya udah tau lanjutannya nanti bakalan seperti apa. Makasih ma, udah ngerubah pandangan Tasya soal ini."
Suasana hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Tasya memfokuskan dengan lukisannya. Memori waktu selalu saja mengajaknya terus berjibaku dengan lukanya. Memeluk lukanya sendiri, memantau setiap ego yang keluar tanpa Tasya sadari.
Tasya menarik nafasnya, terasa sangat berat. Lalu berkata lirih dengan dirinya sendiri,"kak. Kakak dimana? Ristasya kangen sama kakak."
Sosok itu, Ristasya selalu memandang figura kecil yang terletak di rumah kacanya.
****
Tasya menatap tajam ke arah Eriss seolah-olah dirinya sengaja dipermainkan oleh Eriss. Tasya menganggap Eriss adalah sahabatnya, namun Eriss malahan memanfaatkan dirinya lalunya menjatuhkan sesuka hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY CANVAS! [END]
Teen FictionTasya harus terlibat masalah di SMA barunya gara-gara gak sengaja jatuhin asbak prakarya di rooftop sekolahnya. Gara-gara itu membuat Ristasya Bestari harus menjadi tawanan Danesh Rahardja, cowok yang terkenal dengan julukan silumannya karena bis...